Kotak Pandora

1.8K 162 6
                                    

Kalo gue ditanya Ragil itu orangnya kaya gimana, jujur aja gue bingung. Ragil berperawakan tinggi. Badannya kurus tapi berisi. Kalo dipikir-pikir sekarang (yang ga gue sadari dulu), mungkin gue bisa bilang gue suka bahunya yang lebar dan kokoh, dan gue baru sadar kalo jakunnya gede juga. Wajah Ragil... orang bilang dia mirip Darius Sinatria, entah dari segi mana gue juga ga paham. Rambutnya cepak, slicked back. Makanya gue rada kaget pas sadar dia ngomong pake aku-kamu karena ga cocok banget. Ada luka melintang secara horizontal di alis kanannya. Bibirnya atasnya tipis, tapi bibir bawahnya lumayan... apa ya bahasanya, bukan tebel tapi kaya empuk? 🤦🏻‍♂️ yang kalo dia lagi serius bikin lucu. Ada tahi lalat kecil di atas  ujung bibirnya yang sebelah kanan.

Gue menyadari ini semua setelah merhatiin dia baik-baik pas kita mulai kenal cukup lama.

"Mau ke Comic Zone ga?" Ragil menepuk pundak gue dari belakang.

"Eh Gil, ayo aja sih! Jalan?"

"Jalan aja lewat gerbang belakang, gimana?"

"Yaudah, ayo! Gue udah beres juga ko!"

Ragil mengulurkan lengannya, mendekap bahu gue. Gue menoleh ke bahu gue, lalu menengadah melihat wajahnya. Tatapannya lurus ke depan. Gue ayunkan bahu gue ke belakang, meminta dia melepaskan tangannya. Dia nunduk, ngeliat wajah gue lalu naikin kedua alisnya lalu nanya "Kenapa?"

"Gue geli anjir!" 

"Yaudah," katanya tak acuh lalu berjalan mendahului gue. Gantungan Rukawa yang gue kasih ke dia berayun-ayun dari tas punggungnya yang berwarna hitam.

Udah sekitar tiga bulan semenjak gue kenal Ragil, gue masih belum biasa aja dengan gerak-gerik dia. Lebih tepatnya gue masih beradaptasi. Gue orangnya suka menyendiri, dan ga mau crossing anybody's line. Gue suka menjaga jarak, dan ga suka disentuh. Gue tau kapan gue harus berbaur, dan kapan gue harus mundur satu langkah.

Setelah gue perhatiin, Ragil emang orangnya seperti itu sama semua orang. Dia ga mendem apa yang dia rasakan, he expressed it with his body language. Kalau ngobrol dia selalu memandangi mata lawan bicaranya dan ngedengerin dengan serius. Dia juga ga pernah motong, dia selalu nunggu sampe lawan bicaranya beres ngomong baru dia ngomong. Yang bikin gue salut waktu pertama kenal dia itu, dia kalo sama temen cowonya, for him skinship is something natural. Tapi kalo lagi sama cewe, dia bakal taro kedua tangannya di belakang kaya lagi posisi istirahat dalam PBB. Pas gue tanya alesannya, dia jawab dengan entengnya:

"Kalau aku sentuh-sentuh itu aku berarti disrespectful sama ayahnya."

Setelah ngedenger itu, gue mulai ngasih tau diri gue sendiri kalau Ragil itu teman yang baik, dan semenjak itu juga gue mau aja kalau diajak nongkrong sama dia, because I know he was not a bad influence.

Sebelum kalimat itu keluar dari mulut Ragil, gue masih memutuskan buat menjaga jarak. Dua bulan pertama kita cuman sekedar saling sapa di kampus, atau ngobrol dikit kalau kebetulan seangkot atau berpapasan di tempat penyewaan komik. Tapi setelah Ragil ngasih tau alesan itu, gue mulai terbuka sih. Kalau doi ajak nongkrong gue iyain. Sekarang kita sewa komik atau novel setengah-setengah gitu, jadi kalau dia beres baca dikasih ke gue dan sebaliknya. Lagian gue pikir jarang nih gue nemu orang yang doyan baca buku secara fisikal, bukan dari laptop atau tablet jadi ga ada ruginya juga.

Diperjalanan menuju Comic Zone, Ragil masih berjalan di depan gue tanpa mengatakan sepatah katapun. Hari itu dia pake kaos putih polos longgar dan celana jeans. Gue yang ngerasa ga enak atas ucapan gue sebelumnya nyoba mempercepat langkah dan jalan disebelahnya.

"Lu... ga marah atau apa kan?" tanya gue. Dia ga jawab. Waduh... baru tau nih dia bisa kaya gini. "Lu kan tau sendiri gue orangnya gampang geli, belom biasa gue sorry deh!"

Emergency ContactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang