Mei, 2018
Semenjak dua kali diantar pulang oleh Izan, hubungan kami malah menjadi semakin dekat.
Ketika berpapasan di kantin atau di lapangan, Izan mau tak mau tersenyum malu-malu saat melihatku yang masih saja salah tingkah di depannya.
Sampai suatu ketika, kudengar Izan berencana keluar dari ekstrakurikuler polisi pelajarnya. Nadila yang bilang sendiri padaku. Saat memutuskan untuk masuk ekskul tersebut, Izan memang hanya menuruti permintaan pacarnya. Tetapi menurutku, dia memang berbakat dan cocok untuk menjadi calon polisi. Dan ekstrakurikuler polisi pelajar tentu bisa memudahkan dia untuk meraihnya.
Jam istirahat pertama kugunakan untuk menemui Izan, aku ingin berbicara langsung dengannya.
Kutunggu dia di tangga depan kelasku. Biasanya ia lewat situ. Tak lama aku menunggu, dia terlihat berjalan tergesa sendirian. Kucegat dia sebelum dia melewatiku.
"Zan, mau kemana?"
"Ke ruang guru."
"Ngapain? Kamu kenapa keluar?"
"Kata siapa?"
"Kamu beneran keluar poljar?"
"Gak, Fa."
"Yang bener?"
"Iya, gak."
"Terus ngapain ke ruang guru?"
Kalau bukan untuk memberitahu guru pembina ekskulnya tentang dia yang ingin keluar, lantas untuk apa?
"Ada yang perlu dilurusin, ada kesalahpahaman."
"Zan, jangan keluar ekskul."
"Iya, gak akan, Fa."
Aku diam. Entah kenapa aku sangat merasa bersalah. Aku takut semuanya gara-gara kehadiranku.
"Yaudah, aku buru-buru, Fa."
Izan bergegas menuruni tangga. Meninggalkan ku sendirian dengan dipenuhi banyak pertanyaan.
Aku takut hubungan Izan dengan kekasihnya jadi kacau karena aku. Walaupun kekasihnya belum tau tentang kami dan memang jangan sampai tau.
Semua akan runyam saat waktu itu tiba. Dan aku tidak ingin membayangkannya.
Aku ingin akhiri semua ini. Akhiri kekeliruan dengan Izan. Hubungan ini salah dan aku menyadari itu. Tetapi aku tertahan oleh perasaanku yang malah semakin besar untuk Izan.
Lagi-lagi aku merasa seperti perempuan bodoh.
Aku tidak keberatan jika Izan enggan menceritakan apa masalah yang sedang dihadapinya sekarang. Toh, aku memang tidak berhak ikut campur dan itu bukan urusanku. Tetapi akan dengan senang hati jika Izan sendiri mau membagi ceritanya denganku.
Setelah Izan pergi aku masih diam ditangga. Banyak siswa-siswi berlalu lalang sejak tadi termasuk teman sekelasku. Beberapa dari mereka mengajak ku ke kantin atau bertanya sedang apa aku disini. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum, anggukan atau hanya jawaban yang singkat. Pikiranku sudah terlalu kacau saat itu. Walau aku tahu seharusnya aku tidak perlu sampai sebegininya.
Agas yang tadinya akan melewatiku bersama dua orang temannya menyuruh temannya untuk ke kantin duluan. Agas mengintip wajahku yang tertunduk.
"Kamu kenapa, Fa?" tanyanya lembut
Oh, sial. Rasanya aku ingin menangis saja mendengar suaranya.
"Izan mau keluar poljar katanya."
"Kata siapa?"
"Nadila, dia kan anak poljar juga."
"Setahuku, Izan gak jadi keluar."
"Berarti tadinya dia mau keluar?"
"Mungkin."
Aku diam. Sebelum memberanikan diri bertanya pada Agas.
"Gas?"
"Iya, Fa."
"Bukan karena aku kan? Bukan karena kehadiran aku dia jadi milih keluar?"
"Aku gatau, Fa. Tapi semoga gak."
"Nanti kita omongin lagi, main kerumah ku aja, Fa. Selalu terbuka lebar buat kamu." sambungnya
Aku tersenyum. Agas punya sifat yang bisa menenangkan orang lain.
"Yaudah, mau ke kantin gak?" ajaknya
Ku gelengkan kepalaku, kebetulan aku bawa bekal."Gak, Gas. Aku bawa bekal."
"Oke. Duluan, Fa."
Agas berlalu dengan melengkungkan senyumnya.
•••
a/n
Suatu hari kelak, Agas menjadi abang terbaik yang Afa punya.
Gimana ya, kayak ada rasa sayang banget sama Agas tapi bukan untuk jadiin dia pacar.
Dan Izan, di hari itu perasaan Afa terlanjur besar banget buat Izan. Ia sampe gak mikirin dirinya sendiri. Lebih mikirin Izan. And it's not good at all.
Kekhawatiran dan ketakutan Afa itu bakalan terjadi semua. Tapi saat waktu itu tiba, ia bisa memberanikan dirinya.
Ya pokoknya gitu wkwk tumben bgt note nya panjang.
See u in the next part💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Teen FictionBagaimana rasanya menjadi yang kedua? Perusak hubungan orang? Perebut pacar orang? Sudah, tenang. Ia hanya figuran yang tak mungkin jadi pemeran utama wanita dalam ceritanya.