11. Berharap

4.3K 422 11
                                    

Ando kini benar-benar kesal. Rahangnya sejak tadi mengeras, dan mengepalkan tangannya di setir mobil. Pertengkaran dengan sang adik masih terngiang. Dan sekarang, ia disuruh mengejar Anaya. Dia tak habis pikir dengan adiknya. Kenapa Anaya begitu terlihat menyesal? Apa karena 'Dia'? Cih, memang apa yang harus disesalkan? Tidak ada. 'Dia' hanya pembawa sial yang membuat adik kesayangannya tiada. Hanya itu.

Ando mempercepat kecepatan mobilnya karena jalanan yang masih sepi. Dia harus segera menemukan Anaya. Entah kemana adiknya itu. Tapi ia menduga satu tempat. Secepat mungkin ia harus datang ke tempat itu.

"Devaldo, lo pembawa sial! Gak akan gue biarin Anaya kembali bersama lo!"

Ego telah menguasai hatinya. Hal ini yang akan menjadi boomerang untuknya nanti.

***

Anaya sampai di rumahnya. Segera ia turun dari mobil, sesudah membayar Taxsi. Anaya membuka pintu gerbang lalu berlari memasuki halaman rumah. Sampai di tempat pintu. Ia menarik nafas dalam, dan mengeluarkannya secara perlahan.

Ceklek

Netranya meliar mencari seseorang yang sedang terluka. Anaya segera berlari menaiki tangga dengan cepat. Sampai ia berhenti tepat di depan pintu yang sudah sangat lama tak pernah ia kunjungi. Semoga saja, Aldo mau memaafkannya. Anaya membuka pintu kamar Aldo secara perlahan. Ia mendengar rintihan sakit seseorang.

"S-sakit, hiks... Hiks." Aldo duduk di samping ranjang menghadap pintu balkon sambil memeluk dirinya sendiri, kepalanya tenggelam di tekukan kedua lututnya. Ia sama sekali tak menyadari Anaya yang mulai mendekatinya.

"Sakit, bunda. Rasanya sakit banget,"

Seketika Anaya terhenti. Apa selama ini adiknya kesakitan? Seorang diri? Apa adiknya terluka seorang diri? Ah, kakak macam apa dia? Anaya bukan kakak yang baik, adiknya terluka. Dirinya bersenang-senang. Adiknya kesakitan, Anaya tak mengetahuinya. Pantaskah ia disebut seorang kakak?

"Dek," lirih Anaya hampir tak bersuara.

Aldo mendongak, menoleh ke belakang dengan tatapan terkejut. Sejak kapan Anaya ada di kamarnya? Kenapa kakak ada di sini?

"Kak Anaya?" Anaya segera berlari, berjongkok menyamakan tingginya dengan sang adik. Detik itu juga. Aldo merasa nyaman. Kehangatan pelukan dari sang kakak yang sangat ia rindukan. Pelukan yang tak pernah ia rasakan semenjak kejadian mengerikan itu terjadi.

Kini, Anaya kembali.

Aldo memejamkan matanya, hangat, dan nyaman. Anaya, masih memeluknya erat. Ia tak mengerti kenapa kakaknya kembali, tapi dirinya senang. Setidaknya, dia tak sendirian sekarang.

Anaya melepaskan pelukan mereka. Tersenyum manis kepada sang adik. Dan dengan tulus dan lirih ia mengucapkan kata, "Maaf"

Aldo tersenyum, "Kakak gak perlu minta maaf. Aldo udah maafin kakak kok. Lagian, kakak kan gak salah," ucapnya dengan senyum manis.

Devaldo anak yang baik. Mudah mengucapkan, 'Aldo sudah memaafkan'. Nyatanya, jauh dalam hati rapuh Aldo, dirinya sangat kecewa atas apa yang terjadi. Kecewa dengan sikap egois keluarganya. Namun, Aldo sadar. Dirinya tak boleh membalas sikap egois keluarganya dengan cara yang sama. Devaldo anak yang baik.

Tolong.. Bertahanlah.. Devaldo!

Anaya tersenyum, ia menghapus sisa air mata Aldo di pipi sang adik. Kini ia menyesal menuruti ego-nya. Aldo tak pantas untuk disakiti, Aldo tak pantas terluka. Anaya meminta,

"Setelah ini, kakak janji gak akan biarin kamu nangis. Siapa pun yang membuat kamu menangis. Kakak akan datang, meluk kamu erat. Memberi kata-kata penenang. Kakak janji!"

Aldo tersenyum, ia mengangkat jari kelingkingnya. "Janji?"

Anaya membalas jari Aldo. "Janji!"

Mereka telah mengucapkan janji. Janji yang akan terus ada. Anaya, telah kembali dengan sedikit memberinya harapan. Kali ini, bolehkah Devaldo berharap?

Berharap jika satu per satu Keluarganya akan kembali. Bisa kah? Apa itu akan terjadi? Kapan itu terjadi?

Anaya kini sadar, adik bungsunya terluka. Dan luka itu disebabkan oleh keluarganya sendiri. Anaya dan Aldo pernah mengukir kenangan bersama, kenangan yang indah. Penuh tawa dan senyum. Anaya masih ingat kala Aldo tersenyum sewaktu kecil. Sangat manis dan menggemaskan. Anaya, kini tak mau mengulangi kesalahannya lagi. Ia ingin kembali mengukir tawa dan senyum untuk adiknya. Devaldo.

"Dek, apa bisa kita ulang lagi dari awal? Kakak mau perbaikin kesalahan kakak. Apa bisa kita kembali mengukir tawa? Kayak dulu, bisa?"

Aldo terdiam. Ia takut, Anaya hanya memberi harapan. Lalu kembali meninggalkannya. Kendati ia benci sendirian. Tapi ia takut kembali terluka. Lama Aldo terdiam, dan dengan senyum tipis Ia berkata, "Bisa. Dan itu yang Aldo pengen. Sebelum, Tuhan memanggil nama Aldo."

Aldo bersuara lirih pada akhir kalimatnya. Memang, itu yang ia inginkan. Mengukir tawa dan senyum bersama keluarganya, sebelum Tuhan memanggil namanya.

"Kenapa ngomong kayak gitu?"

"Aldo sakit kak," lirih Aldo seraya menunduk. Haruskah Anaya mengetahui tentang penyakitnya?

Anaya terdiam. Aldo sakit selama ini. Dan dia? Bersenang-senang dan tertawa ria. Rasa sesak mulai datang menyiksa Anaya. Dirinya kembali gagal menjadi seorang kakak. Pertama, ia gagal melindungi Aldi. Dan yang kedua, dirinya bahagia di atas penderitaan Aldo. Manusia macam apa dia?

"Mulai sekarang. Kalau kamu merasa sakit. Kamu bilang sama kakak. Kakak akan datang."

Aldo kembali tersenyum, "Iya."

Tak ada yang boleh tau tentang penyakitnya. Cukup, dirinya, dokter dan Tuhan yang tau. Aldo sudah memutuskannya. 

"Makasih dek. Kakak janji bakal jadi kakak yang baik buat kamu. Kakak janji akan menyadarkan kak Ando, ayah dan bunda. Kakak janji!"

Anaya kembali memeluk Aldo dengan erat. Aldo kembali memejamkan matanya. Anaya kembali meyakinkannya untuk percaya. Aldo takut untuk percaya. Dia bimbang. Tapi, di sisi lain. Ia senang Anaya kembali.

Sekali lagi, boleh kah Devaldo berharap?

~Karina Rahayu~

—TBC—

Maaf telat update. Harusnya update-nya jam 7 😅lagi sibuk ngurusin cover buat cerita "Brother"

Maaf juga kalo pendek :( otak lagi blank :(




Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang