Part. 8 - Bad Mood

5.4K 915 80
                                    

Kasih yang manis2 aja dulu, biar ada senyumnya untuk hari ini. 🙈

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Setelah pengumuman pacaran di rest area, harusnya itu jadi peringatan buat Lana agar menjauhi Jed. Ternyata sebaliknya, Lana makin gila. Cewek itu terus mendekati Jed dan sengaja bikin aku cemburu. Ugh, aku gedeg banget rasanya.

Padahal Jed sudah terus merangkul bahuku, perhatian banget buat tanyain mau makan apa, dan bantuin aku bawain tas. Tapi Lana malah terus mepet kayak bajaj. Nyebelin!

"Ngapain sih pake gandeng-gandeng?" gerutuku dengan kesal saat melihat Lana yang sengaja memeluk lengan Jed di depanku.

Emangnya perlu banget ya nanyain sesuatu pake peluk lengan? Sengaja nempelin dada biar cowoknya berasa gitu? Izzz...

"Lama-lama, tuh orang bisa kebakaran kalau lu pelototin kayak gitu," celetuk Om Will yang langsung membuatku menoleh menatapnya.

"Nyebelin!" sewotku.

"Buat apa masih cemburu kalau Jed udah pengumuman? Kan lu yang mau backstreet. Lain hal kalau Jed yang mau main hide and seek kayak gini, lu baru boleh kesel," ujar Om Will sambil menatapku judes.

"Tapi Lana itu loh," balasku gemas.

"Dia bakalan kayak gitu kalau lu nggak berani ngapa-ngapain. Siapa suruh lu kayak cewek bego yang cuma bisa pelototin dari belakang? Merasa kalah saing? Ckck, yang dijadiin pacar siapa, yang insecure siapa. Heran," sahut Om Will.

Aku bukannya insecure, hanya saja nggak mau cari ribut. Kalau aku marah-marah, nanti dikira pacar posesif. Tapi kalau diem aja, cuma bisa menahan kesal. Ugh!

"Diem itu emang baik untuk menghindari perpecahan atau pertengkaran, tapi kalau udah kelewatan, rasanya diam itu udah nggak berguna dan berakhir jadi nggak baik," tambah Om Will.

"Maksudnya Om?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Ya kayak lu gini. Dongkol sendirian, abis itu ngambekin Jed. Jadi cewek kudu punya prinsip dan tegas dong. Jangan lemah dan pasrah kayak gini. Malu-maluin aja jadi ponakan," jawab Om Will sambil menjitak kepalaku dan aku langsung mengadu kesakitan.

“Om Will apa-apaan sih?” seruku kesal.

“Ada apa ini? Kenapa lu jitak Naura, Will?” tanya Jed tiba-tiba, dan ternyata dia sudah ada di sampingku.

Jed menarikku menjauh dari Om Will dan berhadapan dengannya. Mereka berdua itu kayak tiang listrik. Tinggi banget. Aku cuma sebatas pundak Jed, sama kayak Om Will.

“Malu punya ponakan dodol kayak gini,” jawab Om Will sambil nyengir.

“Ya nggak usah main tangan gitu dong,” balas Jed yang terdengar kesal.

Jujur aja, aku merasa ge-er saat Jed membelaku kayak gini. Tanpa sadar, atau mungkin sedikit sengaja karena aku tahu Lana lagi perhatiin di sana, aku memeluk Jed dari belakang dan dia menoleh ke arahku sambil menggenggam dua tanganku yang terlipat di depan perutnya.

“Kenapa?” tanya Jed pelan.

“Ck, dasar pamer,” decak Om Will pelan, disusul seruan ciyeee-ciyeee dari Kak Santo.

Aku melirik Lana yang merengut kesal di sana. Huh, sukurin!

“Lagian, manja banget sih jadi cewek? Nggak usahlah pake acara caper kayak gitu,” celetuk Lana yang bikin aku melotot kaget.

Daritadi yang sok manja dan caper itu siapa? Astaga, maling teriak maling!

“Gue yang mau manjain, bukan dia yang manja. Lagian, Naura caper sama gue, itu bukan masalah karena dia cewek gue. Daripada suka caper sama orang yang bukan siapa-siapa, trus sengaja banget bikin orang keki,” balas Jed ketus.

“Lu ngatain gue, Jed?” seru Lana nggak terima.

“Lu berasa?” balas Jed sengit.

“Haduh, ngapain lu berdua jadi adu bacot gini sih? Cowok masih banyak, cari yang lain. Nggak usah sok-sokan pake cinta segitiga deh, kampungan banget,” omel Om Will sambil menatap Lana judes.

Sukurin! Kalau orang bener udah pasti banyak yang bela. Tapi kalau jadi ular kayak Lana, pasti kena getahnya. Aku bahkan nggak perlu sewot atau balas Lana, tapi udah sesenang ini, apalagi Jed merangkul bahuku dengan erat seolah nggak mau lepas.

Tanpa ngomong apa-apa, Jed segera mendorongku maju untuk berjalan menuju ke sebuah restoran makanan sunda. Di belakang kami, Om Will dan yang lainnya ikut menyusul. Aku nggak melihat mereka karena Jed mendesis saat aku hendak menoleh.

“Kamu tuh ababil, tapi gemesin,” bisik Jed ketus, tapi waktu aku lihat ekspresinya, Jed seperti menahan senyuman geli.

“Ish, siapa suruh kamu mau aja dicentilin sama temen ceweknya?” sewotku pelan.

“Simple aja, cuma pengen liat kamu cemburu dan mencak-mencak nggak terima. Tapi ternyata, nyali kamu cuma secetek itu. Mengecewakan,” ejek Jed.

Aku cuma bisa cemberut tanpa sanggup untuk membalas. Aku memang nggak punya nyali sebesar itu, juga nggak tahu harus bagaimana. Kata Mama, sebagai anak harus menghormati orang yang lebih tua dan menghargai orang lain. Tidak boleh menyakiti dan harus jadi orang yang punya sikap. Aku selalu pegang pesan Mama dan melakukannya, tapi kalau keadaannya dihadapkan dengan Lana yang terus mengusik ketenanganku, kayaknya aku bisa marah.

Menempati meja yang memiliki enam kursi, aku dan Jed duduk bersisian, sementara yang lainnya duduk di depan kami, dimana Om Will berada di tengah, diapit oleh Lana dan Kak Santo. Seperti sengaja, Lana duduk tepat di depan Jed, sedangkan aku berhadapan dengan Om Will.

Restoran makanan sunda adalah pilihan Om Will untuk makan siang, yang sudah pasti akan ada menu ayam goreng, ikan gurame goreng, dan macam-macam, yang artinya kudu ada aktifitas menyuwir dan makan pake tangan. Saat makanan sudah disajikan, Jed dan Om Will kolabs buat isi piringku. Jed isi dengan ayam goreng bagian paha yang sudah disuwir, dan Om Will dengan ikan gurame kipas yang sudah menjadi beberapa potongan.

“Manja banget jadi cewek? Kenapa nggak suwir sendiri? Harusnya kerjaan kayak gitu, lu yang ngerjain buat kasih cowoknya makan,” sewot Lana dengan nada judes yang kentara. Keliatan sirik banget.

Om Will mendesis sinis pada Lana. “Lu kenapa sih sama Naura?”

“Gue cuma kasih tahu,” balas Lana nggak senang.

“Kasih tahu atau sirik lu? Berisik banget!” omel Om Will.

“Lagian juga, nggak mesti kan kalian berdua yang nyuwirin kayak gitu? Lebay,” lanjut Lana.

“Lu mau disuwirin juga, Na? Sini, lu mau apa? Udang bakar? Ikan goreng? Atau ayam? Sebut aja, tangan gue nganggur banget belom ngapa-ngapain nih,” sahut Kak Santo sambil memiringkan kepala untuk bisa melihat Lana karena terhalang Om Will.

“Nggak perlu! Gue nggak manja kayak dia. Soal suwir menyuwir itu urusan kecil, yang cuma kayak gini doang juga udah bisa makan,” balas Lana ketus, sambil mematahkan sepotong paha ayam dengan wajah cemberut.

“Kalau udah tahu soal ginian urusan kecil, kenapa lu jadi sewot?” tanyaku sambil mendengus. Bodo amat deh pake bahasa lu-gue, emang gue pikirin!

“Biar lu tahu diri dan nggak malu-maluin gue sebagai sesama cewek,” jawab Lana sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.

“Oh, kalau ngomong soal malu-maluin, ada baiknya lu kasih contoh soal sikap lu yang nggak usah kegatelan jadi cewek. Itu jauh lebih malu-maluin,” balasku nggak mau kalah.

Wajah Lana memerah, dan aku tahu dia sangat marah. Mungkin nggak terima tapi aku nggak peduli. Aku cuma balas menatapnya dengan ekspresi datar, sementara yang lainnya cuma asik makan sambil melihat kami berdua.

“Lu jangan sembarangan ngomong ya. Gue…”

“Kalau lu masih belum mau diem, ada baiknya lu pergi dari sini,” sela Jed dingin.

Lana langsung merengut dan menatap Jed kesal. “Kok lu jadi salahin gue sih?”

“Siapa yang cari gara-gara duluan?” balas Jed kalem.

Lana nggak bisa jawab, dan aku cuma bisa menyeringai puas sambil mengangkat alis sebagai seruan kemenanganku. Sebagai seorang yang lebih dewasa, seharusnya Lana bisa menjaga sikap dan tidak menjadi kekanakan kayak gitu. Aku nggak habis pikir kenapa ada orang macam itu.

“Gue cuma kasih tahu, bukan cari gara-gara,” ujar Lana akhirnya.

Jed kembali mengoper beberapa suwiran ayam ke dalam piringku, tampak begitu santai dan sama sekali nggak peduli dengan decakan kesal Lana. Aku yang daritadi belum mulai makan, langsung meraih sendok karena delikan mata tajam Jed yang menusuk seolah menyuruhku segera makan.

“Lagian, bukan urusan lu untuk kasih tahu soal Naura yang nggak bisa suwir makanan. Kayak yang lu bilang kalau suwir menyuwir itu urusan kecil, sama halnya kayak gue yang emang suka nyuwirin makanan buat dia. Semua orang bisa lakuin dan ini bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan,” ujar Jed sambil menyendok makanan dan menatap Lana tanpa ekspresi.

Aku nggak bisa menahan senyuman lebar saat mendengar pembelaan Jed padaku. Ternyata, saat jatuh cinta kepada orang yang tepat, rasanya semenyenangkan itu. Di depanku, Om Will cuma menatapku jenuh sambil mengunyah, mungkin dia nggak menyangka jika aku bisa sedekat itu dengan Jed.

Lana nggak berani membalas dan sesi makan siang berlanjut dalam obrolan para cowok dengan topik web desain dan program terbaru yang aku nggak mengerti. Makan siang selesai dan kami mulai berjalan keluar dari restoran. Nggak langsung kembali ke mobil, tapi berhubung restoran itu berada di persimpangan jalan yang berada di Puncak Pass, yang lainnya memutuskan untuk jalan-jalan sejenak.

“Eh, kita mau kemana? Om Will mau mampir ke FO sebentar buat beli baju ganti,” tanyaku bingung saat Jed menarikku menjauh dari barisan teman-teman yang sudah lebih dulu menyebrang untuk ke FO yang berada di sebrang.

“Ke mobil,” jawab Jed pendek.

“Hah? Untuk apa?”

Jed nggak menjawab, tapi justru membukakan pintu untukku dan mendorongku masuk ke dalam mobil. Aku yang bingung cuma bisa melihat Jed yang menutup pintu, berjalan mengitari mobil, dan kembali duduk di bangku kemudi.

“Kita mau ninggalin mereka?” tanyaku bingung saat Jed berbalik untuk menatapku.

“Nggak,” jawab Jed sambil mengulurkan tangan ke sisi kursi untuk menurunkan sandaran kursi yang kududuki, spontan membuatku langsung memekik kaget.

“Jed! Mau ngapain?” seruku kaget saat Jed sudah membungkuk dan menyeringai padaku.

“Mau minta hadiah karena udah jadi pacar pengertian,” jawab Jed sambil mendekatkan wajah kami hingga ujung hidung kami bersentuhan.

“H-Hadiah?” tanyaku gugup dan spontan menggenggam bahu lebar Jed seolah takut jatuh padahal aku merebah di sandaran kursi, dimana Jed persis di atasku.

“Mau cium pacar manis sampe puas, karena udah nahan diri selama seminggu. Terus, kayaknya ada yang sengaja godain aku buat kelewat batas, jadi aku mau bablas.”

Dan setelahnya, Jed mencium bibirku. Kayak yang dia bilang soal bablas, kali ini ciumannya benar-benar kelewat batas sampai aku kewalahan. Gerakan bibirnya cepat, keras, dan cukup kasar. Herannya, aku menikmati sesi tukeran lidah dengan Jed yang membuat seluruh tubuhku lemas dan seperti meleleh dari dalam.

Oh, satu lagi. Aku menyukai sentuhan Jed di atas dadaku. Meski terasa nyeri, tapi remasan itu membuatku seperti melayang nggak karuan. Aku sangat menikmati debaran jantung yang berdegup begitu keras saat ini. Hmmm...




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Yang pernah punya cowok terus nggak pecicilan kek Jed, coba absen! 🤣

Aku? Pernah dong.
Kalau nggak, mana mungkin part ini hadir untuk membuat kalian tersenyum malu sambil tutup muka 🙈

Jangan lupa bahagia ya!

04.12.2020 (21.00 PM)



TIM SUHO, CHECK?

TIM HAN JI PYEONG, CHECK?

🤣🤣🤣🤣🤣🤣

BACKSTREET (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang