Gadis itu berjalan tergesa. Coat dan syal membantu menjaga suhu tubuhnya agar tidak kedinginan. Sementara sebelah tangan yang dimasukkan kedalam saku coat menggenggam erat sebuah hot pack. Udaranya dingin sekali. Padahal masih musim gugur. Salju juga belum turun. Ini belum memasuki musim dingin, dan tubuhnya rentan sekali saat musim dingin tiba. Itulah sebabnya dia tidak pernah melupakan lapisan coat dan syal saat keluar rumah. Oh tentu saja hot pack juga merupakan alat wajib baginya. Sampai di hadapan sebuah toko kue tanpa sadar senyum terulas pada wajahnya. Dia bergerak cepat membuka pintu toko. Masuk kedalam seolah mendapati pintu surga.
"Hangatnya..." Dia bergumam penuh kelegaan saat kaki memasuki toko.
Satu sosok bermata malas yang mengenakan seragam koki manatapnya dengan ekspresi malas. Dia menguap kecil sebelum akhirnya bicara dengan nada pelan yang tidak sesuai dengan proporsi tubuhnya yang tinggi besar.
"Okaeri Yuki chin."
"Tadaima, Atsushi." Si gadis menjawab dengan kelegaan luar biasa. "Kenapa masih buka?" Dia bertanya sambil melepas semua atribut penangkal udara dingin yang dikenakannya.
Sudah cukup malam. Biasanya toko kue ini akan tutup tepat waktu. Jam setengah sepuluh malam. Tapi ini sudah masuk jam sepuluh lewat dan toko masih belum juga ditutup.
"Ah, ada seorang pelanggan yang akan mengambil pesanan." Suaranya terdengar acuh tak acuh. Dikatakan dengan tak bertenaga.
Fuyuki mengerjap sebelum akhirnya mengangguk cepat. Mengerti. Tidak banyak bertanya.
"Jaa, ada yang bisa kulakukan?" Dia bertanya dengan nada ringan yang terdengar santai.
Si kepala ungu berbadan tinggi besar itu menggeleng tanpa tenaga. "Tidak ada. Yuki chin bisa langsung mandi dan beristirahat."
"Oh, ok." Fuyuki mengangguk tanpa banyak tanya. Dengan gerakan cepat dia berjalan ke belakang. Menuju tangga yang akan membawanya ke tempatnya bernaung. "Ah, Atsushi,"
"Hn?" Respons si pemuda ungu itu masih tidak bertenaga.
"Karena dia pelanggan yang sangat berharga, kenapa tidak sekalian kau antarkan saja pulang? Ini sudah malam." Fuyuki mengatakannya dengan nada jenaka. Meski ekspresi wajahnya terlihat acuh tak acuh, namun binar jahil di kedua bola matanya tidak bisa disembunyikan sama sekali. Membuat si pemuda ungu itu mendesah pelan.
"Yuki chin aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu." Dia mendesah saat mengatakannya. Mengabaikan sebuah tawaan khas yang menggema pelan.
.
.
.
Di sebuah kamar tepatnya di lantai dua toko kue, Fuyuki menggantungkan coat beserta syal sebelum akhirnya bergegas menyimpan rapi kamera yang sejak awal menggantung di leher.
Sebuah figura menggantung di atas meja telat di samping tempat tidur. Satu-satunya figura foto yang ada di dalam kamar itu. Dia mendesah saat tatapan mata menatap lekat figura foto. Ah sial. Fuyuki jadi semakin merindukan sosok yang menjadi obyek dari foto tersebut setelah dia berkunjung ke Hyogo. Pertemuan tidak sengaja sekaligus tidak terduga di kedai onigiri itu seolah menjadi pemicu rasa rindu yang membludak.
"Jii chan..." Dia bergumam pelan sembari sebelah tangan mengusap permukaan figura.
Sebuah foto lama. Seorang gadis kecil dengan senyum hangat yang berdiri sembari menggenggam lengan seorang kakek yang tersenyum lebar. Senyumnya lebar dan hangat. Seperti mentari yang tidak pernah berhenti menghangatkan saat pagi.
Miya Osamu. Nama itu tanpa sadar terekam dengan jelas dalam kepala. Ah menyebalkan. Padahal sudah belasan tahun mereka tidak pernah bertemu lagi, lalu apa-apaan coba dengan lelucon semesta waktu itu? Dia tiba-tiba bertemu sosok itu. Kebetulan yang lucu atau justru semesta sengaja sekali membiarkan mereka bertemu setelah belasan tahun berlalu begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika
FanfictionSenandika (se.nan.di.ka) n wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang...