Bab 22 Bandung

1.1K 100 2
                                    

CINTA KEDUA
-
-
-

[]

Meira masih saja terus memikirkan kejadian di toko buku. Rasanya memang seperti mimpi. Adil datang begitu saja, kemudian kembali pergi. Jika saja Arik tidak muncul saat itu, Meira sudah pasti akan berlari mengejar Adil. Untuk memastikan itu beneran Adil, bukan yang lain.

Di grup pun sepertinya tidak ada kabar apapun tentang pria bernama Adil Dirga itu. Semuanya senyap, pesan yang Meira kirimkan ke nomor Adil pun sudah centang dua. Tapi, kenapa Adil tidak membalasnya?

Apa memang sudah tidak ada kesempatan lagi? Entahlah, mungkin memang semuanya benar-benar telah berakhir.

Tidak ingin berlarut-larut dalam penantian yang tidak jelas. Meira mencoba menjalani hari-harinya seperti biasanya. Saat sampai rumah, setalah shift malamnya, Meira ingin segera merebahkan tubuhnya yang lelah, bersama dengan Keira.

Namun, pintu kamar terbuka yang ternyata ibunya Meira.

"Ra, kamu sudah tidur belum?"

"Belum, Bu. Kenapa?"

"Ini ada paket. Ibu lupa tadi mau kasih tau ke kamu." Ibunya Meira masuk ke kamar dan memberikan paket dengan kotak berwarna coklat.

Meira yang merasa tidak memesan apapun, mengerutkan keningnya. "Untuk aku, Bu? Nggak salah alamat?"

"Nggak lho. Coba itu lihat ada namanya kamu. Alamatnya itu rumah kontrakan kamu. Itu yang kirim itu yang punya kontrakan, ketemu ibu di jalan tadi."

Semakin dalam saja kerutan di antara dua alis Meira.

"Ma, buka, Ma. Siapa tahu itu isinya mainan," ucap Keira.

Meira terkekeh. "Pikirannya mainan terus sih, Kei."

"Ya aku kan masih anak-anak, Ma," jawab Keira dengan bibir cemberut.

Meira yang gemas pun tertawa bersama sang ibu. Akhirnya karena penasaran, Meira pun membuka kotak tersebut. Dan ternyata isinya adalah buku miliknya. Karyanya. Penasaran siapa pengirimnya, Meira mencari ke sudut kotak. Tidak ada spesifikasi siapa pengirimnya. Hanya bertuliskan penerbit.

"Apa, Ra? Buku apa?" Tanya sang ibu.

"Ini naskahku yang menang lomba, ternyata sudah jadi buku, Bu. Kata temanku, buku ini laris dan banyak peminatnya. Tapi, aku malah nggak tahu sama sekali kalau buku ini terbit." Meira tersenyum tipis. Hatinya merasa bangga sekaligus sedih.

"Kok bisa nggak tahu?" Tanya lagi.

"Kan Ibu yang minta aku memutuskan hubungan dengan editorku. Meminta aku untuk menjauhi editorku. Ya, wajar kalau aku nggak tahu. Karena aku minta sama editornya untuk tidak meneruskan. Tapi, ternyata sudah rampung saat itu. Sayangnya, aku memutuskan kontak," jelas Meira.

"Editor yang bayarin hutang itu?"

Meira mengangguk.

"Sudahlah, sekarang terserah kamu. Satu pesan Ibu, kamu bisa jaga martabat kamu sebagai wanita. Apalagi status kamu itu bukan gadis lagi, tapi janda." Ibunya melenggang keluar kamar tanpa menoleh lagi.

Cinta Kedua ( Tamat ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang