We Know Nothing

686 95 4
                                    


"Come again?" Tanyanya. Tangannya masih dalam genggaman tanganku. Orang-orang sudah menatap kami sinis sepanjang perjalanan, tapi Gema bersikukuh. 'Setelah detik ini, kita ga akan pernah liat lagi orang itu ko,' sanggahnya. Meskipun aku agak kaget karena akulah yang berpikiran seperti itu dalam hubungan ini, tapi aku biarkan dia lakukan apa yang dia mau untuk kali ini.

"Kalo kamu ga dateng mungkin aku udah jadian sama Dean." Ulangku. Gema menghentikan langkahnya. Kami sudah berjalan cukup jauh, ketika sudah hampir sampai McDonald Simpang Dago ia melepaskan tangannya dan mengeluarkannya dari kantong jaket himpunanku.

"Trus kenapa lu jadi sama gue? I mean, thank god you did, tapi lu kenal dia duluan dan udah mau jadian tapi ga jadi karena kenal gue? Ga masuk akal ah!"

"Ya ga sesimpel itu juga, aku ga tau kalo kamu mau sama aku atau engga, dan dia udah mulai nunjukin sifat aslinya."

"Sifat aslinya?"

"Um.... Mungkin kamu tau kejadian waktu kita masih maba?"

"Iya, gue tau dari Mira... Emang kenapa?"

"Iya he's a bit crazy like that... Dulu aku kenal dia lewat boyzforum... dan.."

"Bentar, boyz-what?"

"Boyzforum itu jadi kaya situs untuk PLU gitu, dan..."

"PLU apa lagi?"

"Duh repot ya nyerita sama kamu dipotong terus, kalo ga sayang udah aku gampar deh!" Ku lihat wajahnya memerah. "PLU itu people like us, i mean... you know lah! Jadi di situs ini tuh ada forum buat kampus kita. Karena aku maba dan ingin punya temen, aku ngepost lah di forum itu buat nambah kenalan... Jadi si Dean ini kirim private message gitu... Dari situ kita kenalan..." Aku melirik menunggu reaksinya, tapi bukannya mengatakan sesuatu wajahnya seperti penasaran tentang kelanjutan ceritaku.

"Karena sibuk kuliah juga kita chat di situs itu on dan off, bahkan aku ga tau kalau yang bikin onar itu dia. Maksudnya aku tau yang bikin onar itu dia, tapi aku ga tau kalau dia itu yang chat sama aku. Udah sampe simpang mau gimana?"

Gema yang larut dalam ceritaku akhirnya tersadar.

"Masuk aja gimana? Tapi kalo orang denger gimana ya? Masuk aja deh, lu kondisiin aja ceritanya ya hahahaha kalo nyerita di angkot lebih ga enak!"

Kami akhirnya memasuki McDonald's, memesan dan naik ke atas dan duduk di luar supaya bisa lebih leluasa.

"Sampai mana tadi?" Tanyaku.

"Lu ga tau kalo yang bikin onar itu dia." Aku agak geli mendengar Gema yang terlalu bersemangat.

"Iya, akhirnya setelah masuk smester 2 kita mutusin buat ketemu di Kantin Bengkok, dari situ kita jadi sering jalan bareng. Tapi setelah lama kenal dia mulai demanding gitu, ngerti ga? You know I'm an open book, aku orangnya udah open dan udah nerima diri aku sendiri, tapi dia ingin semuanya terbuka dan dia frontal gitu kan? Awalnya aku mikir ya udah lah bagus dapet pacar kaya gini, tapi dia ingin menunjukan itu bukan karena dia emang mau, tapi lebih ke ingin show off? You know what i mean? Apalagi pas udah dateng mahasiswa baru, aku ngerasa dia manfaatin aku aja sih... Padahal kita belum resmi jadian tapi dia udah bawa-bawa aku dalam percakapannya sama temen-temennya..."

"Dan lu ga suka itu?"

"Aku udah mulai ga nyaman dari situ, dan... Icang bawa kamu waktu ospek beres kan. Aku kayanya harus nraktir Icang deh."

"Iya, tapi... emangnya gue mancarin aura hom.." Gema celingukan lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Emangnya waktu pertama kali lu liat gue, gue mancarin aura homo? Maksudnya PLU?"

Aku hanya tersenyum geli melihat matanya yang bergetar panik.

"Enggak lah! Ada sesuatu tentang kamu yang ga bisa aku jelasin. Untung kamu bawa-bawa Slam Dunk, jadi aku nemu celah dari situ..."

"Wait what? Jadi lu ngomongin Slam Dunk cuman modus?"

"Yang, di kampus kita banyak kali wibu, kamu pikir aku ngajakin kenalan mereka satu per satu gitu?"

Gema mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi keningnya masih berkerut dan matanya masih terpincing. "Iya, bukannya lu emang orangnya kaya gitu?"

"Sialan! But that's it, that's the story!"

"Lu pikir lu bisa bebas gitu aja? Lu belum cerita soal dia kepergok sama si Lita ke kosan lu tempo hari!"

"Duh, si Lita lama-lama ngeselin juga ya makin gede. Jadi semnjeak kita jauh, aku sama Dean, aku ga pernah lagi bales chat dia atau angkat telpon dia. Si Dean suka ke kosan aku ngirim surat gitu, dia masukin ke bawah pintu, soal dia minta maaf dan lain-lain. Waktu itu aku sengaja tungguin dia supaya dia berhenti! Aku jelasin ke dia kalo aku udah ada pacar!"

"Pantes dari situ dia ngeliatin gue mulu! Tapi itu apa lu ga merinding?"

"Iya makanya! Aku takutnya kamu nemuin aku termutilasi di dalam koper kan? Jadi aku buka pintu kosan hahaha, eh si Lita mergokin kayaknya!"

Gema mengambil jaket himpunanku dan menaruhnya di kursi yang kosong. Dia meraih tanganku dari bawah meja dan menariknya ke bawah jaket itu.

"I'm sorry," katanya. "I guess i 'love' you that much?" Dia tak mengatakan kata 'love' dengan keras, hanya mulutnya saja yang bergerak. Ia menggenggam tanganku dan mengusap-usapnya pelan dibawah jaket himpunanku. Wajahnya memasang senyum kecil, aku bisa rasakan kalau dia benar-benar serius tentang apa yang dia ucapkan. Tapi anehnya ada sedikit rasa perih yang aku rasakan. Nadanya ucapannya dan raut wajahnya berbeda, entah dia menyesal atau apa tapi dia mengatakannya seperti dengan rasa sakit yang tak bisa aku jealaskan.

"Kayanya emang aku juga ga terbuka kali ya? Kalo aku jujur juga ga akan ada salah paham kaya gini. Kita harus jujur sama satu lain ok? Kita kayanya harus mulai dari awal. Makanya aku kemaren kirim-kirim makanan itu, supaya aku kenal kamu dari awal. Tanpa karbitan. Eh ngomong-ngomong soal itu, kamu rajin banget ya bisa sampe dapet kursi yang sama tiap hari. Gem?" Gema tak menjawab. Ekspresi wajahnya tiba-tiba saja berubah. Pandangannya mendadak kosong, dan matanya memerah. Aku mencoba tak menghiraukan itu. "Yaudah kita pulang aja yu?"

Gema tak mengatakan apa-apa. Ia hanya bangkit dari kursinya dan mengikutiku keluar dari McD.

"Hmmm Gil, lu duluan aja deh!"

"Loh ko? Kamu kenapa?"

"Ga apa-apa, lu duluan aja!" Gema berbalik dan berjalan ke arah berlawanan, kembali ke arah kampus.

"Kamu mau kemana? Ini udah lewat magrib! Are we not okay?"

"We are okay, lu duluan aja Gil. Ada yang gue lupa di kampus..."

"Bisa diambil besok kan? Atau mau aku anter?"

"Ga usah seriusan!" Dia terus berjalan dengan terburu-buru, dan aku berlari kecil dibelakangnya.

"Gema!" Dia tak menghiraukan panggilanku. "Gema Bimana! Kamu denger ga?" Aku serasa sedang berada dalam roman picisan. Untung saja keadaan yang sudah gelapdan jalanan ke arah kampusku memang sepi. Aku tarik sikutnya , dia berhenti. Aku lihat Gema menundukan kepalanya. Kulepaskan genggamanku.

"Hey, kamu nangis?" Aku menunduk untuk melihat wajahnya, kusibak poninya dan kuangkat keningnya dengan telapak tanganku. Dia menggeleng. Ada apa dengan wajahnya? Wajahnya menunjukan kesedihan yang tak pernah aku lihat dari dia sebelumnya, yang membuat hatiku sakit terlilit.

"Are you okay?" Dia masih belum menjawab. "Apakah ini sesuatu yang ga bisa kamu kasih tau ke aku?"

Gema maju satu langkah. Dia tempelkan keningnya ke dadaku.

"Gue belum sepenuhnya jujur Gil," katanya dengan suara bergetar.

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang