Sang cakrawala sudah benar-benar kelabu, seakan ikut membaur dalam kesedihan atas segala perseteruan yang berujung duka. Tanah kering yang mereka pijaki benar-benar gersang, bak tak ada kehidupan.
Kini hanya ada mereka bertiga, tak ada kehidupan lainnya. Tirta amarta pun tak mengalir dalam tanah itu. Di antara batasan-batasan mencinta, mereka telah melanggar batasan yang kerap kali sulit dilanggar. Di antara jiwa-jiwa yang pendendam, Grady telah sampai pada puncak dimana amarah yang merasuki dirinya dan terus berkembang menjadi kembang busuk dalam jiwanya.
Grady ikut menangis melihat Luna terisak. Ia menyesal karena telah gegabah dan dendam. Dia tidak pernah berniat untuk membuat Olive melebur menjadi abu, Grady hanya ingin membunuh Olive, tapi apa yang sekarang ia perbuat? Ia sudah melenyapkan Olive, dan Grady sakit melihat Luna menangis.
"Grady, semua ini karenamu!" ucap Luna dengan nada yang begitu marah, "Mengapa kau tega membunuh cucuku! Dia bahkan tak mengerti apa pun tentang kita!" Luna menjeda kalimatnya karena terisak. "Jika kau dendam, mengapa tak membunuhku saja, Grady? Mengapaaa?!" Luna mengatakannya dengan sangat marah walau sambil terisak. Bukan marah sebenarnya, kata yang lebih tepat untuk menggambar hatinya saat ini adalah kecewa. Ya, Luna kecewa, mengapa harus cucunya?
Ditatapnya abu Olive yang semakin melebur dengan udara. Digenggamnya debu gadis yang sangat mirip dengannya itu. Hanya Olivelah yang meneruskan sifat baik hati Luna. Tawa bayi Olive serta genggamannyalah yang membuat Luna kuat kala semakin merasa tak berarti di keluarganya itu. Kenyataan bahwa Olive masih sangat mencintainya meski sudah pergi sebelum Olive bisa bicara membuat Luna makin menyayanginya. Luna menangis sejadi-jadinya di samping abu Olive yang tersisa sedikit.
"Luna, aku tidak berniat membuatnya melebur menjadi abu, aku hanya ingin membunuhnya." Grady menjeda kalimatnya sebentar. "Tapi bocah menjengkelkan itu yang membuatku muak! Aku bermaksud ingin membuatnya melebur menjadi abu, tapi tiba-tiba Olive menghadangnya!" ucap Grady membela diri.
"Seharusnya kau pun tidak melakukan itu pada Farell! Dia orang yang baik, dia melindungi Olive dengan segenap jiwanya! Harusnya kau membiarkan Olive menjalani hidupnya dengan normal! Bagaimana pun dia itu cucuku."
Abu Olive sudah habis, di bawa terbang anila, menyatu dengan udara. Luna menangis lebih keras, hanya isakannya itu yang terdengar di sini. "Olive sangat mencintai Farell, untuk itu dia melindungi Farell dari kekejamanmu."
"Tidak, Luna. Tidak."
Luna menggelengkan kepalanya, menurutnya Grady benar-benar keras kepala sekali karena tak mau disalahkan, bahkan ketika itu memang salahnya. Jiwanya benar-benar sudah tak dapat dikendalikan, ditutupi oleh dendam yang telah membusuk.
"Andai saja kau tak dendam, pasti tak akan menjadi seperti ini! Sudah kubilang ikhlaskan, masa lalu hanyalah sebuah angin lalu, tapi kau keras kepala tak mendengarkanku."
"Aku benci dia, Luna. Semenjak kehadirannya kau sudah tak pernah dianggap ada oleh mereka yang kau sebut keluarga. Dulu mereka tega mengambilmu dariku, namun ketika kau pergi, mereka tak menghiraukanmu. Mereka tak pernah berduka atas kematianmu, hanya aku yang merasa kehilangan. Bahkan ketika kalian mengetahui penyakitmu, mereka masih bisa berbahagia atas kehadirannya!"
"Cukup, Gradu. Cukup!" Luna menjeda kalimatnya dan menyeka air matanya. "Olive tak pernah salah, dia hanyalah seorang bayi yang tak berdosa. Bayi yang selalu diidam-idamkan oleh keluargaku. Bagaimana kau bisa dengan teganya membunuh darah keturunan mantan kekasihmu yang bahkan sampai kini masih kau cintai? Aku sungguh tak habis pikir denganmu, Grady."
"Tapi aku tak terima dengan perlakuan mereka terhadapmu, Luna," ucap Gradi dengan suara yang mulai melemah.
"Sudahlah, Grady. Itu wajar, mereka sedang berbahagia melihat putri mereka lahir. Aku pun bahagia melihatnya lahir ke dunia, bahkan sedari dia dalam kandungan aku sudah menunggunya. Aku menyayanginya, mencintainya dengan tulus, Grady. Kau selalu tak paham apa arti sebuah ketulusan," ujar Luna dengan menekan kata ketulusan. "Gradi, kau mencintaiku, bukan?"
Gradi mengangguk mantap, "Iya, Luna. Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu."
"Jika kau mencintaiku, seharusnya juga kau mencintai orang-orang yang ku cintai, bukan malah menyakitinya dan membuatku menjadi sedih."
Gradi terdiam, ia merenungi apa yang dikatakan Luna baru saja. Semuanya memang benar, ia tak seharusnya melakukan apa yang membuat keadaan bertambah runyam. Grady menatap luasnya nabastala, memejamkan matanya lalu menggelengkan kepalanya.
Luna benar, seharusnya aku tak melakukanya. Seharusnya aku tak menyakiti Olive, menyakiti orang yang Luna sayang sama saja seperti aku menyakiti Luna sendiri.
Grady menatap Luna lekat, ia benci dengan air mata Luna yang terus mengalir. Ia sedih melihat guratan tajam mata Luna yang seakan menandakan suatu kebencian. Ia tak kuat melihat Luna seperti ini. Air matanya mulai menetes.
"Luna," Grady menatap lurus ke manik mata wanita yang dicintainya itu. "Maafkan aku, Luna. Maafkan aku," ucap Gradi dengan isakannya.
Semua telah terlambat, Olive telah tiada. Bahkan raganya saja telah menghilang entah kemana. Hanya penyesalan yang masih tersisa, menyelimuti hatinya, menghapus dendamnya selama ini.
Grady berlutut di depan Luna, dengan matanya yang kian basah. "Luna Carabella." Grady memanggil Luna dengan suara serak yang berbaur dengan isakan. "Maaf kan aku, Luna. Maafkan aku. Aku mohon, katakanlah, harus dengan cara apa agar kau dapat menerima permohonan maaf dariku?"
Luna menggelengkan kepalanya, ia seakan sudah tak mengerti harus berbuat apa. Matanya menatap cakrawala dengan linangan air matanya yang terus tumpah sedari tadi. Ia memejamkan matanya, mencari ketenangan. Seakan pasrah terhadap takdir Tuhan.
"Sudahlah, tak ada gunanya menyesali semuanya. Takdir telah tergambar, kau telah berperan penting mengantarkan cucuku pada takdirnya." Senyum simpul terbit di wajah manis Luna meski dihiasi dengan keriput dan air mata.
"Tidak. Aku tak pantas untuk tetap hidup seperti ini. Aku telah melenyapkan seorang gadis tanpa sisa."
Air mata Grady keluar. Tubuhnya mulai berubah, kembali menjadi pria dewasa gagah, sama seperti saat kedua insan yang saling mencintai itu masih bersama.
Luna menggeleng dengan menahan isakannya. Tangannya mulai kehilangan keriputnya saat menyentuh wajah Grady, berusaha menenangkan.
"Tidak." Grady mengalihkan tangan Luna lembut, berdiri dan berjalan menjauh. "Kembalilah ke tempatmu. Temani kekasih cucumu."
"Kau mau ke mana?" Luna mulai khawatir dengan apa yang mungkin akan dilakukan Grady.
"Aku akan menebus semuanya."
"Apa? Bagaimana kau menebusnya? Jangan melakukan hal aneh dan perbaikilah hatimu."
Suara lirih Luna tak mengubah niat Grady sedikit pun. Sebuah cermin muncul dihadapannya. Kini pantulan tubuh Grady terlihat di cermin. Cahaya merah dari tongkatnya itu kembali muncul, sama seperti cahaya sebelum Olive menjadi abu.
"Jangan, Grady. Kumohon." Tangis Luna kembali membuncah. Tak bisa diingkari, cinta yang tulus masih tertuju pada Grady, meski ia telah membunuh cucunya.
"Pergilah, Luna. Aku akan menebus segalanya."
"Tidak. Jangan. Itu tak menyelesaikan masalah."
Rupa Luna di kala muda menangis. Ia terduduk sedih, hatinya kalut tak sanggup menghadapi semua yang terjadi di depan matanya. Kini Grady menutup mata, memusatkan konsentrasinya. Ia sudah tak lagi mendengar apa yang dikatakan Luna. Isakan terus terdengar dari bibir wanita muda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Shadow [TAMAT]
HorrorKeterlambatan di awal masuk sekolah membuat Olivia Adney bertemu dengan sosok yang selalu muncul di pikirannya. Sosok itu tidak pernah terlihat di kemudian hari, melainkan kejadian-kejadian janggal selalu berdatangan. Siapa kah sosok misterius itu...