4 - Takut Kehilangan

444 96 36
                                    

"Tak jarang, impian seorang anak dipatahkan oleh orang tuanya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tak jarang, impian seorang anak dipatahkan oleh orang tuanya sendiri. Untuk itu, penting sekali menyadarkan orang tua bahwa setiap anak juga butuh dukungan mental, bukan hanya dukungan materi."

~Sinyal Hijrah dari Mantan~

***

Mungkin, sebagian orang berpikir bahwa Naresh sedang terpesona pada sosok gadis yang saat ini masih berdiri di panggung cafe sambil menyanyikan sebuah lagu lama bertajuk  Don't You Remember? milik Adele. Namun, bukan itu masalahnya. Laki-laki dengan kemeja biru yang dilapisi jas hitam itu justru sedang memaknai lagu yang dibawakan.

Raga Naresh memang ada di tempat ini. Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Genggaman pada secangkir kopi di tangannya kian erat seiring memori tentang dia dan Yumna seolah berputar mengelilingi kepala.

Naresh masih membutuhkan Yumna di sisinya. Sayangnya, perempuan itu semakin sulit digapai. Rasa sesal terus menggerogoti hati Naresh. Dia bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri. Naresh tidak mengerti, mengapa dia bisa berpikir seburuk itu?

Arkan, sahabat sekaligus partner kerjanya saja sampai meragukan kesungguhan Naresh pada cintanya. Menurutya, Naresh lebih terlihat seperti seorang lelaki yang terlalu berobsesi untuk memiliki Yumna sepenuhnya. Bukan cinta yang seharusnya. Naresh tentu membantah tudingan itu. Dia benar-benar mencintai Yumna. Bukan obsesi seperti yang dibilang Arkan.

Asyik bergulat dengan isi kepalanya, Naresh sampai tidak sadar bahwa sejak tadi ponselnya terus berdering. Sampai akhirnya seseorang melintas di sampingnya dan menepuk pundak Naresh agar laki-laki itu segera sadar.

"Ponselnya dari tadi berdering, Mas," kata orang tersebut, lantas melanjutkan langkahnya kembali.

Naresh mengusap wajahnya dengan kasar. Dia langsung meraih ponsel berniat menelpon balik. Ternyata, itu adalah papanya.

"Halo. Ada apa, Pa?" sapa Naresh dengan lesu. Dia seperti sudah menebak apa yang akan dibicarakan oleh papanya.

Naresh menghela napas panjang. Tangan kirinya mengepal menahan emosi.

"Pulang. Ke mana aja kamu dari seminggu yang lalu?"

"Naresh nggak bisa," sahut Naresh singkat. Di seberang sana, papanya terus mengomel membuat Naresh tak tahan ingin memutuskan panggilannya.

"Ngertiin keadaan kami, Naresh!"

"Kalian sendiri kapan ngertiin Naresh?" sentil Naresh dengan nada pelan, tetapi syarat akan penekanan.

Laki-laki itu tidak bisa berlama-lama mendengarkan omongan papanya sendiri. Sudah cukup dirinya dijadikan robot sehingga harus selalu menuruti keinginan orang tua yang bahkan hampir tidak pernah peduli padanya.

Karena sudah hampir memasuki waktu petang, Naresh langsung bangkit menuju kasir. Setelah itu bergegas pergi meninggalkan cafe. Bukan untuk menemui papanya, melainkan Arkan yang sudah sejak tadi menunggunya di rumah.

Sinyal Hijrah dari Mantan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang