.+ Dunia gelapnya

1.9K 211 37
                                    

Arka mengerang dalam pejamnya. Tangannya masih setia bertengger pada perutnya. Mengusapnya dengan lembut berharap rasa sakitnya itu akan sedikit mereda. Entahlah, rasanya untuk bangun saja ia tak memiliki cukup tenaga. Tubuhnya lelah, sakit, keduanya bercampur menjadi satu.

Perlahan matanya mengerjap, menatap lingkungan sekitarnya. Namun tak bisa, semuanya gelap. Arka tak menemukan apapun disini, dimana ia? Apakah ia sedang berada dialam bawah sadar? Atau ini yang dinamakan Neraka?

Arka mencoba bangun dan berjalan menaba- raba apa saja yang bisa ia jadikan tumpuan. Bibirnya saling mengetuk, kedua tangannya pun dingin. Ia takut, arka tak pernah suka dengan sesuatu yang gelap. Untuk gudang saja, Ia masih membiasakan diri. Apalagi dengan ini? ia tak tau dimana ia sekarang ini. Memorinya seakan lupa apa saja yang telah ia alami seharian ini.

"B-bunda.. Adek takut, disini gelap" Melupakan keberadaan tas sekolahnya arka mencoba keluar dari ruangan ini.

Kedua netranya sudah berkaca-kaca kala tak kunjung menemukan jalan keluar. arka ingin keluar dari ruangan ini, siapa saja tolong lah ia. Jika saja suaranya dapat keluar dan menyerukan permintaan pertolongan arka sudah lakukan itu. Namun tidak, ia tidak bisa melakukannya. Rasa takut itu seakan membuatnya bisu walaupun hanya untuk berteriak.

Tepat diujung lorong arka dapat menemukan sebuah cahaya. Matanya yang berbinar juga berkaca-kaca bercampur menjadi satu. Antara takut dengan senang itulah yang arka rasakan kali ini.

Tubuhnya meluruh begitu saja setelah ia berhasil menemukan kehidupan lain, kehidupan yang terang. Kehidupan seseorang, Arka keluar dari tempat itu. Namun sekarang, kakinya lemas. Tenaga nya seakan hilang direnggut sang rembulan.

Matanya mengedar menyadari jika tempat ini adalah tempat terakhir kali  Dudit membawanya. Ternyata ia beluk menemukan nerakanya tuhan. Syukurlah, setidaknya arka masih bisa melihat wajah abangnya. Masih bisa membuktikan sesuatu, dan masih bisa membuat abangnya kembali tertawa.

Tangannya merogoh saku celananya, uangnya tersisa Rp. 75.000 haruskah sekarang ia mengandalkan taksi? Jika memang begitu, uangnya akan habis. Lalu bagaimana ia kedepannya? Tapi bagaimana? sangat tak memungkinkan untuknya pulang menggunakan kedua tungkainya.

"Aku engga yakin abang bakalan ngasih uang lagi setelah ini habis, mending disimpen aja deh" Dengan menguatkan dirinya sendiri arka mencoba bangkit dan berjalan tertaih menuju jalan Raya.

Tangannya masih setia bertengger manis pada perutnya. Terasa nyeri juga perih. Terlebih jika ia harus merunduk. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, niatnya ingin menyebrang dan kembali melanjutkan langkahnya.

Entah sudah berapa lama ia berjalan melusuri jalanan, yang jelas udara semakin menyejukan. Dingin itu masuk hingga kedalam tubuhnya yang hanya dibalut Seragam. Kedua tangannya sudah bertaut dan mengepal, sesekali ia tiup untuk menghangatkan. Dan jangan lupakan Jika ia memiliki Hipotermia, walaupun tidak akut.

"A-abang, dingin.. peluk adek" Gumamnya seraya memeluk tubuhnya sendiri. Membayangkan jika yang tengah memeluknya itu adalah sosok kakaknya.

Disisi lain, tepatnya dikediaman Adhiyaksa Joshua dibuat panik sebab keberadaan adiknya tak kunjung ia lihat dirumah ini. Padahal jam sudah menunjukan pukul satu malam. Selama itu Joshua menunggu adiknya. Niatnya ia ingin mencari, namun niat itu urung ketika mengingat hubungan keduanya tidaklah seperti dahulu.

"Sialan! kemana si itu anak? Jangan-jangan gabung lagi sama gengnya dulu? Pasti pergaulannya kebawa sama mereka. Awas aja kalo sampe iya itu bener, gue gak segan-segan buat bu–" Kalimat itu terhenti. Joshua sadar akan ucapannya, Sebenci apapun ia pada adiknya ia tak mau dan tak akan pernah jika harus membunuh adiknya.

Suara bunyi knop pintu membuat Joshua terbangun dan segera menyalakan lampu. Netranya tertuju pada tubuh adiknya yang sudah menggigil kedinginan. Seakan lupa akan apa yang ia lihat tadi joshua segera menarik seragam Arka dengan kuat.

"S-sesek bang.. "

"Bagus, bagus banget kelakuan lo hari ini! Lo gabung lagi kan sama mereka? lo ikut tawuran kan? Balap-balapan diluaran sana?" Arka tak menjawab. Fokusnya masih pada tangan Joshua yang menarik kerah bajunya dengan kuat.

"Jawab!" Sentaknya

"E-engga gitu, lep-pashh.." Joshua menyentakan tubuh arka begitu saja membuat punggung arka terhantuk pada pintu. Bibir mungilnya meringis pelan.

"Ngga apa maksud lo? masih mau ngelak? Mau bilang kalo lo seharian belajar dan duduk manis dikelas iya?! Heh! ada yang ngasih tau gue kalo lo bolos sekolah! lo gak dateng kesekolah kan tadi pagi?" Arka menggeleng gelagapan menatap netra Joshua yang membara.

"Arka bisa jelasin bang, engg– "

Plak

"Gausah ngelak lagi, gue udah yakin lo balik ke geng gak jelas lo itu. Berhenti buat masalah atau gue usir lo dari sini?!" Air matanya jatuh tepat setelah joshua menyelesaikan kalimatnya.

Arka bergeming, memegang perutnya yang nyeri juga kepalanya yang pening. Pandangannya sudah mengabur namun lagi-lagi Joshua menyentaknya.

"A-adek janji.. ini yang terakhir kalinya" Joshua melangkah pergi meninggalkan Arka yang masih berduduk seraya meringis tertahan.

"Kenapa makin nyeri gini?" Arka beranjak menuju sofa dan merebahkan tubuhnya disana. Persetan jika joshua akan kembali menyentaknya.

Matanya terpejam menikmati setiap nyeri yang menyerang tubuhnya. Nyeri akibat berbagai pukulan yang ia dapatkan. Tubuhnya menggigil begitu hebat. Gawat, sepertinya hiportemianya kembali bangkit. Rasa dingin itu terasa semakin menusuk membuat bibir arka sudah membiru karena nya.

"B-bunda.. 

"Dingin..

"S-sakit.. "

Bagai ada batu besar yang menghantam kepalanya. Kedua netranya terpejam begitu saja entah itu tertidur atau pingsan.

🕊🕊

Joshua menyandarkan tubuhnya pada sofa yang berada di kamarnya, matanya terpejam memikirkan ucapannya barusan. Kalimat itu sungguh tidak pernah joshua pikirkan sebelumnya. Joshua tak benar-benar menginginkan adiknya pergi. Sebenci apapun dia, dia menyayangi arka. Adik bungsunya.

"Gimana caranya gue misahin mereka?" Mereka yang dimaksud adalah Jay dan Arka.

"Emosi gue selalu dipermainkan kalo arka tau lagi sama manusia itu"

"Sejauh apapun gue udah usaha, mereka masih bisa buat ketemu. Gue gak akan biarin mereka ngerusak adek gue" Gumamnya yang sepertinya tak sadar atas apa yang telah ia perbuat sejauh ini. Joshua pun telah merusak arka secara tidak langsung. Baik itu fisik ataupun mental.

Joshua menghela nafasnya kasar dan beranjak dari duduknya. Kembali membuka kamarnya dan menatap adiknya yang tengah berbaring di sofa. Tidurnya sangat nyeyak, Diam-diam Joshua mengembangkan senyumnya lalu kembali masuk kedalam kamarnya.

Setidaknya, pikirannya telah kembali tenang. Sosok yang ia khawatirkan telah kembali.













Haiiii!
Wkwk, double part nih..

Semoga suka ya, aku engga yakin juga si sebenernya. Tapi semoga suka:v

mau tanya lagiii!
'Sosok dudit itu kalian bayanginnya siapa?'

Regret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang