Carissa
"Rissa!"
Kini aku tak lagi merasa heran bila seseorang memanggilku dengan nama itu, karena aku sudah mulai mengenal pemilik suaranya. Senyumku pun mengulas saat menoleh ke arah sumber suara. Anesh berdiri di tepi lapangan basket, di balik jalinan pagar kawat harmonika sambil melambai.
Baru kali ini aku melihatnya tanpa pakaian sehari-harinya. Saat itu ia hanya mengenakan jersey putih tanpa lengan dan celana pendek, pakaian khas pemain basket. Dengan kostum seperti itu tonjolan-tonjolan otot lengannya tampak berkilauan dilapisi keringat.
Mulanya kupikir ia hanya ingin menyapa dan melambai. Namun melihatnya tetap berdiri di tempat untuk beberapa saat, aku pun tahu, ia ingin bicara. Dan aku terpaksa mendekatinya, yang bukan merupakan kebiasaanku untuk mendekati seorang lelaki. Hanya saja sejak pertolongannya padaku dan Mbak Sasha dari para preman semalam, aku belum berterima kasih padanya.
Posisi lapangan basket itu agak tinggi dari tempatku berdiri, hingga aku harus mendongak dan mengatupkan separuh kelopak mataku karena terik matahari tengah hari.
"Semalam lo gak apa-apa?" tanyanya menduluiku.
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, ya. Maaf, semalam aku gak bisa berpikir jernih sampai lupa berterima kasih," sahutku.
"Gak apa-apa. Yang penting lo gak kenapa-kenapa." Anesh ikut tersenyum. Dan aku tak melihatnya sebagai senyum seorang pemuda iseng seperti awal perjumpaan kami dulu. Kelihatannya ia senang aku mulai menanggapinya.
"Hari ini ada kuliah?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. "Lima belas menit lagi."
"Selesai jam berapa?"
"Jam tiga."
"Setelah kuliah, ngopi, yuk."
Sejenak aku terpana. Ajakan kencankah ini?
Sumpah. Seumur-umur aku belum pernah pergi berkencan ke suatu tempat bersama seorang laki-laki. Aku masih kelas 3 SMP saat terakhir kali punya pacar. Itu pun kami hanya bertemu di sekolah, tak pernah ke kafe atau mal. Lalu bagaimana aku harus menanggapi ajakan kencan seorang pemuda yang baru kutemui dua kali ini?
"Gue ajak Keenan, deh," Anesh berujar lagi seolah tahu isi pikiranku yang masih sungkan pergi berdua saja.
"Eng .... Aku boleh ajak Sasha juga?" tanyaku ragu.
"Boleh."
"Oke."
"Jam tiga di kafe sebelah kampus, ya."
"Oke."
"Boleh pinjam hape lo?"
"Untuk?" Aku mengernyit.
"Mau gue masukin nomor gue."
Kurogoh ponselku dari dalam saku celana dan mengopernya pada Anesh melalui celah di bawah pagar kawat itu. Begitu benda hitam itu berpindah ke tangannya, jemarinya langsung bergerak lincah di atas layar sebelum mengembalikannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]
Romantizm[Romance] Menjelang pernikahannya, Carissa mulai ragu dengan keputusannya, antara meneruskan hubungannya dengan calon suaminya, Ganesha, atau membatalkan semua, yang berisiko membuat malu kedua belah pihak keluarga. Di satu pihak, Ganesha yang dulu...