Part. 12 - Dating

5.2K 908 74
                                    

Yuk, kita pacaran 🙃

"Nggak boleh pulang lewat dari jam setengah sepuluh. Lewat dari jam itu, nggak boleh keluar rumah lagi," ucap Mama untuk ratusan kalinya.

Okay, it sounds so lebay, tapi memang kayak gitu. Aku aja belom pergi, tapi Mama udah merapalkan sewotan waktu aku bilang Jed mau jemput sore ini dari jam tiga sore.

Otomatis aku bete, ditambah lagi Jed yang katanya mau jemput jam lima, tapi udah mau jam setengah enam, masih belum nongolin muka. Ugh! Aku paling sebel sama orang yang suka ngaret.

Aku udah semangat untuk siap-siap dari jam tiga, terus pake dandan segala. Jam lima kurang, aku udah siap lahir batin buat dijemput, tapi pangeran masih belum datang. Di telepon, Jed bilang otw dari setengah jam yang lalu. Di chat, Jed cuma kasih emo kisseu, atau purple heart buat tenangin aku.

Akhirnya, aku cuma bisa duduk pasrah di ruang tamu dengan Mama yang masih sewotin soal jam pulang. Mama kayaknya nggak sadar kalau anaknya masih di depan mata, trus belum jalan juga. Apa iya kalau aku bakalan budeg dengan duduk di depannya dan diem aja? Aku makin bete.

"Kalau diajak ke tempat yang gelap-gelap, jangan mau. Kalau Jed nyuri-nyuri kesempatan, dikeplak aja. Kamu masih inget jurus-jurus handalan waktu belajar karate, kan?" ujar Mama yang bikin aku makin meradang.

"Ma, kenapa sih harus lebay kayak gitu? Jed nggak kayak gitu orangnya," balasku malas.

"Iya, nggak kayak gitu. Tapi bakalan kayak gitu kalau cuma berduaan aja. Dengerin Mama ya, Nau, godaan setan itu selalu ada saat manusia hanya berdua saja," sahut Mama nggak mau kalah.

Mataku menyipit tajam ke arah Mama. "Jadi, waktu Mama masih pacaran sama Papa, sering banget yah kayak gitu? Hayo ngaku."

Mama langsung gelagapan dan aku cuma bisa memutar bola mata.

"Udahlah, Ma. Aku tuh masih bisa mikir dan bedain mana yang benar atau salah," ucapku ketus.

"Justru karena kamu masih muda, makanya Mama nggak mau kamu sampe salah bedainnya. Jangan lupa, iblis itu berawal dari malaikat loh," ujar Mama.

"Menurut aku, kita bisa belajar banyak justru dari kesalahan, Ma. Kalau bener terus, yang ada malah jadi egois dan selalu merasa benar. Salah itu untuk kita belajar lebih banyak, benar itu untuk kita belajar rendah hati," sewotku.

"Ih, kamu sok bijak."

"Lah, aku bukan sok bijak. Omongan itu kan Mama yang ajarin sejak aku masih kecil. Makanya aku jadi sotoy, nekat, tapi sebenarnya penakut."

"Yah jangan jadi penakut dong."

"Makanya aku nekat, Ma. Kalah nggak nekat, kapan beraninya?"

"Iya juga yah."

Ish, Mama nyebelin banget. Suka mendadak jadi ababil dan aku yang sering bingung sama maunya Mama. Menurutku, sayang sama orang, itu boleh aja. Tapi kalau terlalu sayang, kan jadinya risih.

"Pokoknya aku bisa jaga diri. Mama nggak usah takut," ucapku sok yakin.

"Ya udah, pokoknya ingat pesan Mama. Nggak boleh kelewat batas," balas Mama yang hanya bisa dibalas anggukan olehku.

Soal kelewat batas, ciuman terakhir sama Jed rasanya udah kelewatan. Tapi biarlah itu menjadi rahasia antara aku, Jed, dan kamu yang baca ya? Jangan bilang Mama, aku takut disuruh putus. Nanti kalau putus, pengalamanku nggak bakalan nambah.

Lima menit kemudian, Jed tiba dan terlihat nggak enak hati karena sudah terlambat. Harusnya aku marah, tapi melihatnya begitu tampan layaknya pangeran berkuda, aku malah nggak bisa ngapa-ngapain selain bengong.

BACKSTREET (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang