Epilog

9.4K 430 43
                                    

Kini, semua telah hilang. Kehangatan keluarga yang dulu pernah ada. Juga sosok yang kini menghilang tanpa luka yang terobati. Tak ada yang bisa diubah untuk sesuatu yang telah terjadi. Untuk kali ini, Ando merasakan rasa yang ia sendiri tak paham. Melihat bagaimana Sarah membunuh Devaldo, lalu membunuh dirinya sendiri. Membuatnya ada rasa tak rela, sedih dan emosi bersamaan. Perasaan apa ini? Apa ini yang disebut penyesalan?

Ando menatap dua gundukan tanah di depannya. Meremat kuat kedua tangannya, mengeraskan rahangnya. Batu nisan yang bertuliskan nama kedua adik kembarnya. Entah mengapa membuat hatinya sakit. Ia merasa Ando bukanlah kakak yang baik. Kenyataan bahwa sang ayahlah yang dalang dari semuanya. Membuat ia emosi setengah mati. Ditambah lagi ia sendiri yang telah memberikan luka pada adik kecilnya. Jadi, apakah Ando adalah kakak yang baik? Tentu tidak.

Kini rasa sesak juga penyesalan sudah tiada guna. Semuanya telah terjadi, semua telah hancur, semuanya telah hilang. Dan tak akan pernah kembali. Sudah lebih dari tiga jam setelah pemakaman adik kecilnya. Namun Ando masih belum beranjak. Ayah, Bunda dan Anaya pulang terlebih dahulu karena saat pemakaman Devaldo, Aurora pingsan. Jadilah ia sendiri.

Kebenaran memang selalu menyakitkan. Semua kebenaran ini, telah menampar telak ego seorang Ando. Seseorang yang mungkin paling banyak melukai sang adik. Entahlah, Ando bukan manusia. Ando hanya iblis. Tidak lebih.

Iris-nya memutar ke atas sebentar menghalau air mata yang berlomba-lomba untuk keluar. Tidak, Ando tidak ingin menangis. Ia harus kuat, kuat di hadapan kedua adiknya yang kini telah menghilang. Walau semua itu terlambat.Atmosfir bumi sepertinya tak mengizinkan Ando 'tuk bernafas. Karena Ando sangat tersiksa dengan rasa sesak yang membelenggu. Mungkin ini yang dinamakan penyesalan. Penyesalan selalu hadir di akhir. Dan semua yang telah terjadi tak akan bisa berubah. Mau apapun Ando mencoba. Ia tetap tak akan bisa mengembalikan kedua adiknya. Ando lemah, Ando pecundang, Ando bodoh. Untuk kali ini, ia tidak munafik. Semua itu benar.

"Maaf," lirih Ando dengan suara parau. Lalu ia menangis sesegukan di sana, ia menunduk. Ando sudah tak kuat lagi. Ando menyesali semua yang terjadi. Beribu maaf kini ia ucapkan, walau kini sudah tak berguna.

****

Ruang gelap dan berantakan. Semua baju berserakan di mana-mana. Anaya terduduk di depan ranjangnya. Air mata sejak tadi terus jatuh tanpa arah. Anaya memeluk kedua baju yang sama. Kedua baju milik Devaldo dan Devaldi. Baju yang dulu ia belikan kepada mereka. Ia menangis sesegukan hingga merasakan sesak. Anaya kini kehilangan untuk kedua kalinya. Kala adiknya merasakan sakit seorang diri. Anaya tak tau apa-apa. Kala adiknya disiksa oleh Sarah. Anaya pun tak bisa melakulan apapun. Anaya bodoh, tak berguna!

"Bodoh, bodoh!" ucapnya seraya memeluk erat kedua bajunya. Tak peduli baju itu yang kini telah basah karena tangisnya. Anaya tak peduli.

"Maafin kakak." tangis Anaya semakin kencang. Ia masih tak rela dengan semuanya. Ia tak rela kedua adiknya tiada dengan cara yang keji. Kenapa harus mereka? Kenapa tidak dia saja? Jika takdir bisa diubah. Anaya tak masalah jika ia yang merasakan semuanya. Anaya semakin merasa ia manusia bodoh. Tak mampu menjaga kedua adiknya. Bukan hanya itu, kendati juga ia tak bisa menjaga kehangatan keluarganya.

Keluarganya benar-benar hancur. Layaknya kaca pecah. Semuanya tak akan bisa kembali utuh.

"Maaf Aldo. Kakak gak rela kamu pergi."

Setelahnya, yang Anaya lakukan hanya menangis sesegukan sampai dadanya sesak.

Sudah dikata, penyesalan akan selalu berada di akhir. Dan, ia semua yang telah terjadi. Tak akan pernah bisa kembali, ataupun dirubah.

****

"Aku mau kita cerai mas!" seru Aurora dengan sisa air matanya. Wajahnya menegaskan jika ia tak main-main. Hatinya mantap untuk menggugat cerai sang suami. Kini mereka berada di kamar mereka. Ardi yang duduk di sofa dengan wajah yang terkejut. Dan Aurora berdiri dengan angkuhnya.

"A-Aurora. Kita jelasin baik-baik ya? Aku gak mau. Aku bisa jelasin, kita omongin semua ini baik-baik ya?" ucap Ardi dengan raut wajah panik. Ia tak ingin rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun hancur karena hal ini.

"Gak! Aku mau kita cerai!"

Ardi menggeleng, "Tapi aku gak mau."

"Aku gak peduli! Keluarga kita hancur. Dan semua itu karena kamu!"

"Aurora! Ini masalah kecil. Please jangan diperpanjang."

Aurora melihat ke arah lain. Tersenyum mengejek. Suaminya masih belum sadar rupanya. Ia meremat kedua tangannya. Hatinya sakit melihat kedua anak istimewanya telah tiada. Rasanya sangat sesak kala tau ia juga ikut andil melukai putra bungsunya. Ia sampai tak tau harus berkata apa, saking sakitnya. Ia kembali menatap Ardi yang kini beranjak dari duduknya.

"Kamu bilang, semua ini masalah kecil? Iya! Hati kamu terbuat dari apa sih?! Kamu selingkuh di belakang aku mas! Kamu masih bilang cuma masalah kecil?! Kamu menghamili wanita lain! Dan kamu juga yang membunuh kedua anak kamu! Ralat, keempat anak kamu! Dan kamu masih bilang masalah kecil?! Sekecil apa hah?!"

Aurora mengeluarkan semua emosinya. Matanya terpancar jelas api yang menyala juga nafasnya tersenggal-senggal karena saking emosinya. Ia menatap Ardi yang hanya diam dengan tatapan tajam. Kedua tangannya meremat. Sakit memang, membangun rumah tangga sangat lama lalu hancur karena salah satu dari mereka berkhianat.

"Maafin aku. Waktu itu aku mabuk berat, dan pas banget Sarah yang nolongin aku. Lalu dia bawa aku ke rumahnya. Udah, abis itu aku gak inget apa-apa. Dan saat aku bangun. Sarah nangis di samping aku. Aku gak inget apa-apa. Saat aku tau dia hamil anak aku. Aku langsung bingung. Dan khilaf, dengan cara mendorong Sarah di tangga rumah. Maafin aku Aurora, maaf. Aku khilaf. Aku mohon, jangan ceraikan aku. Maaf." Ardi menggapai tangan Aurora. Namun dengan cepat Aurora menepisnya.

"Aku gak peduli. Semuanya udah hancur. Kedua anak aku udah pergi. Dan gak ada lagi yang mau diperjuangkan. Aku pergi mas. Aku mau anak-anak ikut aku. Kamu bisa bertemu sama mereka kapan saja terserah. Tapi aku gak mau ketemu kamu lagi. Kita pisah, setuju gak setuju..." Nafas Aurora tercekat karena rasa sesak. Tentu, bagaimana bisa ia tak merasa sakit dikala semua perjuangannya. Sia-sia.

"... Kita pisah. Terima kasih untuk semuanya."

Aurora berbalik dengan air mata berlinang. Lalu berjalan seraya menghapus air matanya. Mengabaikan semua panggilan dari Ardi. Hatinya terlalu sakit. Ia lelah. Dan Aurora menghilang di balik pintu.

Sedang Ardi. Menghela nafas, sakit sekali ditinggal pergi. Semuanya benar-benar hancur berantakan. Semua perjuangannya dulu telah tak berguna. Ia kembali terduduk di sofa. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

"Maaf."

Segalanya tak bisa diubah kembali. Semua yang telah diperjuangkan. Telah hancur dan tak akan bisa kembali utuh. Kini, yang harus dilakukan. Mengihklaskan segalanya, terima semuanya jika telah hancur. Lalu mencoba bangkit untuk kembali melangkah maju.

"Terima kasih untuk semua lukanya. Jika tidak karena luka. Aku tak akan bisa menjadi sosok yang kuat. Aku pergi, terima kasih untuk semuanya. Demi apapun, aku bahagia dengan hidupku."

E N D I N G


Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang