28. The New Life (END)

98 16 2
                                    

Luna semakin tak mengerti bagaimana pikiran Grady. Melenyapkan dirinya sendiri tak akan bisa menyelesaikan masalah. Isak tangis terus terdengar di dunia gersang ini. Dan cahaya merah itu masih terus berputar dan kian membesar, lebih besar dari sebelumnya.

"Grady, itu hanya akan menyakitimu tanpa membuatmu dimaafkan."

"Aku tak bisa tetap hidup dengan rasa bersalah ini. Maafkan aku, Luna."

"Aku tak akan pernah memaafkanmu."

"Maaf." Suara Grady terdengar lirih, dan mulai mengayunkan tongkat pusakanya itu.

Dilemparnya bola cahaya itu ke arah cermin, agar bisa berbalik ke arahnya. Tanpa disadari, Luna beranjak dari tempatnya. Ia berlari dan menuju ke arah Grady.

"Jangan ke sini Luna!" teriak Grady panik.

Namun semuanya terlambat. Luna sudah berada dalam pelukan Grady kala pantulan bola cahaya itu sampai ke tempat Grady berdiri. Mereka berdua hilang, melebur menjadi abu.

Senyum tulus hadir di wajah manis Luna, ketika tubuh kecilnya itu kembali berada dalam pelukan pria yang sangat dicintainya itu. Bertahun-tahun lalu, takdir yang memisahkan mereka. Dan kini, takdir pulalah yang meleburkan abu mereka menjadi satu, terbang bersama mengikuti arah hembusan anila.

Tak ada lagi yang namanya dendam, tak ada lagi paksaan dalam mencintai. Tak ada lagi yang namanya menahan diri agar tak melanggar aturan semesta. Tak ada lagi retisalya antara mereka berdua.


ꪶ ཻུ۪۪ꦽꦼ̷⸙ ━ ━ ━ ━ ꪶ ཻུ۪۪ꦽꦼ̷⸙


Farell tak dapat mendengar apa pun yang mereka katakan. Dadanya sesak, hatinya kalut. Kekasih yang sangat dicintainya sudah pergi, melebur menjadi abu. Membawa pergi harap yang selama ini tergantung di atas nabastala.

Kabut kelam menyelimuti hari-harinya di tempat itu. Tak ada lagi motivasi untuk terus melanjutkan hidup. Reinkarnasi pun rasanya percuma, ia tak dapat melihat lagi senyum di bibir gadis yang sangat disayanginya itu. Iya tak lagi dapat melihat binar semangat di manik mata yang manis itu. Bahkan, sampai akhir kehidupan gadis tak bersalah itu hanya kepedihan yang menyelimutinya.

Ia kalut, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia terus memohon untuk kembali menghidupkan Olive meski tahu itu hal yang tak mungkin mengingat semua yang telah melebur menjadi abu tak dapat kembali lagi.

"Tapi ... tak ada yang tak mungkin, kan? Bisa saja Tuhan menghidupkannya kembali. Tak ada yang tahu apa kehendak-Nya," monolognya menghibur diri.

Tak ada waktu yang terlewat bagi Farell untuk memohon pada Tuhan agar menghidupkan Olive kembali. Setidaknya, ia hanya ingin membuat Olive bahagia. Membuat akhir dari kehidupannya itu dihiasi dengan senyuman. Membuatnya merasakan kebahagiaan yang bukan semu. Membuat harinya terus berwarna tanpa ada kabut sedikit pun.

"Tuhan, buatlah gadis itu bahagia, bahkan di ujung kematiannya." Segala permohonan keluar dari lisannya, dengan satu harapan yang sama. Agar Olive diberi kehidupan kedua untuk merasakan kebahagiaan.

Banyak arwah yang datang dan pergi silih berganti. Pergi untuk bereinkarnasi menebus perbuatannya di masa lalu, atau pergi menuju keabadian nirwana. Namun Farell masih diam di tempatnya. Memohon kepada Tuhan hingga permohonannya terkabul.

Farell bahkan sudah tak peduli akan ketenangannya di keabadian. Farell hanya menginginkan Olive hidup kembali seperti semula, Farell hanya ingin kekasihnya kembali. Olive berhak bahagia, bahkan Farell rela menghabiskan waktunya hanya untuk membuat Olive bahagia, sekalipun ia harus memohon-mohon pada Tuhan.

Farell sangat mencintai Olive, ingin selalu bersama Olive, membuat Olive bahagia. Tapi, nahasnya Olive benar-benar menjadi abu, dan abu itu larut terbawa anila. Membuat Farell tak dapat melihat Olive lagi, tak dapat melihat lengkungan di bibir ranumnya, melihat Olive tertawa ceria.

"Ya Tuhan, ku mohon, kembalikan Olive, hidupkanlah lagi Olive. Aku belum berhasil membuatnya bahagia," rintih Farell memohon pada Tuhan. Namun Tuhan seakan tak mendengar keluh kesah Farell, Tuhan seakan sedang menghukum Farell agar tak pernah bisa bertemu dengan kekasih yang sangat ia cintai. Tuhan seakan sedang menghukum Farell karena Farell tak bisa benar-benar menjaga gadis yang dicintainya, dan gagal membuat Olive bahagia di sisa hidupnya.

Air mata Farell tak pernah mengering meski diterpa anila, permohonannya pada sang kuasa teruntuk gadis yang dicintainya tak pernah surut meski diterpa massa. Bahkan rasa cinta Farell terhadap Olive tak pernah sirna, tak pernah berkurang sedikit pun meski sudah tak pernah lagi memandang eloknya wajah Olive.

Mungkin Farell memang membenci semua kejadian ini. Tapi, Farell juga tak bisa menyalahkan Tuhan. Pikirannya berbicara bahwa semesta tak adil terhadapnya. Tapi, barangkali ada rencana indah semesta yang terselip di antara ribuan rencana-Nya yang belum terjadi. Farell tak pernah sekali pun berhenti memohon keajaiban pada sang pemilik kehidupan. Farell sangat ingin gadisnya kembali pada dekapannya.

100 tahun telah berlalu, dan Farell masih saja melakukan hal yang sama. Berkali-kali tanpa merasa jenuh. Ia masih saja tak bisa menerima keadaan ini, kehilangan orang yang dicintai dengan cara yang tidak adil. Hingga ada satu titik ia menyerah, kembali melanjutkan roda kehidupan. Bereinkarnasi dan menjalani hidup baru.

Semua kenangan bersama Olive membanjiri memorinya, hingga air bening itu tak dapat lagi dibendung oleh kelopak matanya. Saat pertama kali mereka bertemu, saat Olive menyorakinya di pertandingan basket, saat mereka belajar bersama, saat hari bahagia dan duka itu, bahkan saat terakhir kali Farell dapat melihan sosok manisnya.

Ia berusaha menerima kehendak Tuhan, bereinkarnasi dan melupakan segalanya. Mulai berjalan menuju arah yang akan membawanya kembali ke dunia. Ia terus berjalan di lorong panjang itu, sembari ingatan yang semakin memudar. Rupa remaja 17 tahun itu semakin memuda, seiring ingatan yang semakin kosong. Ia terus berjalan, hingga arwahnya terbang menuju suatu raga di dunia. Menembus perut sang ibu muda, memasuki bakal raganya itu.


ꪶ ཻུ۪۪ꦽꦼ̷⸙ ━ ━ ━ ━ ꪶ ཻུ۪۪ꦽꦼ̷⸙


16 Agustus 2119

"Waah, Yah! Ayah!" seru seorang wanita berusia dua puluh lima tahun itu dengan menghampiri sosok yang dipanggilnya ayah itu.

"Ada apa, Bunda? Mau mangga? Sate? Kebab? Jangan yang aneh-aneh, ya. Udah hampir jam sembilan malem."

"Iih, bukaaan. Bukan ngidam, hihi. Kan tadi udah ngidam."

"Kemaren juga pengen mangganya sepuluh kali dalam sehari. Mana marah lagi kalau diambilin sekalian banyak."

"Iih, kan demi bayi kita, Yah."

"Iya, iya. Terus tadi kenapa manggil?"

"Dedek bayinya nendang," ujar wanita itu dengan setengah berbisik dengan senyum cerah menghiasi wajahnya.

"Oh ya?"

"Huum, coba deh dirasain."

Pria itu menyentuh perut sang wanita, dan tak merasakan apa-apa.

"Ngga kerasa apa-apa, Bun. Orang Fandy baru berumur 14 minggu, juga," ujar pria itu dengan menyebut nama calon putranya itu.

"Iih, kerasa tahu. Tapi cuma sedikit. Coba lebih fokus. Mungkin baru gerak-gerak dikit."

Beberapa detik sudah berlalu, masih belum terasa apa-apa. Tangan pria itu masih di perut wanita yang kian membesar itu. Hingga suatu hentakan kecil terasa.

"Eh! Iya, Bun! Iya, Fandy kita udah gerak!" Raut muka pria itu terlihat begitu semringah, hingga air mata bahagia keluar dari balik kelopak matanya.

"Tuh, kan, dibilangin juga."

Kebahagiaan menyelimuti calon orangtua itu. Hal yang sangat sepele, mengetahui bakal putra mereka tumbuh dengan baik di dalam sana saja sudah menumbuhkan kebahagiaan yang tak terkira. Anggota keluarga baru akan segera hadir, melengkapi keluarga kecil itu. 

Dark Shadow [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang