Aku merasa marah karena dihianati, aku merasa sedih melihat Alex selingkuh apalagi dengan sahabatku. Aku baru saja menyadari bahwa aku sudah jatuh terlalu dalam padanya. Aku mencintainya dengan tulus, tapi kenapa dia membalas perasaanku ini dengan penghianatan.
Aku berjalan tanpa arah, aku tak peduli dengan tatapan orang yang menatap jijik atau kasihan padaku, aku juga tak peduli jika badanku sudah basah kuyup terguyur air hujan yang deras. Kenapa tuhan, setelah kau mengambil kedua orang tua ku sekarang kau mengambil orang yang ku cintai. Kenapa?
Aku sudah berjalan selama kurang lebih satu jam, tapi aku tak tau pasti karena aku hanya melihat sekilas jam tanganku. Dan disinilah aku, di sebrang jalan gedung apartemenku. Saat aku melihat kekanan dan kekiri tak ada satu kendaraanpun yang melintas dan aku lanjut berjalan. Tanpa kusadari mobil dengan kecepatan sedang melintas dan sempat menyerempet tubuhku.
"Awh, dasar pengendara tak tau diri. Hujan deras begini masih sempat-sempatnya ngebut. Kurang ajar" teriakku yang sudah bisa di pastikan tak akan terdengar.
"Kau tak apa?" Tanya suara berat seorang lelaki.
Aku menatap wajahnya, ya ampun, tampan sekali. Mata hijau keruh, alis yang tebal terbentuk sempurna, mata dengan tatapan tegas, hidung yang cukup mancung, dan oh tuhan, bibir berwarna merah itu sangat ehm... sexy. Aku mengerjap beberapa kali dan menjawabnya "aku tidak apa-apa"
"Mari aku bantu..." tawar pria tersebut, sambil tersenyum.
Kalau saja aku bisa meleleh karena senyumnya mungkin sekarang aku sudah terbawa bersama air hujan. "Terima ka... awh" ringisku, merasakan pergelangan kakiku yang linu.
"Apakah apartemenmu disini?" Tanya sang pria
"Ya, aku tinggal di sini. Terima kasih sudah mengantarku, aku bisa balik sendiri" kataku berusaha sopan.
"Tidak, tidak akan kubiarkan. Kakimu sakit. Biar aku antar" tawar pria tersebut khawatir. Apa? Khawatir? Sepertinya aku salah, kita baru saja bertemu.
Aku hanya diam mengikuti. Sesampainya di lift aku menekan tombol 15. Aku tinggal sendiri di apartemen ini, apartemen ini adalah kado ulang tahun pemberian papa sebelum kecelakaan itu terjadi. Saat pintu terbuka aku langsung menunjukkan nomer apartemenku, 156. Tak lupa, pria ini menuntunku dengan sangat hati hati.
"Kamu duduk saja, oh ya, dimana kotak obatnya?" Tanya pria tersebut.
"Ada di dapur, di sebelah sana" kataku sambil menunjuk arah dapur.
Tak lama pria tersebut datang sambil membawa kotak obat. Dengan lincah dia mengobati luka yang ada di lututku dan memijat pelan pergelangan kakiku, setelah itu mengolesinya dengan obat.
"Selesai" kata pria tersebut sambil tersenyum melihat hasilnya.
"Terima kasih ehm..." jawabku ragu.
"David, atau kau bisa memanggilku Dave" jawabnya seolah mengerti.
"Terima kasih Dave, kalau kamu tidak ada mungkin aku sudah membusuk di bawah sana. Oh, aku Vanya Lavena, panggil aja Anya." Ucapku lagi.
"Ya sudah kalau begitu, aku balik dulu. Mungkin kita bisa bertemu lagi lain kali" ucapnya sambil tersenyum. Duh, manisnya.
"Eh, tunggu. Kau tidak keberatan kan untuk tinggal sebentar dan makan malam bersama. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih" kataku malu malu.
"Apa tak merepotkan? Kakimu masih sakit Aya lebih baik kamu beristirahat." Kata Dave lembut sambil mengelus pipiku. Pipiku serasa memanas mendengar panggilan dari Dave dan ada rasa kehilangan setelah Dave menarik tangannya.
"Aku akan kembali besok, mungkin kita bisa makan siang bersama. Menurutmu bagaimana?" Tanya Dave.
"Tentu" jawabku seadanya, karena aku masih sibuk memandangi mata hijau yang seakan menghipnotisku itu.
Dia tersenyum lalu mengangguk, dan pergi meninggalkanku. Pintu sudah tertutup dan aku menghela nafas. Apa daritadi aku menahan nafasku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya (tdk dilanjutkan)
Lãng mạn"apapun yang kukatakan nantinya, kumohon percayalah" mohon lelaki tersebut lirih. "aku tak bisa" ucap sang perempuan datar. "kenapa?" sang lelaki bertanya, tapi bagai bisikkan. "kau yang membuatku seperti ini" ucap sang perempuan tetap datar. "aku m...