Bab 10 Lingerie Maroon

2.9K 121 3
                                    

Cinta Kedua

-
-
-

[]

Setelah perbincangan Meira dengan Freya, dia pun mendapatkan pelukan hangat dari Freya. Benar-benar hangat,  Meira seperti mendapatkan energi baru. Banyak hal yang mereka lakukan, nonton film, masak untuk makan malam, ngobrol ini dan itu. Sedangkan Adil sibuk dengan pekerjaannya di kamar bersama laptopnya.

"Kalian sudah dewasa, aku yakin kalian bisa menjalaninya dengan benar. Dan aku percaya kalian sudah tahu konsekuensinya." Freya mengedikan bahunya dan menyandarkan kepalanya di sofa.

Meira mengangguk. "Iya, aku tahu itu dan semoga aku sudah siap." Meira menoleh ke Freya yang memejamkan mata. "Tapi, ngomong-ngomong, tadi kamu bilang Mas Adil banyak berubah. Berubah yang bagaimana? Aku penasaran."

Freya membuka sebelah matanya dan terkekeh. "Banyak hal. Terutama sikapnya yang mulai menghangat."

"Lho, maksudnya?"

Freya membuka matanya dengan sempurna dan membenarkan posisi duduknya. Untuk sesaat Freya melihat jam pada ponselnya," masih ada waktu sedikit sebelum Biyan tiba. Uhm ... Adil itu sejak dulu memang dingin sikapnya. Sedikit sekali bicaranya. Tetapi, ada sebuah kejadian besar yang membuatnya begitu lebih dingin lagi. Terutama sejak ibu meninggal. Dia meninggalkan rumah dan memutuskan untuk hidup mandiri. Memutuskan kontak dengan ayah. Ayah kami memang keras terutama kepadanya. Mungkin karena Adil adalah anak laki-lakinya pertama. Ayah ingin Adil menjadi sosok yang kuat. Tapi, ternyata menjadi Boomerang."

"Apa Adil tidak punya pacar atau---" Meira tidak melanjutkan ucapannya.

Freya mengangguk sekali. Lantas mengulum lidahnya sendiri. Seperti sedang berpikir sejenak. Namun, pada akhirnya dia tersenyum. "Biar dia cerita sendiri padamu. Biyan sudah jemput di lobby." Freya bangkit dari sofa dan memeluk Meira sebentar. Setelah itu masuk ke dalam kamar. Berpamitan dengan Adil.

Adil mengantar Freya turun ke lobby. Sekalian menemui Biyan. Meira memanfaatkan waktu untuk mencari kabar sang anak yang masih berada di Bandung.

"Bagaimana keadaan Kei di sana? Rewel nggak?" Tanya Meira pada sang adik.

"Nggak kok. Dia seneng banget, Kak. Sesekali Kei nanyain kamu. Dia takut Kak."

"Takut apa?" Meira mengerutkan keningnya.

"Takut sama Mas Arik. Dia bilang papanya jahat udah buat mamanya nangis. Kak, kamu sering ribut di depan Kei?"

Meira menggelengkan kepalanya, meskipun dia tahu kalau itu percuma. Ingatannya kembali ke masa lalu, dimana waktu Meira dan suaminya bertengkar saat ada Kei. Tapi, sekeras apapun Meira berpikir, rasanya tidak ada satupun pertengkarannya dengan suaminya di depan Keira. Lantas, kapan? Apa Meira menjadi pikun untuk beberapa ingatannya?

Adil sudah masuk ke dalam dan memeluk Meira dari belakang. Meira yang kaget pun langsung mendekap mulut Adil. Dan meminta supaya Adil tidak bersuara.

"Tapi aku nggak ingat aku pernah melakukan itu di depan Kei. Aku dan Mas Arik selalu masuk ke kamar jika berdebat. Kei beneran bicara begitu?" Meira merasakan matanya panas, dadanya sesak.

"Iya, Kak. Kei bilang kamu sering nangis saat tidur. Itu yang membuat Keira merasa kamu disakiti papanya."

"Ya Tuhan! Aku sungguh nggak tahu." Meira memegangi dadanya yang sesak. Perlahan satu tetes air mata jatuh ke pipinya.

Cinta Kedua ( Tamat ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang