JB:6

550 35 3
                                    

  Lelaki itu belum bergemim, ia hanya duduk memperhatikan sang istri yang bermondar-mandir dam sibuk dengan ponselnya. "Nih anak kemana sih, pergi kok nggak bilang-bilang." Sudah lima kali ia mengatakan itu. Evan hanya pasrah tidak tahu harus berbuat apa. "Udah kali mi, dia tuh udah besar Pasti bisa jaga diri lah."

"Tapi kan dia harusnya izin dulu, masa pagi-pagi keluyuran sampe sore nggak bilang-bilang."

Evan hanya diam, tidak berniat ingin menjawab. Karena, ia sudah tau pasti akan sama saja hasilnya. Hingga beberapa saat, ponselnya berdering.

"Hallo?"

"Hallo pi."

"Ya allah, lu dari mana aaj-" Belum selesai ia bicara, Audy langsung mengambil alih handphonenya. "Joy! Kamu dimana? Kenapa pergi nggak bilang-bilang." Disebrang telpon Joy mencoba menetralkan detak jantungnya karena terkejut. Ia menjauhkan handphone nya dari telinga sejauh 20 cm.

"santai dong mi ini gue udah otw pulang, udah nyampe pintu depan."

Audy langsung menoleh kearah pintu depan hingga beberapa saat muncullah sang anak. "assalamollekom." Ia mendekatinya lalu tanpa ampun ia menarik telinga Joy. "AH MAMI!"

"Bodoamat."

Tak banyak yang bisa ia lakukan selain menyaksikan pristiwa itu, mengingat netapa sadisnya sang istri jika marah. Tapi setidaknya ia akan mencoba untuk mencegah. " Udah mi, itu entar telinga anak kita copot."

"Biarin."

Joy masih maringis, sementara Audy masih setia untuk menyiksa anaknya ini. "Ih mami entar dosa nggak jawab salam."

sesaat Audy menghentikan aktivitasnya. Ia beralih menatap Evan begitupun sebaliknya. "Emang lo tadi salam?" Tanya Evan ragu.

"Iya, nih denger lagi ya assalammualekum." Joy mengulang lagi ucapannya, lalu tanpa berpikir panjang ia langsung lari menuju kamarnya.

"Waalaikumsallam." Keduanya masih tampak kebingungan. "EHH AWAS LU YAA!" Suara Audy kembali mengelegar di penjuru rumah. Sementar Joy, sesampainya ia dikamar, ia langsung mengunci pintu kamarnya. Takut jika tiba-tiba Ibunya akan menerkamnya.

●●●

Para asisten terlihat berkumpul memenuhi ruang tamu. Pandangan mereka kebawah karena tidak berani melihat wajah majikannya. Bima berjalan masuk kerumah diiringi dengan Jose dan Joko, untuk berjaga-jaga barangkali ia akan pingsan.

Sekarang dapat terlihat jelas raut wajah khawatir kedua orang tuanya. Valen langsung menghampirinya lalu memeluknya, diikuti Mika yang juga akan mendekatinya dengan tatapan yang tajam.

Ia tidak yakin apakah ide ini akan berhasil. Namun setelah melihat tatapan sang ayah membuat jantungnya berdegup sangat kencang, yang berararti ia tidak harus berpura-pura pingsan. Karena sudah pasti ia akan pingsan dengan sendirinya.

Mika masih menatap Bima dengan tatapan yang sama, "Bawa dia kekamar."

Mendengar tuturan sang majikan, Joko dan Jose langsung bergegas memebawa Bima ke kamar. "Nggeh pak."

Pemuda itu kini telah duduk di samping tempat tidurnya pandangannya berpindah-pindah arah bingung harus berbuat apa. Wajahnya masih terlihat pucat.

Keheningan yang ia rasakan sekarang, sampai akhirnya terpecahkan oleh ketukan dari luar pintu kamarnya. Lalu muncul seoran pria berkemeja dengan kacamata yany menjadi ciri khasnya.

Ia tersenyum. "Kenapa om?" Raja membalas senyumannya. "Biasalah, mau ngecek doang." Dia adalah adik dari ibunya dan juga sebagai dokter pribadi yang menanganinya kurang lebih 15 tahun. Yang sudah juga ia anggap ayah keduanya.

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang