21. Akhir

9.8K 472 52
                                    

Devaldo mengerjap matanya perlahan, kepalanya begitu pening. Penglihatannya masih berkabur. Namun perlahan semuanya mulai jelas, hingga suara Sarah membuat ia menoleh ke arahnya dengan wajah ketakutan. Karena suara itu, ia kenal dengan jelas.

"Akhirnya kamu bangun juga," ucap Sarah serasa tersenyum miring.

Jantungnya berdetak dengan cepat, Demi apapun ia takut. Suara-suara masa lalu seperti menarik paksa ingatannya di masa itu. Tidak, Devaldo tak ingin mengingatnya. Ia menatap keluarganya yang diikat dan duduk di lantai, apa yang terjadi? Kenapa banyak orang berada di sini? Apa yang terjadi sebelum ia pingsan? Atau, kejadian itu akan terulang kembali? Lagi, lagi rasa takut membelenggu.

"Kita mulai bermain? Atau pemanasan dulu?" tanya Sarah kembali. Kembali Devaldo merasa takut, ia tau Sarah itu kejam. Dan mereka hanya diam dan memperhatikan. Meski tak dipungkiri, ada sedikit rasa takut.

"J-jangan," ucap Devaldo terbata-bata. Demi apapun ia takut, ingatannya tentang kematian sang kakak. Masih teringat jelas, sampai membuatnya tersiksa menahan sesak. Mengerikan, dan... Menyakitkan.

Sarah tersenyum miring, "Kenapa? Bukannya kamu lelah dengan semuanya? Saya hanya membantu kamu untuk segera mati, karena saya tau. Kamu tidak akan bahagia setelah ini. Jadi, kita mulai ya."

Devaldo menggelengkan kepalanya. Kristal bening menetes tanpa izin. Meski ia lelah dengan segalanya, ia masih belum siap 'tuk mati. Tentunya masih ada sedikit harapan untuk mereka. Devaldo takut mati. Karena sejahat apapun mereka, sebanyak apapun luka yang telah digoreskan, dan seberapa banyak rasa sakit yang dirasakan. Devaldo tetap menyayangi mereka. Baginya, karena mereka. Ia menjadi sangat kuat walau terlihat lemah.

"Apa kamu pikir setelah ini keluargamu kembali? Tentu tidak! Daripada lukamu terus tergoreskan, rasa sakitmu yang akan terus menyakitkan. Lebih baik mati bukan?"

Tidak benar, juga tidak salah apa yang diucapkan Sarah. Namun, kenapa hatinya menolak?

Sarah mengambil suatu benda kecil di kantung celana yang ia gunakan. Kecil, namun tajam. Sangat cukup hanya untuk membunuh seseorang, pikir Sarah. Entah sejak kapan ia sangat menyukai darah. Sudah dua korban yang mati karena pisau yang ia pegang, satu Devaldi, dua, adik kandungnya. Mungkin, Devaldo akan menjadi korban ke-tiga?

"Kita mulai ya?"

"Gak! Jangan mendekat!" Devaldo mulai kalut, netranya ketakutan, kejadian yang hampir sama di masa lalu. Sama persis.

"Pegang dia!"

Dua orang memegangi kedua tangan Devaldo. Devaldo terus berteriak dan menangis. Mencoba memberontak, dan melepaskan diri. Namun karena kekuatan kedua orang tersebut lebih besar darinya, membuat Devaldo kini hanya pasrah. Menbiarkan Sarah yang semakin mendekati dirinya.

Sarah tersenyum miring, ia mengarahkan pisau kecilnya, tangannya mengambil dagu Devaldo. Lalu menggoreskan luka di pipi Devaldo. Sedang Devaldo merintih kesakitan. Meski luka itu tak besar, namun sangat perih nan menyakitkan. Lagi, Sarah menggoreskannya. Kembali Devaldo merintih kesakitan. Sarah berhenti, menghadap ke belakang, menatap mereka yang hanya memperhatikan. Ia tersenyum miring.

"Kalian mau lihat kematian Devaldo?"

"Jangan lukain Devaldo!" sentak Anaya yang sejak tadi diam. Entahlah, hatinya berdenyut sakit melihat adiknya kesakitan.

"Saya hanya bertanya, kalian mau lihat kematian Devaldo? Jika tidak, kalian bisa pergi."

Sarah menghendikkan bahu tak peduli seraya membalikkan badan ke arah Devaldo. Ia hanya ingin bermain, lalu menjalankan tugasnya. Jika tadi yang digoreskan adalah bagian wajah Devaldo. Maka sekarang, ia menarik baju lengan tangan kiri Devaldo.

Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang