Dekat

8 3 0
                                        

"Ma," panggil Zidni mendatangi Shani yang tengah duduk di teras belakang rumah tantenya.

Shani menoleh kemudian tersenyum hangat. Ah, sudah lama Zidni nggak lihat lengkung itu. Zidni pun beringsut ke samping Shani lalu ikut duduk bersama Mamanya.

"Kenapa nggak sekolah?"

"Mau nemenin Mama." Zidni menyahut santai.

Hati Shani terenyuh. Seakan tersadar kalau sudah lama ia selalu mengabaikan Zidni. Bahkan ia jarang duduk sedekat ini bersama anaknya.

Shani mengelus puncak kepala Zidni penuh sayang, "Maafin mama yang kurang perhatian sama kamu ya." katanya lirih.

Napas Zidni tertahan sebentar, lantas ia termangu merasakan sentuhan Mamanya.


Shani kembali berbicara, "Gara-gara Mama kita kehilangan Nidia. Mama gak mau kehilangan kamu juga."

Mendengar itu membuat tenggorokan Zidni tercekat. "Itu bukan salah Mama."

Nidia meninggal karena kecelakaan. Tapi Mamanya selalu menyalahkan dirinya sendiri. Dan berulang kali mencoba bunuh diri karena deperesi. Hingga akhirnya Shani menemukan pelariannya. Shani menjadi gila kerja, jarang pulang ke rumah. Tak lagi memerhatikan anak dan suaminya.


Sampai Rama sering membawa wanita lain ke rumah. Menghibur diri dengan caranya. Padahal yang terluka bukan Shani dan Rama saja, tapi Zidni juga. Bukannya saling merangkul, mereka malah saling melarikan diri. Menjauh dari kenyataan.

"Kalau waktu itu Mama lebih hati-hati, Nidia nggak mungkin meninggal kan Zid?"

"Ma!" tegur Zidni lelah. Yang sudah, biarlah berlalu. Mungkin memang itu takdirnya. Allah lebih sayang Nidia. "Nidia udah bahagia di surga, kalo mama nyalahin diri Mama sendiri Nidia bakal sedih."

Shani tersentak kemudian tersenyum pedih. Setetes air mata yang menggenang di pelupuk matanya akhirnya jatuh.

"Kalau Nidia masih ada, kira-kira dia udah kelas berapa ya?" tanya Shani tiba-tiba. Wanita itu menatap langit yang cerah dengan pikiran mengawang.

Zidni ikut mendongak, bayangan Nidia yang tersenyum ke arahnya terlihat. Zidni rindu adik kecilnya. "Hm, mungkin kelas empat SD."

Shani mengangguk. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Hingga Zidni menurunkan tatapannya. Ia mengamati figur Mamanya. Luka lebam semalam masih disana, tercetak di sudut bibir wanita yang ia sayangi.

Mungkin Zidni memang kecewa pada Rama. Tapi ia tidak bisa membenci Papanya. Karna sebelum semua berubah, Papa adalah sosok yang sangat menyangi Zidni. Banyak kenangan indah bersama Papanya.

Zidni tahu selama ini mereka tak bahagia. Dan kini sudah saatnya mereka sembuh dari luka.

Zidni bergerak mengambil tangan Mamanya. "Ma, kita lepasin Papa ya."


Shani tersentak, tatapannya beralih kepada anaknya. "Tapi kamu pengen keluarga yang lengkap kan Zid?"

"Sekarang Zidni tahu, keluarga yang lengkap nggak menjamin kebahagiaan Ma. Zidni nggak Papa kehilangan Papa. Asal ngga kehilangan Mama." terang pemuda itu.

Temen Curhat (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang