12 - Satu Kesempatan

66 9 10
                                    

"Mencintai bukan hanya perihal menerima

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Mencintai bukan hanya perihal menerima. Melainkan kesediaan untuk saling belajar dan melengkapi."

~Sinyal Hijrah dari Mantan~

***

Denyut nyeri pada kepala membuat Naresh tidak fokus pada pekerjaannya. Ditambah gaduh dari arah lift yang menarik perhatiannya untuk menoleh ke asal suara. Di sana, Arkan tampak sibuk merapikan lembaran kertas yang berserakan, sedang di sampingnya, seorang OB sibuk meminta maaf.

Terlihat sekali Arkan tengah terburu-buru, lalu dengan secepat kilat mendaratkan bokongnya pada kursi di samping Naresh.

"Ngapain buru-buru sih?"

Arkan menghela napas kasar. Gurat kelelahan tampak pada wajahnya yang kuning langsat. "Gue lupa, malam ini ada janji sama ayang. Jadi jam 4 sore gue harus udah kelar kerjaan."

Naresh memutar bola mata malas saat mendengar kata 'ayang' dari mulut Arkan. "Berapa hari dia di Jakarta?"

"Sabtu dia udah harus pulang ke Yogyakarta."

Naresh merespons dengan anggukan. Jauh di dalam hatinya, dia sangat iri dengan perjalanan cinta Arkan dan kekasihnya. Mereka berpacaran tidak lama, mungkin sekitar satu tahun. Seminggu yang lalu keduanya resmi bertunangan. Setelah itu keduanya menikmati liburan di sini. Rencananya, mereka akan segera melangkah ke jenjang pernikahan. Berbeda dengan Naresh, menjalin hubungan selama tiga tahun ujung-ujungnya putus.

"Jadi nemuin Yumna?" Ucapan Arkan menyadarkan Naresh dari lamunannya.

"Jadi." Naresh melirik ke arah arloji yang melingkar di lengan kanannya. Pukul dua siang, itu artinya dua jam lagi dia harus sudah sampai di kedai roti milik Yumna.

Arkan memutar kursinya menghadap Naresh, lalu menepuk bahunya dengan sedikit usapan guna menenangkan sahabatnya. "Inget pesan gue tadi, ya? Jangan terlalu maksa. Kesampingkan dulu ego lo, karena nggak akan mudah untuk ngambil hati Yumna setelah lo kecewain dia sehebat itu."

Naresh terdiam. Sedikit ada rasa cemas dalam benaknya, takut jika Yumna tidak memberinya kesempatan.

"Dari satu sampai sepuluh, seberapa yakin lo kalau Yumna bakal nerima gue kembali?" tanya Naresh.

Arkan mengelus dagunya sambil melirik ke sembarang arah. Lalu, kembali fokus menghadap Naresh. "Hm ... gue rasa sih lima, ya."

"Pelit banget lo ngasih nilainya," protes Naresh dengan mata melotot.

Arkan tertawa, dia lebih suka blak-blakan di hadapan sahabatnya yang satu ini. "Soalnya gue lebih setuju Yumna sama Yasa."

Itu adalah jawaban paling realistis yang bisa dia berikan pada Naresh. Sebab kalau dia jadi Yumna, jelas dia akan memilih Yasa untuk dijadikan imamnya kelak. Arkan cukup mengenal Yasa karena pernah berkolaborasi dalam kegiatan santunan di beberapa panti asuhan dan panti jompo di sekitar Jakarta. Sehingga sedikit banyak dia tahu karakter Yasa. Arkan juga tak menampik bahwa Yasa itu tampan, gaul, saleh pula. Tak kurang sedikit pun.

Sinyal Hijrah dari Mantan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang