2. Ego

7.7K 632 34
                                    

Aldo sampai di rumahnya di sore hari, ia melihat di halaman rumahnya terdapat banyak sekali mobil. Pasti para saudaranya ke rumahnya. Aldo menghela nafas. Aldo menuntun sepedanya, lalu mulai berjalan ke arah pintu belakang yang terhubung dengan dapur. Sama. Keluarga besarnya menjauhinya.

"Hai bi Surti!" sapa Aldo ceria. Bi Surti lah yang selalu mendukungnya, memberi perhatian layaknya seorang ibu, dan selalu mendekap Aldo disaat ia mulai menyerah. Itu membuat Aldo selalu mencoba baik-baik saja dan tersenyum kepada bi Surti.

"Heh! Aden, udah pulang? Aden ke kamar aja ya. Bibi temenin, sambil bawa makanan," kata Bi Surti yang hanya diangguki oleh Aldo.

Aldo berjalan sambil menunduk. Astaga, rumahnya ramai sekali dan dipenuhi gelak tawa dari mereka, bahkan Oma dan Opanya yang dulu menyayanginya. Kini mereka menjauhinya. Satu keinginan Aldo, tertawa bersama mereka seperti dulu.

Aldo duduk di tepi ranjangnya setelah berganti baju biasa. Bi Surti juga sudah datang membawa makanan dan duduk di samping Aldo sambil menyuapinya makan.

"Bi? Kenapa rumah ramai?" tanya Aldo disela-sela ia mengunyah.

"Katanya sih ada party, gitu. Bibi juga gak tau."

"Oh, gitu ya bi?"

"Iya."

*****

Aldo duduk di meja belajarnya sambil menggambar sebuah keluarga yang harmonis di kanvas miliknya. Aldo sangat pintar melukis dan menggambar. Aldo tersenyum puas menatap lukisannya yang indah. Di sana terlihat jelas gambar wajah kedua orang tua dan ketiga kakaknya yang sedang tersenyum. Tanpa dirinya tentunya.

Tes..

Tes..

Darah itu kembali mengalir begitu saja membuat kanvas putih itu berubah berwarna tetesan darah. Aldo menghela nafas, lalu mengambil tissue yang ada di atas meja belajarnya. Sambil menutup hidungnya dengan tissue, Aldo berjalan menuju ranjang lalu merebahkan dirinya sembari menyibak selimut menutupi tubuhnya hingga ke leher. Ia menatap kosong plafon kamarnya.

Samar-samar ia mnedengar orang tertawa. Aldo tersenyum tipis, ingin sekali ia bergabung di sana dan tertawa bersama, tapi apalah daya. Semuanya akan mengejeknya 'gila'. Terutama para sepupunya itu.

"He! Lo ngapain mau masuk ke kamarnya orang gila?" orang itu adalah Andi, sepupunya yang paling sering mengejeknya gila. Sepertinya Andi sedang beradu argument bersama adik sepupunya di balik pintu kamarnya.

"Huss, kakak gak boleh ngomong gitu dong! Kalau kak Aldo denger gimana? Kasian tau!" ketus gadis itu. Dia juga sepupu Aldo yang bernama Fera. Ia selalu membelanya jika saudaranya yang lain mengejeknya.

"Apaan sih lebay deh! Dia itu gila! Waktu itu aja dia mecahin piring tanpa alasan! Benerkan kalau dia gila?!" Aldo meremat sprei begitu kuat, sungguh yang dibilang Andi menyakiti hatinya. Mereka hanya tidak tau bagaimana rasanya diculik, bagaimana rasanya disiksa oleh orang yang tak dikenal.

Sudah tak terdengar lagi suara pertengkaran, mungkin mereka kini sedang makan malam bersama atau berpesta tanpa dirinya. Sudah biasa sejak 2 tahun yang lalu. Mereka sama egoisnya, sama menghindarnya. Walau orang dewasa tidak pernah mengejeknya 'gila', tapi para sepupunya selalu mengejeknya. Apa mereka fikir psikis nya tidak akan terganggu? Mereka tak akan pernah mengerti, tak akan pernah. Yang mereka tau hanya menilai sesuatu yang buruk tentangnya.

"Hiks..hiks," runtuh sudah pertahanannya, lelah sudah ia menahan rasa sakit yang setiap hari semakin menyiksa. Aldo lelah, sakit dan kesepian. Ada kah yang mau menemaninya? Ingin sekali dia berteriak bahwa ia sakit. Tapi nihil, lidahnya kelu sangat ingin mengatakannya. Semua tertahan.

"Aldo sayang bunda.." mata Aldo memejam dengan dahi yang mengkerut menahan rasa pening yang kini mulai menyiksanya. Perlahan tapi pasti.

****
Aldo terbangun di tengah malam karena tenggorokkannya yang terasa sangat kering. Ia mendudukkan dirinya di atas ranjang. Air mineral yang biasanya selalu ada di kamarnya juga sudah habis, jadi mau tak mau ia harus mengambilnya di dapur. Beruntung semua orang sudah tidur, jadilah Aldo berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok yang ia rindukan, sosok yang ia inginkan selalu berada di sampingnya, kini berada tepat di depannya. Sang bunda—Aurora.

Aldo ingin kembali. Namun, rasa hausnya tak bisa ia tahankan. Ia pun berjalan mendekat sambil menunduk. Merasa ada seseorang, Aurora yang sedang menuangkan kopi bubuk ke gelas terhenti dan mendongak. Setelah tau siapa yang mendekat Aurora segera memutuskan pandangannya dan melanjutkan menuangkan kopi.

Aldo membuka pintu kulkas dan mengambil air dingin lalu menuangkannya pada gelas.

"Bunda ngapain ke sini? Buat kopi untuk ayah ya?" Aurora diam tak bergeming. Bahkan Aurora cepat-cepat menyeselesaikan pekerjaannya dan pergi dari dapur. Aldo menatap sendu punggung sang bunda yang mulai menghilang.

"Bunda tau? Aldo kangen, Aldo sakit bun. Aldo butuh bunda, kenapa bunda berubah? Aldo sakit, a.

"Lebih sakit lagi melihat bunda pergi dari Aldo tanpa alasan yang jelas. Its oke, Aldo tetap sayang bunda," Aldo tersenyum lalu meneguk habis air hingga habis.

Bohong jika Aurora tidak mendengarnya, Aurora mendengar jelas apa yang dikatakan putranya. Bagi Aurora, Aldi segalanya. Aldi anak kesayangannya, Aldi putranya. Aurora tak ingin terus-terusan terpuruk, biarlah Aldo berjuang sendiri tanpa dirinya. Egois? Ya! Aurora egois, dia sadar akan hal itu. Tapi apa salah jika dirinya melakukan hal ini? Entahlah.

Aurora membuka pintu kamarnya dan sang suami–Ardian. Terlihat, sang suami menoleh dan tersenyum. Sedetik kemudian Ardian mengkerutkan dahinya bingung melihat Aurora cemas.

"Kenapa hm?" tanya Ardian.

"Apa yang kita lakuin bener?"

Ardian menghela nafas, mengerti dengan pertanyaan itu. Entah sudah berapa kali sang istri bertanya seperti itu, "Kamu sudah memutuskannya kan? Yasudah kamu nikmatin aja apa yang kamu putuskan. Toh, Aldo juga terlihat baik-baik saja," Kata Ardian enteng.

Ardian tak tau jika putra bungsunya itu bertahan seorang diri, menahan rasa sakit yang menyakitkan. Ardian tak tau apa-apa, Aldo sendirian. Ardian tak peduli, Aldo menahan rasa sakit sendiri, Ardian tak tau. Pantaskah ia disebut seorang ayah? Tidak bukan? Tapi, itulah Ardian. Selalu mengutamakan ego daripada hati, setiap orang pasti mempunyai ego. Maupun orang tersebut dibilang orang yang paling jujur/baik, tetap saja dia pasti punya ego. Bukan hanya Ardian saja, tapi Aurora pun sama. Bahkan dirinya lah yang meminta sang suami dan kedua anak pertamanya menjauh dari anak bungsunya. Karena Devaldi yang berharga dikeluarga ini.

Pantaskah mereka disebut orang tua?

Adakah orang tua seperti itu? Memetingkan ego?

Meninggalkan anaknya disaat sang anak membutuhkan kasih sayang. Karena mereka juga merasakan kesedihan, dan ingin bahagia sendiri. Pantaskah?

Tidak bukan?

"Iya mas, kamu bener. Aku harus nikmatin apa yang aku putuskan. Aku lihat juga Aldo baik-baik aja kok," kata Aurora.

Ardian tersenyum lalu mencium singkat pipi sang istri, "Jangan nanya gitu lagi, aku gak suka."

Aurora mengangguk setuju. "iya mas, aku janji gak nanya gitu lagi."

~Karina Rahayu~

—TBC—

—Keegoisan terkadang membuat seseorang lupa akan rasa kasihan dan rasa sayang —
~Devaldo Putra Arliando~
Ego,

28 juni 2020

Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang