Part. 14 - Tutor time

5.3K 873 55
                                    

Mama bilang kalau jadi cewek itu harus serba bisa, terutama soal masak. Maka dari itu, aku sering disuruh cuci piring, potong bawang, dan liatin Mama kalau lagi masak. Bahkan, urusan soal harus serba bisa itu bikin Mama jadi ibu tiri yang tega menyiksa anaknya dengan menyuruh aku cuci baju pake papan cuci, bukan mesin cuci.

Meski aku sering menggerutu tiap kali disuruh, saat ini aku bersyukur karena bisa tunjukkin kemampuan aku buat cuci piring dan bersihin meja sehabis makan. Jed? Well, dia masih ngambek.

Aku kaget saat tangan Jed mulai menggerayangi tubuhku dengan berani, juga ciuman yang cukup dalam. Tanganku refleks memukul kepalanya dengan keras, lalu menggigit bahunya agar bisa menjauh. Jujur aja, aku memang nekat, tapi juga takut kalau terlalu ngegas.

Rasa bersalahku semakin besar saat melihat kening Jed memerah, juga ekspresinya yang seperti menahan marah. Kalau daritadi aku berusaha sibuk dengan membersihkan meja, mencuci piring, dan membuang sampah, kali ini nggak ada yang bisa aku kerjakan selain menatap Jed lirih.

Seperti menyadari jika aku memperhatikannya, Jed menoleh dan menatapku dengan alis terangkat. Sumpah! Cakep banget! Kenapa sih ngalamin masa puber, harus banget jadi bucin kayak gini? Aku takut nggak kuat.

"Ngapain bengong di situ? Udah mau pulang?" tanya Jed datar.

Tuh, kan? Orangnya masih ngambek. Aku jadi serba salah. Mau pulang, tapi nggak rela karena masih jam tujuh. Mau tetap di sini, juga harap-harap cemas. Sehubungan aku memang orangnya suka nekat, ya udah diberaniin aja, masalah takut itu urusan belakangan dulu.

"Nggak, masih mau main," jawabku sambil menggeleng.

"Ya udah, sini! Ngapain berdiri dan bengong di situ?" ajak Jed sambil mengulurkan tangan untuk bergabung dengannya di sofa.

Aku langsung merengut sedih sambil menyambut uluran tangannya, lalu memeluknya untuk membenamkan kepalaku di bahunya sambil terisak pelan.

Selain nekat dan penakut, aku juga cengeng banget. Rasanya sedih kalau harus kasar sama cowok, tapi kan Jed udah kelewatan tadi. Aku juga kaget dan belum siap.

"Hei, kenapa nangis?" tanya Jed lembut sambil mengusap punggungku.

"Aku jahat udah mukulin kamu," jawabku sambil terisak.

"Loh? Kok gitu mikirnya?" tanya Jed sambil mendorong bahuku agar dia bisa melihat wajahku, lalu mengusap kedua pipi dengan jempolnya.

"Jidat kamu jadi merah. Terus, pasti pundaknya sakit karena aku gigit kenceng banget," jawabku sedih.

Jed tertegun, lalu tersenyum pelan sambil menggelengkan kepala. "Seriously? Kamu malah mikirin aku yang bakalan sakit karena dipukul dan digigit gara-gara aku yang udah kelewatan?"

Aku mengangguk sambil ingin menangis lagi.

"Eh, jangan nangis. Apa yang kamu lakuin itu udah benar. Yang seharusnya merasa bersalah itu aku, bukan kamu," lanjut Jed sambil menangkup wajahku dan mengecup ringan hidungku, kemudian tersenyum lembut.

"Tapi aku..."

"Kamu nggak salah, jadi jangan merasa bersalah. Yang salah itu aku karena sentuh kamu sembarangan dan nggak pake permisi. Maaf, yah," sela Jed sambil menatapku dalam.

Duh, aku memang bucin sejati. Jed minta maaf aja, hatiku berdebar kencang. Kata Ria, punya pacar orang dewasa itu harus siap lahir batin. Soalnya mereka sering main tangan alias suka raba-raba. Juga pinter banget bikin baper dan itu bener banget.

Aku pernah baca kalau cowok itu memang suka mikir jorok, tapi cewek juga kayak gitu meski aku belum dapat pikiran jorok itu. Jujur aja, aku kaget bukan karena Jed kelewatan, melainkan insecure.

BACKSTREET (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang