9. Sang Penengah

97 34 53
                                    

Anesh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anesh

Gue memang senang akhirnya Keenan mau membukakan jalan untuk mendapatkan maaf Carissa. Tapi begitu kami berdua berdiri di anak tangga teratas ruang perpustakaan lantai dua dan melihatnya duduk membaca novel di meja favoritnya, keraguan itu kembali menguasai gue.

"Ayo. Jangan cemen. Sebentar lagi kuliah, nih," desak Keenan sambil mendorong lengan gue dengan pundaknya.

Setelah menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian, kaki gue mulai mengayun maju. Namun semakin dekat dengannya, semakin gue merasa dada gue bergemuruh. Bahkan gue harus mengepalkan tangan untuk menguatkan diri, membuat gulungan diktat Keenan dalam genggaman gue menjadi sedikit lecek.

Tinggal beberapa langkah lagi gue mencapai mejanya, tapi dia belum juga mengangkat kepala. Entah dia memang gak melihat gue atau pura-pura gak melihat.

Terus, Nesh. Jangan berhenti.

Carissa masih belum mengangkat kepala ketika gue sudah berdiri di hadapannya. Dan setelah embusan napas pelan, "Hai, Ris," gue menyapa.

Akhirnya wajah manis itu terarah ke gue, membuat senyum gue mengembang. Namun sesaat kemudian ia kembali menikmati novelnya, bahkan tanpa menyahut.

"Ini ada titipan dari Keenan," lanjut gue, berusaha menekan kegemasan gue karena sikap acuhnya. Gue sodorkan tumpukan kertas itu ke hadapannya. "Dia sedang ada urusan jadi gak bi ...."

"Taruh aja di situ," potong cewek itu ketus sambil memberi tanda dengan dagunya, menyuruh gue untuk meletakkan diktat di tangan gue ini di dekatnya.

Sekejap gue terpana. Gue perlu beberapa saat untuk mencerna ucapannya. Ini benar-benar di luar dugaan gue. Gue pikir setelah dua hari, kemarahannya akan menyurut dan sikapnya akan melunak. Ternyata gue salah. Dan setelah menyadari kekeliruan itu, gue buru-buru beranjak dari hadapannya.

Beberapa meter di depan gue, Keenan terkekeh sambil menutup mulut. Memang berengsek bocah itu. Orang sedang susah malah diketawain.

Dan setelah gue kembali bergabung dengannya, ia menepuk bahu gue. Katanya, "Sabar ya, Bro."

Keenan

Aku berpisah dengan Anesh saat kuliah Letter Writing berakhir. Sementara ia melanjutkan kuliah berikutnya, aku bergerak ke arah food court dan akan menunggunya di sana. Sambil berjalan, kuperiksa ponselku yang selama kuliah tadi kusetel dalam mode getar. Ada beberapa pesan di sana. Salah satunya dari Carissa.

Tanpa menghiraukan pesan lainnya, aku membaca pesan dari gadis itu. 'Terima kasih diktatnya. Aku pinjam dulu, ya. Lain kali kalau gak bisa menyampaikan sendiri, jangan titip sama Anesh.' Aku terkekeh tanpa sadar dan kembali menyusupkan ponselku dalam saku celana. Sementara pesan lainnya akan kubaca setelah aku tiba di tujuan.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang