Carissa
Gadis yang duduk sendiri di meja terujung itu aku. Duduk sendirian di meja berkapasitas enam orang di salah satu sudut perpustakaan sambil mengerjakan tugas. Sudah dua bulan ini aku terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra Jurusan Diploma 3 Bahasa Inggris sebuah universitas swasta terkenal di Bandung. Dan boleh percaya atau tidak, selama dua bulan ini aku belum mempunyai teman.Bukannya tak ada yang mau berteman denganku, tapi aku yang menjaga jarak dengan mereka. Si Tersisih, itulah julukanku yang kudapat ketika aku masih duduk di kelas 1 SMA di kota asalku, Semarang.
Aku memang punya trauma yang membuatku mendapatkan julukan itu. Tak perlulah kuceritakan apa yang menjadi traumaku itu. Aku bahkan tak ingin mengingatnya. Dan karena trauma itu aku memutuskan untuk merantau jauh-jauh dari sana. Aku berharap bisa melupakan semua serta orang-orang yang menyebabkannya.
Mulanya orang tuaku agak khawatir ketika anak bungsunya memutuskan untuk tinggal sendiri dan jauh dari mereka. Mereka tak habis pikir kenapa aku memilih Kota Bandung sementara aku bisa tinggal bersama kakak perempuanku, Mbak Sarah, yang bekerja di Jakarta kalau alasanku hanya ingin menjauh dari kota kelahiranku. Aku bahkan menolak permintaan mereka untuk tinggal bersama Bude¹-ku yang juga tinggal di kota ini. Tinggal dengan kerabatku mungkin bisa membangkitkan kenangan trauma itu, begitu alasanku ketika berdebat dengan orang tuaku. Akhirnya mereka melepasku dengan syarat, setiap dua hari sekali aku harus mengabari keadaanku pada mereka.
Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa bersatu bersama para anak rantau lainnya di sebuah rumah kos yang hanya berjarak beberapa meter saja dari kampus. Posisinya di pinggir jalan dan tarifnya memang sedikit mahal. Namun untuk yang satu ini, aku agak rewel. Aku ingin tempat tinggal sementaraku ini tak berbagi dengan kaum lelaki dan punya fasilitas kamar mandi pribadi sehingga aku tak perlu antre dengan penghuni lainnya di mana nantinya aku terpaksa harus berinteraksi dengan mereka.
Lalu kenapa aku memilih Jurusan Bahasa Inggris? Jawabannya sederhana, karena aku lemah dalam bidang matematika. Alasan kedua adalah karena aku suka anak kecil. Suatu saat aku ingin sekali bisa menulis buku anak-anak berbahasa Inggris. Mungkin kegemaran menulisku menurun dari Ibu yang mantan jurnalis sebuah harian lokal. Dan keahlian mendongeng itu kuperoleh karena seringnya mendongeng untuk keponakan kembarku yang masih balita, anak dari kakak sulungku, Mas Panji.
Aku menekuk punggungku ke belakang, menjeda pekerjaanku sejenak. Rasa pegal yang kudapat setelah berjam-jam membungkuk dan menulis cukup terobati dengan lurusnya kembali barisan tulang punggungku. Saat itu pula mataku menangkap seorang pemuda yang juga selalu duduk di tempat yang sama selama beberapa minggu ini. Setiap kali mataku terarah padanya, ia juga sedang mengarahkan pandangannya padaku. Dan detik berikutnya ia tergesa menunduk, pura-pura kembali menghadapi bukunya.
Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai sesama mahasiswa yang butuh ketenangan di perpustakaan, sama seperti aku. Lagi pula ia tak pernah mengganggu sehingga aku tak perlu protes pada keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]
Romance[Romance] Menjelang pernikahannya, Carissa mulai ragu dengan keputusannya, antara meneruskan hubungannya dengan calon suaminya, Ganesha, atau membatalkan semua, yang berisiko membuat malu kedua belah pihak keluarga. Di satu pihak, Ganesha yang dulu...