14. Berjuang, ya?

5.2K 443 40
                                    

Aldo berjalan di koridor sekolah yang ramai. Biasanya, dia akan berangkat pagi hanya sekedar menghindari tatapan tak mengenakan dari siswa-siswi smp Pelita Bangsa. Dan sekarang, ia memilih menunduk kala tatapan itu mengarah padanya. Sudah terbiasa, namun tetap menyakitkan. Pandangannya juga mulai berkabur. Pening yang sejak tadi belum hilang, kini semakin menjadi-jadi. Bahkan, Aldo harus perpegangan pada tembok di samping kanannya untuk menjaga keseimbangan.

Dari arah berlawanan. Seorang remaja lelaki yang seumuran dengannya, dengan sengaja mendorong kuat bahu Aldo. Membuatnya tersungkur ke belakang. Cowok itu tersenyum sinis.

"Hidup lo itu udah gak berguna! Mending mati aja sana!!" ucap ketus cowok itu.

Di tempatnya terjatuh. Aldo, menggigit bibir bawahnya. Semua orang menginginkannya mati. Keluarga juga sahabatnya. Dino. Ya, orang itu adalah Dino.

"Punya mulut gak lo?! Oh ya. Gue hampir lupa. Lo 'kan gila. Orang gil–"

"Gue gak gila!" potong Aldo memberanikan dirinya untuk membantah Dino. Selama ini ia diam, bukan berarti dia takut. Tetapi, dia hanya pasrah dan mengalah. Semua ada batasnya, dan sekarang. Kesabaran sudah capai batas.

"Owh, gue takut," ucap Dino berpura-pura takut. Lalu dia tertawa meremehkan.

"Gak usah ngelawak deh! Orang gila mana mau ngakuin kalau dia gila! Dasar bodoh!" final Dino. Setelah itu, ia memilih berlalu meninggalkan luka yang mendalam bagi Aldo.

Semua yang ada di koridor sekolah. Hanya bisa diam dan hanya berani berbisik-bisik membicarakan Aldo dan Dino. Beberapa dari mereka menatapnya Sendu, dan sisanya menatapnya tajam/tak suka. Sekali lagi, sudah terbiasa. Namun tetap menyakitkan.

"Kasian ya?"

"Dia gak perlu buat dikasihanin. Dia 'kan gila."

"Ah, si Dino kok bully-nya gitu doang sih?! Gak asik!"

"Gue heran. Dia itu gila, tapi kenapa masih sekolah sih? Gak capek apa dibully terus?"

"Biarin elah. Lumayan dapet tontonan gratis."

Cukup. Telinganya panas mendengarkan semua itu. Sebenarnya, Aldo tak terlalu peduli dengan omongan orang lain. Karena sesungguhnya, omongan dari orang terdekatlah yang sangat menyakitkan.
Aldo memilih bangkit dari jatuhnya. Lalu kembali berjalan menunduk, sampai padaia berjalan memasuki kelasnya. Tatapan itu masih mengarah padanya. Namun, ia mencoba tak peduli.

Harus 'kah pergi untuk selamanya?

***

Pelajaran hari ini terlaksana dengan baik. Namun berbeda pada Aldo. Di tempatnya duduk. Di pojok kiri dekat jendela paling belakang. Ia bergerak gelisah. Nyatanya, rasa pening itu masih belum hilang. Sungguh itu sangat menyiksanya. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya mencoba menahan rasa pening itu yang kini menjadi-jadi. Guru yang sedang menjelaskan pun tak ia hiraukan. Lelah menahan. Aldo berdesis pelan seraya memijat pangkal hidungnya.

Bu Shinta–guru IPA yang kebetulan mengajar tak sengaja menatap Aldo. Merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia pun menghentikan penjelasannya, lalu berjalan menghampiri Aldo yang kini masih menahan rasa sakit. Semua murid memilih tak peduli.

Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang