Mei, 2018
Setelah memantapkan dan meyakinkan hatiku, aku benar-benar ingin menjauhi Izan.
Ku mulai perlahan-lahan dengan lama membalas dan merespon chat nya. Juga menghindarinya saat bertemu di sekolah.
Sejujurnya aku belum bisa, tetapi harus ku coba.
Agas mendukung penuh apapun keputusanku. Dan dengan dukungan darinya aku berusaha mampu.
Menghindari Izan di sekolah adalah hal yang mudah. Mengabaikan pesan-pesan nya di ponsel ku lah yang sulit. Dia tak berhenti mencoba menghubungiku dengan menelpon berkali-kali. Tetap ku diamkan sampai ia lelah sendiri.
Hari-hari melaju pesat. Hubunganku dengan Izan merenggang. Aku malah lebih dekat dengan Agas.
Sampai suatu hari. Izan kembali menghubungiku.
Izan: Dia tau
Izan: Dia udah tau kamu, Fa.
Aku yang sedang belajar untuk ulangan besok mendadak tidak fokus.
Afa: dia tau darimana?
Izan: Instagram mu.
Bodoh. Bodoh sekali. Aku merutuki diriku berkali-kali karena sempat memposting foto bersama Izan saat acara pameran seni lalu. Walau Izan nya tidak terlalu jelas terlihat tetapi ya kekasih mana yang tak mengenali kekasihnya kan?
Afa: terus sekarang gimana zan?
Afa: ini yang aku gak pengen sampe terjadi
Afa: tapi yaudahlah biar jadi urusan kamu sekarang. Toh kitanya juga udah jauh.
Izan: bukan cuma urusan aku, kamu juga terlibat disini.
Aku jelas paham aku terlibat dalam hubungan yang salah ini. Tapi bahkan aku sudah mulai mengakhirinya. Sudah sangat ingin melupakan dan membuang jauh-jauh perasaanku untuk Izan.
Kepalaku mendadak pening. Aku tak ingin berurusan lagi dengan Izan. Kuputuskan untuk memblokir semua akun sosial medianya agar ia tak bisa menghubungimu. Aku yakin dia juga tak akan berani untuk bertatap muka langsung denganku karena nyatanya selama ini hubungan kami sembunyi-sembunyi.
Beberapa hari setelah kejadian hari itu, aku tak membahasnya lagi dan tidak ingin terlalu larut memikirkannya. Ku jalani kehidupanku sebagaimana biasanya saat Izan belum masuk kedalamnya. Kadang aku mencurahkan isi hati dan pikiranku pada Agas. Sudah ku duga seperti sejak awal aku mengenalnya, dia adalah seorang pendengar yang sabar. Sesekali aku tak kuasa menahan tangisku didepannya.
"Afa adalah cewek kuat yang pernah aku liat. Afa sekuat itu."
Agas, apakah kamu pun merasakan apa yang aku rasakan? aku benar-benar sangat menyayanginya tetapi tak ingin menjadikannya seorang pacar. Dia lebih seperti seorang sahabat yang baik. Aku selalu merasa Agas akan selalu ada dan memihak ku walau tau posisi ku tidak akan pernah bisa dibenarkan.
"Fa, memulai sesuatu yang salah akan berakhir dengan salah juga. Tapi coba akhiri ini dengan caramu yang paling baik. Habis ini jangan lagi berurusan dengan mereka, Fa. Kamu pantas disayangi lebih dari yang Izan bisa lakukan buat kamu."
Aku tau, aku lah yang sejak awal merasa bahwa aku pemeran utama bersama Izan. Padahal aku hanya orang ketiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Ficção AdolescenteBagaimana rasanya menjadi yang kedua? Perusak hubungan orang? Perebut pacar orang? Sudah, tenang. Ia hanya figuran yang tak mungkin jadi pemeran utama wanita dalam ceritanya.