.+ Ancaman

5.2K 466 11
                                    

Dari jam terakhirnya, Arka sudah tidak bisa fokus ditempatnya. Perutnya terasa sangat sakit, pasti ulah sambal yang ia makan tadi siang. Revan yang ada disampingnya jelas sudah menyadari gelagat sahabatnya. dari mulai pergerakan yang sangat gelisah, keringat yang membanjiri wajah juga sekujur tubuhnya, dan wajah yang kian memucat.

"R–revan" Cicit nya. Tanpa di duga, revan mengabaikan nya. Ah! iyaa, Arka teringat ucapan revan beberapa jam lalu. harusnya arka bisa menahan ini sendiri. Toh, Ini bukan masalah besar.

"Baiklah anak-anak, pembelajaran hari ini cukup sampai disini terlebih dahulu. minggu depan kita lanjutkan" Setelah mengatakan itu, guru berpostur tubuh gemuk itu pun berlalu dan diikut siswa-siswinya.

Begitupun dengan arka, dia beranjak dari tempat duduknya dengan kepala yang sudah berputar dan pandangan yang sedikit mengabur.

"Van, sorry. gue harus balik" Tanpa mengucapkan apapun lagi Revan berlalu diikuti Radit dibelakangnya.

"Kenapa semua orang pergi dari gue? Apa kesalahan gue sebesar itu?" Gumamnya dan segera melangkahkan kakinya menuju parkiran.

Dua puluh menit dalam perjalanan yang cukup lama akhirnya Arka sampai di rumah milik kedua orang tuanya. Orang tua nya? Jelas, arka hanya menumpang disini. Arka tak punya hak apapun dirumah ini. Jadi arka tak banyak menuntut pada kedua orang tuanya.

Arka memasuki rumah nya Tidak seperti biasanya. Kebiasaan dia akan selalu teriak memanggil bundanya, kini tak ada lagi. bahkan sosok yang dipanggil bunda itu tengah duduk sofa, tapi arka mengabaikannya. Yang arka inginkan sekarang ini adalah berbaring, memejamkan matanya dan menghilangnya rasa sakit tak kasat mata ini .

Tapi, ada banyak orang yang telah arka kecewakan. ia harus mengembalikan kepercayaan itu terlebih dahulu, jika tidak..mungkin itu semua akan kembali hilang.

"Akh.." Rintihnya. Arka memejamkan matanya juga bibir bawah yang sudah digigit agar tidak mengeluarkan erangan. Harusnya arka menurut pada Revan siang tadi.

"B-bunda.."

"Maaf.." Arka tidak bisa, ia tidak bisa jika hanya berdiam diri disini. ia harus menebus permintaan maaf nya pada bunda. Dengan seragam yang masih melekat pada tubuh nya arka kembali menuruni tangga.

"B–bunda.." Dian menoleh tanpa berniat untuk menjawab, hingga tanpa di duga arka malah berhambur ke pelukannya. Dapat dian rasakan tubuh arka yang sedikit menghangat. Dian melepaskan pelukannya dan menatap wajah arka dengan tatapan dingin.

"Gak usah peluk saya!" Sentak Dian dan melepaskan pelukan Arka dengan sedikit kasar. Arka yang mendapat perlakuan itu sontak menatap bunda nya tak percaya.

"Adek engga ngelakuin itu semua bun, percaya sama adek" Dian berdecih dan menatap Arka seakan-akan tak peduli.

"Kamu itu pembangkang! Sebagai seorang anak harusnya kamu nurut sama apa yang orangtua kamu katakan!"

"Bun..." Dian melangkah mundur dan menatap arka dengan tajam

"Untuk hal yang kecil saja sudah pernah kamu lakukan, bagaimana dengan hal yang besar?! Mabuk contohnya" Arka menggeleng kuat padahal dalam hati ia merutuki dirinya sendiri. Dugaan bunda nya benar, namun itu sudah terjadi beberapa bulan lalu.

"Jadilah anak seperti Joshua, dia nurut apa kata orangtua nya, tidak seperti kamu yang begajulan seperti ini" Arka tak dapat lagi menahan air matanya. Untuk pertama kalinya Orang yang telah membuat dirinya hadir didunia ini membuatnya sakit.

"Arka pamit...Makasih atas ucapan bunda yang sangat engga arka duga ini" Dian menatap tubuh anaknya yang kian menjauh. Ada getaran tak terduga setelah berhasil meluncurkan dua kalimat itu. Apalagi ketika melihat air mata anak kesayangannya yang jatuh terbuang begitu saja karenanya.

"Maafin bunda sayang, bunda cuma pengen kamu bersikap lebih dewasa lagi.." Dian berlalu kekamarnya hanya untuk sekedar menenangkan tentunya. Dan di waktu yang bersamaan, Arka berjalan menelusuri jalanan dengan tatapan kosong. Tak memperdulikan beberapa beberapa orang komplek yang menyapanya.

Hingga sekitar satu jam lamanya arka berjalan kini ia telah tiba di rumah keduanya. Matanya mengedar mencari teman-temannya. Namun nihil, Disini hanya ada Dudit itu pun dalam keadaan babak belur.

"Lo ini kenapa? kenapa babak belur begini?" Tanya arka seraya menghampiri Dudit dan membantunya untuk berdiri.

"Ini semua karena lo! Karena lo masuk ke club ini, semua perhatiaan itu beralih ke lo!" Arka membulatkan matanya.  Apa maksudnya?

"Gak usah belaga polos deh, muak gue liat lo! Sejak lo dateng kesini. Bang Jay, dan yang lainnya itu cuma merhatiin lo dan gue tersingkirkan gitu aja!" Arka masih tampak mencerna ucapan Dudit hingga tak sadar sebuah bogeman Dudit layangkan pada perutnya yang sedari tadi berulah.

"Lo harus ngerasain apa yang gue rasain sekarang ini bajingan!" Dudit kembali memukul perut arka dengan brutal.

"Ka..S–sorry" Lirih Arka. Tubuh nya sudah meringkuk di lantai. Perutnya terasa sangat sakit, Tuhan. Padahal biasanya pukulan ini tak seberapa, lantas ada apa dengan tubuhnya sekarang ini?

"Awas aja lo ngadu macem-macem sama yang lain, gue bakalan benci lo" Ucap Dudit dengan sungguh-sungguh.

"Ngerti gak lo?!" Bugh. Dudit menendang punggung arka dengan kuat hingga membuat arka menitikan air matanya.

"I-iyaa, S–sory" Dudit tersenyum puas lalu keluar dari basecamp.

Niatnya datang kemari adalah untuk menenangkan diri, lantas apa yang sekarang ia dapatkan adalah jauh dari ekspetasi nya. Arka berfikir di sini semua orang menyukainya, namun lagi dan lagi dia dijatuhkan dengan sebuah angan itu. Rumah pertama dengan kedua nya sedang tak jauh beda sekarang ini, kacau.

🌻🌻

Malam telah datang, menyambut sang bulan untuk sekedar menemani seseorang dikala sepinya dunia. Orang yang bekerja pun lebih memilih mengakhiri semuanya dan beristirahat sejenak dirumah untuk menyambut esok harinya. Namun berbeda dengan Joshua, mendapat kabar dari Bu Imah jika adiknya belum juga pulang membuat rasa khawatir akan adiknya itu membuncah. Terlebih jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

"Kamu ini kenapa kak?" Tanya Ferdi dengan santai nya.

"Ayah yang kenapa, anak ayah belum pulang dan ayah masih tanya kenapa? Ayah macem apa ayah ini?" Tegas Joshua. Jujur dia sudah sangat geram dengan ayahnya. kelakuan nya terhadap arka sudah melebihi batas wajar.

"Kakak mau cari Arka. dan bunda, tolong pikirin lagi apa yang seharusnya bunda lakukan!" Setelah mengatakan itu Joshua segera bergegas mencari keberadaan adiknya. Hingga ketika ia hendak memasuki mobilnya, Joshua dikejutkan dengan suara dentuman yang sangat kuat. Joshua menoleh kebelakang dan "ARKAA!"

Hadeuh, maaf ya gaje hehe.
Semoga suka, sayangku

Regret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang