7. Luka Baru

5.2K 479 42
                                    

Malam ini, Aldo duduk di brankar dengan kedua kaki diayunkan. Dua hari sudah ia dirawat, dan kini dia sudah diperbolehkan pulang dengan syarat harus banyak istirahat. Aldo hanya memperhatikan bi Surti yang sedang membereskan barang-barangnya di sofa pojok dekat jendela, ingin membantu tapi bi Surti selalu menolak. Memang, bi Surtilah yang selalu ada untuknya. Terbukti, dua hari ini bi Surti yang menemaninya di rumah sakit disaat kerjaannya sudah selesai.

Aldo tersenyum tipis, ia menatap bi Surti sendu. Keluarga yang ia inginkan sama sekali tak pernah menjenguknya. Bahkan menanyakan kabar pada bi Surti saja tak pernah.

Sungguh miris kehidupannya.

Merasa sudah selesai, bi Surti berbalik menatap anak majikannya dengan tersenyum hangat. Ia melihat Aldo yang sedang menatapnya sendu. Bi Surti tersenyum gentir, umur Aldo yang terbilang masih remaja sudah harus melawan pahitnya kehidupan. Tapi, ia percaya. Suatu hari nanti pasti berakhir bahagia. Entah Aldo bahagia bersama keluarganya, atau bahagia dengan Aldi.

Bi Surti maju berjalan mendekati Aldo. Tepat di depan Aldo, bi Surti memeluknya. Memberikan rasa hangat dan kenyamanan yang sudah lama tak Aldo rasakan. Ia harap Aldo tenang dan kuat menjalani kehidupannya. Sedangkan Aldo hanya diam sembari menutup mata, membiarkan bi Surti menghelus lembut rambut hitam nan tebal miliknya. Tak bisa dipungkiri, pelukan ini hangat dan nyaman. Walau ia lebih mengharapkan Aurora di sini memeluknya dengat erat dan mengucapkan kata-kata penenang. Tapi inilah kenyataannya. Aurora tak akan pernah meliriknya. Lagi.

"Kamu harus kuat ya? Ibu akan terus menemani kamu, sampai kapanpun. Ibu tau kalau kehidupannya yang kamu jalani tak lah mudah. Tapi kamu harus selalu percaya, kalau semua akan berakhir bahagia. Jangan lakuin hal itu ya?" kata bi Surti lembut penuh kehangatan. Mencoba memberi semangat, walau ia tau Aldo pasti merasa lelah. Tapi ia tak akan pernah berhenti memberinya kasih sayang seorang ibu. Sampai kapanpun.

"Kita pulang ya?"

***

Mobil Taxi itu sampai di kediaman Arliando. Segera Aldo turun dari mobil Taxi itu sambil membawa tas yang menyimpan pakaiannya. Bi Surti tak tinggal inap di rumahnya, karena itulah bi Surti hanya mengantarnya sampai rumah dan segera pergi dari kediaman Arliando.

Aldo menatap sendu rumah yang katanya hangat itu. Bisa 'kah ia berjuang kembali? Jika ia berjuang kembali, akan 'kah Aldo mendapatkan kebahagiaan? Atau justru sebaliknya? Jika ya ia tak mendapatkan kebahagiaan bersama keluarganya. Tak apa, Tuhan terlalu baik dengannya. Tuhan mungkin akan memanggil namanya.

Aldo mulai berjalan memasuki halaman rumah, ia berhenti di depan pintu utama. Mungkin keluarganya sedang tertidur saat ini karena hari sudah larut. Aldo menghela nafas. Ia membuka perlahan pintu. Sepi.

Aldo berjalan mendekati tangga. Namun, langkahnya terhenti saat suara bariton menyuruhnya berhenti. Ia berbalik, Aldo menelan ludahnya dengan susah payah. Tepat di depannya, Ardian menatap tajam Aldo dengan kedua tangannya mengepal.

"Dari mana kamu?!" tanya Ardian dengan emosi.

"A-yah," cicit Aldo, ia tak mengerti kenapa ayahnya bisa seemosi ini.

"Saya tanya kamu dari mana?!!"

"A-aldo, dari r-rumah sakit a-ayah."

"Mau jadi anak yang tidak berpendidikan kamu?!!" Ardian mencengkram kuat tangan Aldo. Lalu menyeret Aldo menaiki tangga tanpa peduli dengan Aldo yang meminta ampun dan berusaha melepaskan cengkramannya.

Devaldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang