"Meira!"
Meira menoleh karena merasa namanya dipanggil oleh suara yang asing namun begitu lembut dan ramah di perungunya.
Ternyata yang memanggilnya adalah Adil. Jelas Meira terkejut. Karena pria itu tersenyum manis padanya. Tidak seperti sebelumnya yang selalu menatapnya dengan sorotan ingin menguliti.
"Iya," jawabnya singkat. Kini Adil sudah berada setengah meter dari Meira. Dan pheromon milik Adil sangat menggiurkan. Penghidu Meira tergelitik dan merasa candu.
"Kamu ada waktu?"
Meira menatap pria di depannya dengan tatapan ragu. Beberapa kali Meira mengerjapkan matanya. Bukankah pria ini yang tadi menabrakku? Dan memiliki tatapan yang dingin? Lantas, kenapa saat ini dia begitu berbeda?
"Iya, ada. " Meira tergagap menjawabnya. "Tapi tidak lama," sambungnya lagi.
Senyum Adil semakin merekah, ketika Meira menanggapinya. "Yuk, ngopi di depan sana. Nggak lama kok. Ada yang perlu aku bahas." Adil jalan lebih dulu dan Meira mengikutinya.
Berjalan berduaan dengan orang seperti Adil, membuat Meira agak kaku dan risih karena banyak tatapan mata yang tertuju padanya. Jelas yang ditatap pasti Adil. Karena memang selain tampan, terlihat atletis. Meskipun Meira cantik, tetap saja karena statusnya yang sudah istri orang membuat dirinya tidak percaya diri.
Adil menarik kursi untuk Meira. "Kamu suka kopi atau teh?"
Meira yang agak melamun pun asal menjawab. "Teh saja."
Adil mengangguk dan berbalik untuk memesan minuman. Tidak lama kemudian kembali dengan membawa 2 cup minuman.
"Ini teh nya. Aku pesan yang hangat karena di luar hujan deras," ucap Adil sembari menunjuk ke arah jendela kopi shop.
Meira mengikuti arah jari Adil. "Deras banget hujannya. Gimana nanti aku pulangnya ya, apa ada jas hujan di bagasi motor ya?" Meira bicara pada diri sendiri.
Adil mengerutkan keningnya. "Kamu naik motor sendiri?"
Meira menatap Adil. "Iya."
"By the way, Meira, kalau boleh tahu sudah berapa lama kamu menulis?"
"Uhm, dari kecil sebenarnya udah senang menulis. Ya asal nulis aja lah. Karena aku suka baca, jadi aku suka nulis apapun untuk diri sendiri di buku. Terus coba nulis di laptop suami beberapa tahun lalu. Dan mulai berani ikut lomba atau publikasi ya karena semangat dari teman. Kalau nggak begitu, aku gak percaya diri," jelas Meira.
Adil menatap Meira yang membuatnya teringat sebuah kejadian. Dan Adil justru nggak pernah menyangka kalau dipertemukan Meira dalam situasi dan kondisi seperti ini. "Jadi kamu sudah menikah? Udah punya anak?"
Meira mengangguk sekali, "seorang putri, usia 7 tahun." Ada nada bangga saat Meira menjelaskan tentang anaknya.
Adil kembali memperhatikan Meira lagi. Meira selalu saja menghembuskan napas keras seperti orang yang sangat kelelahan.
"Kalau boleh tau, mau bahas apa?" Cetus Meira. Dia tidak sanggup ditatap lama-lama oleh banyak orang. Ingin rasanya dia buru-buru pergi dari sana.
"Oh, iya benar. Ini aku mau bahas novel kamu. Setelah aku baca dari awal, banyak sekali yang harus diperbaiki."
Meira mengangguk lagi, "sebenarnya aku nulis itu cuma mau melampiaskan apa yang aku rasakan aja. Kalau temenku nggak bilang, naskah itu terdaftar atau lebih tepatnya didaftarkan lomba, mungkin akan jadi naskah pribadi aja. Oya, biasanya lewat email atau wa?" Meira ingin memastikan. "Jujur aja ini pertama kali, aku terlibat langsung sama e--ditor." Meira menjeda di kata terakhir. Meira rasanya pusing karena aroma tubuh Adil. Angin yang berhembus bersama hujan, membawa aroma tubuh Adil ke penghidu Meira. Pusing yang candu, bukan pusing yang memuakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kedua ( Tamat )
Storie d'amore• Don't copy my story' • follow me • mature • Januari 2022 • Re-publish 2023 Luka yang ditorehkan Arik 2 tahun lalu, nyatanya tidak sembuh dengan sendirinya bahkan tidak benar-benar sembuh. Rasa trauma dan bayangan wanita lain selalu hadir dalam is...