A Light Year

786 97 5
                                    

"Kalau belum ada jodohnya mau diapakan pa? Yasudah bapa istirahat aja, Ragil juga masih ada kerjaan. Assalamualaikum." Ku taruh telepon genggam ku di meja sambil menghembuskan nafas kencang-kanceng. Kutundukan kepalaku, dengan kedua tanganku menopang kening. Hatiku terenyuh melihat foto bapaku yang tersenyum ke arah kamera. Foto itu diambil di depan SABUGA ketika aku diwisuda dua bulan lalu. Ayahku tersenyum bangga, sedangkan ibuku tersenyum malu-malu dan ka Dona mengacungkan kedua jempolnya sambil memamerkan giginya yang berbehel.

"Ditanyain kapan nikah lagi?" Tanya pria itu. Kulirik wajahnya yang tampak khawatir. Aku sudah menjalin hubungan dengan pria itu hampir dua tahun. Tentu saja tidak mulus, tapi kami berhasil bertahan selama ini. Hal itu patut disyukuri.

Setelah ayah Gema meninggalkan keluarga mereka setahun lalu, hubungan kami lebih terbuka. Setidaknya untuk Gema. Ibu dan dua kakaknya tak mempermasalahkan siapa yang dia kencani, aku jadi merasa kalah saing karena aku yang duluan out. Karena selain Ka Dona, tak satupun orang di keluargaku tau. Apalagi setelah ka Dona menikah tepat seminggu setelah aku diwisuda. Ayahku yang sakit-sakitan menginginkan aku cepat menikah...

"Biasa namanya juga orang tua," jawabku. Gema kembali fokus ke pekerjaanya. Aku tau ia ingin mengatakan sesuatu tapi ia tau betul kalau aku akan menyanggah pendapatnya. Aku ingat betul salah satu pertengkaran terbesar kami selama pacaran karena hal ini.

"Lu ga usah ngerasa harus bertanggung jawab udah bikin gue kayak gini Gil! Lagian selain sama lu gue ga tertarik sama cowok! Jadi, dengerin lah kata bokap lu! Gue ga apa-apa ditinggalin, seriusan! Gue bakal move on cepat atau lambat!" Gema bersungut-sungut. Padahal kami baru saja merayakan kelulusan sidang skripsinya hari itu.

"Kamu ini ngomong apa? Aku bukan ngerasa harus bertanggung jawab! Aku ga mau mengada-ada perasaan yang ga akan pernah ada! Apa maksud kamu kamu bakal move on dari aku? Semudah itu kah?" Aku benar-benar berang.

"Gue sesayang itu sama lu Gil, gue ga mau hidup lu tertahan gara-gara gue!"

"Kalo kamu bener-bener sayang sama aku, kamu ga akan pernah bahas ini lagi!" Ku banting pintu dan bernapas ngos-ngosan mencoba menenangkan diri. Ironisnya, aku membanting pintu kamarku sendiri dan Gema masih ada di dalam sana. Mau kemana aku? Aku tak mungkin masuk ke dalam setelah bertantrum seperti itu.

Semenjak itu setiap bertelpon ayahku tak pernah luput menanyakan hal itu. Sampai aku harus mengarang-ngarang tentang siapa yang menelpon kalau Gema ada di sisiku, meskipun aku ketahuan juga akhirnya.

Bahkan beberapa bulan sebelum lulus Gema sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan penyedia jasa arsitektur. Sedangkan aku baru bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan energi bulan lalu.

"We can't do this! Ayo berdiri, ikut gue!" Katanya tiba-tiba menutup laptopnya dan merapikan baju. Lamunanku tenang masa lalupun buyar.

"Mau kemana?"

"Bawel amat, ayo ikut aja! Bawa jaket lu!"

"Bukit Bintang? Kenapa?" Tanyaku ketika kita sampai.

"Gila ga? Udah dua taun aja ya? Kayaknya ini tuh tempat yang bikin gue yakin kalo gue punya rasa sama lu..." Katanya sambil menatap langit sore itu dari balik pucuk hutan pinus yang rimbun. Aku memandang wajahnya dan tersenyum. Ku genggam tangannya dan kuusap lembut.

"Thank you," kataku. "And I love you." Mulutku mengeluarkan kata-kata itu dengan spontan.

"I know," katanya masih menatap langit. "I love you too." Kita tak mengatakan sepatah katapun setelah itu, hanya memandangi langit. Tapi kemudian, "Lu pikir cuman ini aja kan?" Dia berjalan meninggalkanku dengan semangat.

"Masih ada lagi?" Aku mengikutinya dari belakang dengan tergesa-gesa. "Mau ke mana?"

"Lu pikir gue ngilang dari tadi siang ngapain?"

"Bukannya tadi ada meeting sama klien?"

"Dan lu percaya?"

"Engga juga sih! Masih jauh?"

"Suer lu bawel banget ya, just follow me okay!! Tadaaaaaaa!"

"Ini punya kita? Seriusan? Kamu... Kamu kapan nyiapinnya?"

Dihadapanku sudah berdiri sebuah tenda kemah berwarna biru tua, Kayu bakar yang siap untuk dijadikan api unggun dan hammock oranye yang membentang diantara dua pohon.

"Aku tau kamu kan ga mau repot orangnya. Makasih banyak loh. Tapi perasaan ga ada hari spesial deh?!"

"Sialan! Iya gue ga mau repot, tapi kalo repotnya buat lu ya ga apa-apa!"

"Dih!"

Gema sibuk menyalakan api unggun. Ada suara pekemah lain sayup-sayup dari jauh, sepertinya Gema sengaja memilih lokasi ini agar hanya bisa dinikmati oleh kita berdua. Aku duduk di pintu tenda, memerhatikan wajah seriusnya. Biasanya aku yang selalu repot-repot masak, ngerjain ini dan itu. Tak buruklah melihat perubahan ini.

"Gimana?" Tanyanya duduk disampingku. Hari sudah menggelap. Api unggun menari-nari memberikan nuansa hangat.

"Not, bad. Sekali-kali lah aku yang tinggal duduk doang." Dia pukul belakang kepalaku. "Aw!"

Dia menuntun tanganku. Kami menikmati pemandangan dari semak-semak ditemani segerombol kunang-kunang yang berkelip bergantian. Gema melompat-lompat disampingku.

"Kenapa sih kamu?" Dia langsung cemberut mendengar itu.

"Tadinya gue mau ngelakuin sesuatu yang harusnya gue lakuin dulu di sini. Tapi gue tarlalu pendek, jadi aja malah ngerusak moodnya." Aku tertawa geli mendengar celotehnya itu. Ku acak-acak rambutnya.

Ku bungkukan tubuhku, dan ketika Gema hendak menciumku aku tegakkan kembali. Dia yang kesal langsung berbalik, namun ku tahan. Aku angkat badannya, dan kami saling pandang. Kalau saja tak gelap, aku yakin aku bisa melihat wajah Gema memerah. Ku kecup bibirnya sekali. Gema balas mengecup bibirku. Aku kecup bibirnya sekali lagi, tapi Gema menolak melepaskannya dan akhirnya kami berciuman. Ciuman yang bagaikan cahaya bintang yang baru bisa disampaikan ke bumi beberapa tahun setelah dipancarkan. Ciuman yang harusnya kami lakukan dua tahun lalu.

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang