"Ini tentang kita yang pernah bersama. Yang pernah berjalan ke arah yang sama. Namun di tengah jalan, kau putar arah dan memilih jalur yang berbeda."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Jakarta, Minggu sore diselimuti langit kelabu. Hujan sejak satu jam yang lalu belum juga reda. Yumna dan Ibra terjebak hujan sehingga harus sabar menunggu di emperan toko. Aroma petrikor menerobos indra penciuman Yumna. Beberapa orang terlihat memaksakan diri untuk menerjang hujan. Mungkin karena kesabarannya telah habis sedangkan mereka masih ada kegiatan lain yang perlu diselesaikan.
Ibra terus memperhatikan Yumna yang sejak tadi memeluk dirinya sendiri akibat kedinginan. Ibra menyesali dirinya yang tidak membawa jaket seperti biasanya saat berkendara motor. "Dingin banget ya, Kak?" Dia tidak tega melihat kakaknya harus menahan dingin seperti ini. Sesekali Yumna menggaruk bagian tubuhnya karena alergi dinginnya kambuh.
"Hujannya masih lama nggak, ya?" gumam Yumna dengan rasa gelisah akibat kedinginan. Bibir ranumnya sedikit memucat.
"Mendungnya putih gitu. Pasti masih lama." Ibra menjawab sambil memperhatikan langit yang kini seluruhnya berwarna putih ke abu-abuan.
Kalau sudah begini, Ibra jadi khawatir. Dia langsung meraih kedua tangan Yumna dan menggosok-gosokkan dengan tangannya sendiri sampai menciptakan rasa hangat. Kegiatan itu terus dilakukan berulang-ulang agar Yumna tidak kedinginan.
"Coba tempelin ke leher dan pipi Kakak biar dinginnya sedikit berkurang," ujar Ibra yang langsung dituruti oleh Yumna.
Kedua mata Yumna terpejam menikmati rasa hangat pada lehernya. "Hangat, Ib," komentarnya.
Ibra kembali meraih tangannya dan menggosok-gosokkannya lagi. Yumna memperhatikannya dengan saksama. Perempuan berhijab tosca itu terenyuh dengan sikap adiknya. Meski mereka kerap kali seperti anjing dan kucing yang gemar bertengkar, tetapi tidak dipungkiri bahwa mereka saling menyayangi. Tak jarang, perlakuan manis Ibra seperti saat ini kerap kali disalahartikan oleh orang lain. Ada beberapa yang menganggap mereka pacaran dan menyalahi aturan, bahkan ada yang menganggap mereka sepasang suami istri.
Seperti sekarang ini, dua remaja perempuan yang sama-sama sedang berteduh tak jauh dari kursi yang diduduki Ibra dan Yumna, mereka ikut terbawa suasana. Mereka kira Ibra baru saja menunjukkan sisi romantisnya pada sang istri. Padahal mereka salah tafsir.
"Gila, sih. Gue baper sumpah!" pekik salah satu perempuan itu dengan volume kecil namun masih bisa didengar sampai ke telinga Ibra.
"Asli, hujan-hujan disuguhin pemandangan uwuw. Jadi pengin nikah juga," tambah perempuan di sebelahnya.
Mati-matian Ibra menahan tawanya agar tidak meledak di depan dua perempuan tersebut. Termasuk Yumna yang saat ini menggigit bibirnya menahan tawa juga.
"Sayang, bibirnya jangan digigit gitu. Nanti berdarah lho," seru Ibra dengan sengaja dikeraskan untuk memancing reaksi kedua perempuan tersebut.
Benar saja, dua perempuan itu jadi salah tingkah sampai senyum-senyum sendiri. Mereka merasa berteduh di situ adalah keputusan yang salah karena tidak tahan untuk teriak bahwa mereka terbawa perasaan.
Di sisi lain, Naresh mengendarai motor dengan pandangan yang mulai redup. Hujan yang belum reda tidak dia pedulikan. Ingatan Naresh melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu. Di mana Danang menampar dirinya tanpa belas kasih. Naresh tidak peduli pada perih di sudut bibirnya yang sedikit memar dan berdarah. Luka di hatinya jauh lebih pedih dan menyakitkan. Sorot mata penuh kecewa itu akan terlihat dengan jelas saat dia membuka kaca helmnya.
Saat ini tangan Naresh gemetar menahan dingin yang menusuk kulit. Rasanya, semua tulang persendiannya mau rontok. Terlebih, dia mengendarai motor dengan kecepatan penuh dan ugal-ugalan.
Samar-samar, orang-orang di pinggir jalan berteriak melambaikan tangan. Sebuah mobil truk melintas secara tiba-tiba dari arah selatan. Naresh memejamkan kedua matanya. Hingga tak lama kemudian, decitan dari ban motor yang bergesekan dengan aspal terdengar nyaring. Tubuh Naresh terpental jauh, sedangkan motornya nyaris tak berbentuk. Kecelakaan tidak dapat dihindari. Semua orang berlari untuk menolong.
Dengan darah yang terus bercucuran dari kepala, Naresh memandangi sekitarnya. Helm entah terlempar ke mana. Samar-samar, dia mendengar seseorang memanggil-manggil dirinya. Naresh kenal suara itu. Suara seseorang yang begitu dia cintai. Benar saja, dari kejauhan dia melihat Yumna berlari ke arahnya dengan diikuti Ibra di belakangnya. Naresh tidak kuat lagi, dadanya sesak, hingga tak lama kemudian kelopak matanya tertutup rapat.
"Naresh, Naresh, bangun!" seru Yumna berkali-kali.
Yumna ingin menyentuh Naresh, tetapi dia tidak cukup berani. Selain karena bukan mahram, dia juga tak sanggup melihat darah yang terus keluar dari hidung dan kepala Naresh.
"Ib, Naresh, Ib," gumam Yumna dengan bibir bergetar menahan tangis.
Ibra langsung mendekapnya dengan erat berusaha untuk menenangkan Yumna. Dia tahu jika hati Yumna tengah terguncang hebat akibat kecelakaan yang menimpa Naresh barusan. "Kakak jangan panik. Kak Naresh pasti baik-baik aja," ujarnya bermaksud menenangkan suasana hati sang kakak.
Tadi, Ibra sempat kesal karena ada yang menyalipnya dengan ugal-ugalan sampai membuat gamis yang dipakai Yumna kotor terkena cipratan genangan air hujan. Tak disangka, ternyata orang tersebut adalah Naresh, yang saat ini terbaring tak berdaya akibat kecelakaan yang menimpanya.
Naresh langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Orang-orang mulai membubarkan dirinya masing-masing. Yumna duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan motor Naresh yang rusak parah. Ibra sampai tak tega melihatnya.
Ibra segera merogoh ponselnya untuk menghubungi Yasa karena ini sudah hampir masuk waktu maghrib dan Yumna belum makan apa-apa.
"Halo. Assalamualaikum, Bang. Lagi di mana?"
"Halo. Wa'alaikumussalam. Di rumah, Ib. Gimana?"
Laki-laki melirik sekilas ke arah Yumna. "Nanti aku shareloc. Abang ke sini, ya?"
"Oke, ya udah ditunggu."
Ibra menghela napas lega. Untung saja Yasa sedang tidak ada kegiatan lain. "Ya udah, Bang. Terima kasih, ya. Assalamualaikum."
Hari semakin gelap, suara azan mulai terdengar. Mereka harus mencari masjid untuk menunaikan salat Maghrib.
"Kita cari masjid dulu ya, Kak? Setelah itu kita cari makan." Ibra berucap sambil mengenakan helmnya.
Yumna hanya mengangguk. Hatinya masih terguncang oleh kejadian tadi.
Mereka langsung meninggalkan tempat.
"Ib, nanti kita ke rumah sakit, ya?" Yumna tidak bisa menutupi kekhawatirannya. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada Naresh sebelum kecelakaan itu terjadi. Karena tidak biasanya Naresh mengendarai motor dengan ugal-ugalan seperti tadi.
"Sekarang Kak Yumna tenang dulu. Jangan mikirin macam-macam. Aku udah telpon Bang Yasa. Nanti aku minta tolong Bang Yasa buat cek ke rumah sakit."
"Tapi, Ib—"
"Nanti ayah marah. Ini udah malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinyal Hijrah dari Mantan (On Going)
RomanceRomance-spiritual _________________ "Ingin-Nya belum tentu inginmu. Tetapi pilihan-Nya sudah pasti baik untukmu." - Sinyal Hijrah dari Mantan Katanya, cinta yang tidak dilandasi Allah, maka sesungguhnya tidak ada cinta di dalamnya. Sehingga menimbul...