8. Demi Sahabat

119 39 59
                                    

Anesh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anesh

Entah sudah berapa lama gue termangu sambil menggenggam ponsel. Sementara satu-satunya pertanyaan yang bergelayut di benak cuma, telepon atau enggak? Sikap Keenan saat pamit pulang tadi yang membuat gue berpikir seperti itu.

Tapi .... Kenapa gue jadi galau begini? Mungkin Keenan memang harus buru-buru mengantar adiknya kuliah hingga ia gak sempat berpamitan.

Kini dengan yakin, gue menulis pesan untuknya di aplikasi percakapan, 'Sedang apa lo? Gue butuh bantuan.'

Lalu sambil menunggu balasan, ponsel itu gue tangkupkan di meja di samping tempat gue duduk di teras belakang rumah.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Kesabaran gue habis. Gue gak bisa menunggu lagi. Setelah menyambar ponsel, gue bergegas menuju garasi. Saat melintasi dapur, gue menyempatkan berseru, "Mbok Nah!"

Mbok Nah, wanita berumur yang sudah puluhan tahun bekerja pada kami, keluar buru-buru dari dapur dengan tangan berlumuran buih sabun. "Ada apa, Mas?" tanyanya.

"Saya mau ke luar sebentar," gue berpamitan.

"Hati-hati ya, Mas."

Gak menjawab, gue meneruskan langkah ke garasi setelah singgah sebentar di samping ambang pintu dapur, di mana kaitan-kaitan gantungan kunci berjajar, untuk merenggut kunci mobil gue. Tujuan gue malam itu adalah rumah Keenan.

Keenan

Kalau mengingat kejadian di perpustakaan tadi, aku jadi senyum-senyum sendiri. Aku tak pernah mengira bisa mendekati Carissa secepat ini. Melihat sikapnya dulu, kukira aku akan butuh berbulan-bulan--atau mungkin lebih, bila tanpa Anesh--hingga bisa membuatnya membuka hati. Namun ternyata tak sesulit itu. Dia bisa dengan mudah menerimaku sebagai temannya.

Kuraih bolpoinku dan kubuka binder-ku. Lalu sambil tersenyum, kutumpahkan isi hatiku di sana.

Ketika bulan tak bersinar
Ketika ombak mencakar
Ketika petir menyambar
Apimu terus membakar

Ting tong.

"Ki, tolong bukain pintu!" seruku pada Kirani. Sementara kertas yang baru kutulisi itu kulepaskan dari binder dan, seperti biasa, kusimpan dalam laci.

Di luar kamarku, kudengar Kirani berbincang akrab dengan tamunya. Mungkin temannya. Hingga seruannya kemudian membuatku tahu, adikku itu membukakan pintu untuk tamuku.

"Mas Keenan, ada Mas Anesh!" ia berseru dari ruang tamu yang terdengar lamat-lamat tapi masih sanggup kudengar.

Aku bergerak meninggalkan meja belajar dan ke luar. Namun selain adik perempuanku yang melangkah ke arahku, aku tak menemukan siapa pun di ruang tamu.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang