Roaming

1.2K 107 37
                                    


Halo, ini Gema lagi.

Iya, gue tau. Harusnya sekarang part Ragil. Tapi gue juga masih nunggu kabar dari dia. Setelah pemakaman ayah Ragil dilaksanakan, gue harus buru-buru pulang karena masih ada kerjaan yang ga bisa gue tinggalin. Tapi itu udah tiga bulan lalu. Iya serius, tiga bulan. Ini waktu terlama gue jauh dari Ragil. Awalnya memang dia ingin ada di rumah sampai 90 harian ayahnya. Gue ngerti lah ya, gue juga bukan orang yang ga punya hati nurani. Tapi sebeluan setelah pemakaman itu, Ragil ga bisa dihubungi sama sekali. Begitupun ka dona atau ibu Ragil. Seakan-akan semua kompakan buat mengucilkan gue, menendang gue dari keluarga mereka. Tentunya ini cuman spekulasi gue, tapi... bayangin aja lu ga dapet kabar sama sekali baik lisan maupun tulisan selama tiga bulan, apalagi yang bisa lu pikirin?

Ga keitung berapa kali gue ditegur di kantor akhir-akhir ini karena ga berhenti liat hape. Bahkan di pesta yang diadakan untuk merayakan keberhasilan proyek yang gue pimpin untuk pertama kali aja gue ga fokus. 

Gue lirik jam yang menempel di dinding kantor, jam lima kurang dikit. Ayolah.... Gue ingin segera balik.

Ting!

Suara pesan masuk. Gue buru telepon genggam gue dengan penuh antusias, berharap itu dari Ragil.

Kami menawarkan pinjaman berbasis online. Proses mudah dan cepat. Min 5jt s/d 500jt. Hub 0813xxxxxxxx

"Sialan!" umpat gue pelan sambil ngelemparin hape ke atas meja.

Tok! Tok!

Kaca jendela sebrang meja gue diketuk pelan. Pas gue tengok, Pak Ardi berpamitan pulang. Gue lambaikan tangan. Gue kembali mengarahkan pandangan gue ke laptop. Meskipun gue ga tau apa yang sedang gue pandangi.

Tok! Tok!

Kaca jendela itu diketuk lagi. Kali ini Pak Sapto yang pamitan. Gue bangkit dari tempat duduk dan membungkuk.

"Iya pak duluan aja, masih ada kerjaan nanggung. Mari pak!" Gue lambaikan tangan. Begitu Pak Sapto tak terlihat gue kembali duduk. Kerjaan gue udah beres dari jam empat, tapi gue yang masih anak buyur harus ngebiarin senior-senior gue pulang duluan, meskipun pantat gue udah panas dari tadi ingin berlari.

Tok! Tok!

Lagi-lagi kaca itu diketuk. Gue mengerling dengan malas, karena gue tau itu pasti Mba Anti. Tapi ketika gue menoleh, Mba Anti ga ada di sana. Sosok Ragil berdiri di sana bagaikan jawaban dari doa-doa gue. Bagaikan oasis di padang pasir. Ragil tersenyum dan melambaikan tangan.

That smile, i forgot how beautiful he is when he smiles. And just like that, he was like a beautiful dawn after my darkest night full of nightmares.

Gue bangkit dari kursi gue, dan gue dorong kursi itu jauh-jauh. Gue lari keluar secepat yang gue bisa, lalu gue peluk dia. Ragil terperanjat sekejap, tapi kemudian dia memeluk balik. Dadanya, punggungnya, usapan lembut tangannya yang besar.

"Hey, ini masih dikantor loh! Kalo orang liat gima-"

"I dont care." Bisik gue, memeluknya lebih erat.

Parfumnya, wangi badannya, mengaktifkan hormon-hormon kebahagiaan dalam tubuh gue, dan sekarang hormon-hormon itu mengalir dengan deras bersama darah ke seluruh penjuru tubuh. Memberikan senasi kebahagiaan yang ga bisa gue bendung.

"Are you crying?" Tanyanya.

"Shut up."

"Im sorry." Katanya, mengusap kepala gue. "I've missed you too."

"Gema!" Suara Mba Anti terdenar dari dalam. Buru-buru gue lepasin pelukan gue. Ragil terkekeh, kemudian dia menghapus air mata dari kedua pipi gue sambil memandangi mata gue dengan pandangan sedih, tapi bibirnya tersenyum. "Mba pulang duluaa--- Eh! Ada siapa ini?! Long time no see ya Ragil, kemana aja! Mba kesepian tanpa kamu! Eh maksudnya Gema kesepian tanpa kamu!"

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang