What Hurts The Most

703 101 10
                                    

Terakhir kali aku menangis mungkin sekitar sepuluh tahun lalu ketika kucing kesayanganku mati. Tapi tida seperti ini. Entah kenapa, air mataku tak mau mengering. Yang lalu lalang saja terlihat khawatir, padahal yang menderitanya saja hanya berdiri di hadapanku tanpa suara. Ternyata aku memang tak tau apa-apa. Hatiku hancur untuknya, dan aku merasa kalau saja dia tak bertemu denganku, dan aku tak membuatnya "begini" dia akan baik-baik saja.

Konyol rasanya harus naik angkutan umum dalam keadaan seperti ini, maka Gema memutuskan untuk memesan taksi, yang datang tak lama kemudian dan berhenti tak jauh dari tempat kami berdiri. Gema bersikeras untuk tetap pergi ke kampus. Aku sudah menarik bajunya memohon agar dia ikut denganku, tapi katanya dia ingin sendiri dan aku tak bisa menahannya. Taksi itu melaju meninggalkannya di belakang. Sang supir sesekali melirikku, ingin bertanya kenapa namun segan.

Sampai kosan aku kembali menangis.

Kenapa aku percaya saja ketika ia bilang memar itu karena ia terjatuh di kamar mandi? Dan aku malah memarahinya karena ia ceroboh.

Kenapa aku tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan ketika hapenya tak berhenti berbunyi? Padahal itu adalah ibunya yang tak berhenti memintanya untuk pulang, karena sudah dua minggu ini ia tidur di kampus...

Pantas saja ia selalu menjadi yang pertama datang ke perpustakaan. Sementara aku? Aku malah memikirkan bagaimana Dean tak merusak hubungan kami, ketika dia menderita seperti itu. Karena aku...

"Come on over" Ku kirim sebuah pesan padanya.

Tok tok tok. Pintu kamar kosanku diketuk. Aku hapus air mataku, bangkit dan berjalan menuju pintu. Kusibak gorden jendela untuk melihat siapa, dan ternyata Gema sudah berdiri di sana. Langsung saja aku buka pintu kamarku, dan dia masuk tanpa mengatakan sepatah katapun. Kepalanya ia tundukan. Aku masih tak berani bicara padanya, aku biarkan dia bicara sendiri ketika dia siap.

Gema memelukku dari belakang dan menangis sejadi-jadinya. Suara tangisannya menyayat dadaku, sampaik dadaku terbuka lebar menunjukan hatiku yang sudah penuh luka. Aku ikut menangis lagi, kali ini tanpa suara. Tak ingin Gema mendengarnya. Aku hapus air mataku kemudian berbalik dan memeluknya. Ku usap kepalanya yang menangis ke pundakku.

"Semuanya akan baik-baik aja. Kamu punya aku, aku di sini."

Gema melepaskan pelukannya dan menangis memukul-mukul dadanya.

"Gue bisa nahan sakit memar ini Gil, tapi ga bisa nahan sakit hati gue. Bokap gue sendiri gitu Gil, orang yang harusnya ngelindungin gue..."

"Kamu udah ngomong sama mama kamu?"

Gema menggelengkan kepala.

"Ngomong lah, pasti dia khawatir banget!"

"Gue belum siap Gil, gue ga tau mesti bilang apa sama nyokap." Gema masih belum berani mengangkat wajahnya.

"Boleh aku ngomong sesuatu? Tapi jangan marah..." Gema akhirnya menatap wajahku, menunggu apa yang akan aku ucapkan selanjutnya. "Aku hubungin mama kamu, lebih tepatnya dia hubungin aku sebelumnya tapi karena aku pikir ga ada masalah, dan dia cuman nyariin kamu yang belum pulang kuliah, jadi aku bilang aku ga tau. Tapi setelah aku denger cerita kamu, aku hubungin mama kamu..."

Gema terdiam.

"Jangan marah, plis..."

Air mata mengucur dari kedua mata Gema yang kemudian ia pejamkan.

"Nyokap gue dapet nomer lu dari mana emang? Lu bilang apa aja?" Aku tak bisa menebak emosi dari nada bicaranya.

"Waktu aku pulang dari rumah kamu, kan aku nganterin mama kamu... Dia minta nomer aku. Aku ga bilang yang aneh-aneh ko, cuman bilang kamu baik-baik aja..."

"Thank you," ucapnya lirih.

Telepon genggam milik Gema bergetar beberapa kali, tapi ia abaikan.

"Angkat aja, ada aku disini." Dia menggeleng. Handphonenya kembali bergetar, dan kembali ia abaikan. "Mau aku aja yang jawab?" Tapi suara dering teleponnya sudah mati. Kemudian suara denting tanda pesan masuk berbunyi. Setelah dia membaca pesan itu, Gema menunjukkan layar telepon genggamnya kepadaku. Disitu tertulis:

'Pulang. Mama udah ninggalin papa kamu.'

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang