Apart

727 99 18
                                    


Gue terjaga sekitar jam tiga subuh. Ragil masih terlelap di sisi gue, mendengkur pelan. Wajahnya ketika tidur adalah salah satu surga di bumi. Ga kerasa bibir gue tersungging ngeliat wajahnya yang keliatan tenang dan polos. Gue berbalik membelakangi Ragil dan mutusin buat kembali tidur, dan secara refleks Ragil merangkul gue dari belakang seakan dia udah tau di mana posisi gue bahkan dengan matanya yang terpejam.

Ketika gue terbangun untuk kedua kalinya, sengat matahari udah merayap perlahan menusuk-nusuk pipi gue. Ketika itu juga gue ngerasain tangan yang besar dan lembut mengusap-usap pipi, yang bikin gue mutusin buat pura-pura tidur. Meskipun mata gue ketutup, gue bisa rasain kalo Ragil sedang menatap gue, dan nafasnya yang berbau pasta gigi meniup tepat di wajah gue.

Apa yang seorang Ragil Mahzar pikirkan ketika dia sedang menatap dan mengusap wajah gue seperti ini?

Gue pegang tangannya yang berada di atas pipi gue.

"Aku ngebangunin kamu ya?" Tanyanya setengah berbisik. "Maaf ya, tidur lagi aja."

"Engga..." Suara gue kedengeran parau. Mata gue masih enggan terbuka. Tiba-tiba gue ngerasain bibir lembut Ragil di bibir gue. Sontak gue langsung lipat bibir gue ke dalam. "Gue masih bau jigong ah..."

"Engga ko," katanya mengecup bibir gue sekali lagi. Kali ini dia nyisir-nyisir rambut gue dengan sela-sela ibu jarinya, lalu ngecup kening gue. Gue langsung buka mata dan bangkit.

"Lu kenapa?" Gue lilitin selimut di badan gue yang telanjang sambil tangan satunya ngucek-ngucek mata.

"Maksudnya?"

"Ga tau, ngerasa beda aja. Apa yang lu pikirin?"

"Ga ada, aku seneng aja bangun ngeliat kamu." Hati gue meleleh. Gue buka selimut yang membungkus badan gue, meminta Ragil untuk masuk ke dalamnya. Dia nurut. Kami duduk saling berhadapan dibungkus selimut. Gue kecup bibirnya.

"You know you can tell me anything right?"

Dia bisu.

"Ragil..."

"Tadi dapat kabar kalo bapa masuk rumah sakit lagi..."

Dada gue perih ngedengernya.

"Kenapa? Keadaannya gimana?"

"Serangan jantung lagi, katanya harus pasang ring. Ka Dona udah duluan berangkat tadi subuh."

"Lu kenapa masih di sini?"

"Tadi aku mau pergi, terus liat wajah kamu lagi tidur berat aja rasanya kalo pergi ga bilang..."

"Hey, look at me. Pergi. Sekarang." Gue buka bungkusan selimut itu dan bangkit. "Gue mandi dulu bentaaarrrrr aja, gue anter ke bandara. Lu book a flight sekarang yang paling early"

Ragil enggan melepaskan genggaman tangannya dari tangan gue.

"Babe, come on. They need you. He needs you. Semua bakal baik-baik aja." Gue peluk dia dengan erat. "Gue ga jadi mandi, gue cuci muka aja."

Gue buru-buru lari ke kamar mandi. Ragil masih diam dalam posisinya. Gue tutup pintu kamar mandi rapat-rapat dan menatap diri gue di cermin. Ucapan Ragil terngiang lagi di telinga gue. 'Tadi aku mau pergi, terus liat wajah kamu lagi tidur berat aja rasanya kalo pergi ga bilang...' Mata gue memerah dan berkaca-kaca. Meskipun ayahnya dalam keadaan seperti itu, dia masih nungguin gue bangun karena ga mau pergi tanpa pamit... God, I love this man so much so please don't take him away from me... Gue ga kebayang aja hidup tanpa dia sekarang.

Gue cuci muka gue ala kadarnya. Gosok gigi dan rapihin rambut. Ragil tiba-tiba masuk ke kamar mandi, meluk gue dari belakang dan nyium engkuk gue.

"Udah dapet flight?"

"Udah," Katanya memandang wajah gue lewat cermin. "Jam sembilan."

"Sekarang jam?"

"Hampir jam delapan."

"Yaudah buruan ayo..." Dia malah meluk gue dengan tambah erat.

"Thank you," Katanya lagi. "For being with me."

"No," Sanggah gue. "Thank YOU, for being with me."

"Lets take a picture!"

"Kesiangan Gil ah..."

"Sekali doang yang, kalo aku kangen kamu gimana?"

"Ya video call aja sih!"

"Sekali doang, please?" Gue pandang wajahnya dari cermin, how can I say no to that face?

"Iya... Iya cepetan."

"Udah kan? ayo buruan!" Ragil mengecup pipi gue dan keluar dari kamar mandi sambil berlari kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah kan? ayo buruan!" Ragil mengecup pipi gue dan keluar dari kamar mandi sambil berlari kecil.

Untungnya jalanan Bandung ga begitu macet pagi itu, perjalanan ke bandara keitung lancar. Di mobil kita ga bicara banyak, ga tau kenapa tapi gue kaya yang punya firasat ga akan ketemu dia lagi. Dan kayaknya dia juga ngerasa kaya gitu juga, karena tangan kanan Ragil ga mau lepas dari tangan kiri gue padahal dia nyetir. Kita tiba sekitar setengah jam sebelum departure, dan lagi-lagi kita hanya saling diam di parkiran.

"Kenapa?" Tanyanya melihat gue yang natap dia dalam-dalam tanpa bicara sedikit pun. "Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu?" Rgil mulai salah tingkah. Tatapannya dialihkan ke segala arah, ke atap, ke luar, hanya untuk ngehindarin tatapan mata gue."Apakah aku..." Tangannya memegang-megang pipinya dengan canggung. "Apakah aku seganteng itu kah hari ini?"

"I love you." Ucap gue. Raut wajah Ragil berubah seketika. Matanya melembut, dan dia terkulai lemas di kursinya.

"Aku juga cinta sama kamu." Keningnya berkerut, matanya berkaca-kaca tapi bibirnya tersenyum. Dia peluk gue dan usap-usap punggung gue. "Kamu tau kalo aku bakal balik lagi kan?"

"I know. Tapi lu belum pergi aja kenapa gue ngerasa kangen banget sama lu."

"I'm coming back. I promise." Gue ngelepasin pelukan itu, karena gue tau kalau ga gue lepasin dia bakal ketinggalan pesawat.

"Maaf ya gue ga bisa ikut, kalo aja ga ada kerjaan..."

"Ga apa-apa. Makasih udah nganterin..."

Gue kecup keningnya, turun ke idungnya, lalu gue cium bibirnya. Gue keluar dari mobil, yang tak lama diikuti oleh Ragil yang sudah menenteng koper kecil warna hitam.

"Udah, lu udah telat. Nanti ketinggalan, ayo buruan."

"One last hug?" dia memohon.

"Sure." Setelah kita berpelukan, Ragil berjalan menjauhi mundur menjauhi gue. "Jalan yang bener."

"Mau liat wajah kamu sampai puas." Dia terus berjalan mundur sambil melambaikan tangan. Ketika dia sampai di pintu bandara, dia membuat isyarat telepon dengan tangannya kemudian Ragil berbalik sehingga yang bisa gue liat adalah punggungnya yang lebar meninggalkan gue sendirian di belakang.

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang