Akhirnya, setelah kemarin menghabiskan waktu bersama Dave aku kembali ke aprtemen tercintaku ini. Aku sempat heran kenapa Dave tidak pergi kerja, padahal yang aku dengar Dave punya perusahaan yang cukup terkenal.
Aku bergegas mandi dan pergi ke ruang kerjaku. Aku sempat bekerja namun aku berhenti karena insiden 2 tahun lalu dan sekarang aku bangkit lagi dan akan melamar pekerjaan di suatu perusahaan. Tiba tiba handphoneku berbunyi tanda pesan masuk. Dave?
Dave : hey, aku hanya ingin bertanya apakah kau sudah sampai di rumah? Maafkan aku karena tidak bisa mengantarmu.
Aku merasakan pipiku memanas. Dave menghawatirkanku. Aku membalas pesannya.
Aku : ya, aku sudah sampai dengan selamat Dave. Tidak apa apa, aku tau kau sibuk.
Dave : syukurlah, bagaimana kalau nanti kita makan malam bersama. Aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku.
Aku : baiklah, jam berapa?
Dave : aku akan menjemputmu jam 7, nanti kita akan ke restauran D'Agosto.
Aku : okay, jam 7. Aku tunggu.
Setelah berkirim pesan, aku berkutat dengan file file untuk melamar pekerjaan. Tak lama kemudian aku mendengar suara bel apartemenku. Yang benar saja, mana mungkin Dave? Batinku. Tidak mungkin, sekarang masih jam 5 sore. Aku memilih berjalan ke arah pintu dan tiba tiba saja orang tersebut memelukku sambil terisak.
"Maria?" Tanyaku kaget.
"Anya, maafin aku, maafin aku Nya... aku udah keterlaluan sama kamu. Maaf. Aku sendiri juga bingung kenapa aku ngelakuin itu padahal kamu sahabat aku." Ucap Maria masih tetap terisak.
Aku menenangkan Maria dan membawanya ke ruang tv. Aku melihat Maria sangat berantakan, dengan make up yang sudah luntur dan hidung yang memerah. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman untuk Maria. Setelah Maria menerimanya, ia meminumnya tanpa menyisakan sedikit pun. Aku tahu, menangis menguras banyak energi.
"Aku sudah memaafkanmu Maria, sudah tidak apa apa" ucapku tulus, aku memang sudah memaafkannya. Dia itu sahabatku.
"Terima kasih Nya, aku janji gak akan ngelakuin kebodohan kayak gitu lagi. You are my best friend i've ever had" ucap Maria sambil memelukku. Aku membalas pelukannya.
Aku merasa kasihan dengannya, ayah yang meninggalkan dirinya dan ibunya, tak berapa lama ibunya sakit karena terlalu stres memikirkan suaminya yang pergi. Walaupun meninggalkan cukup uang untuk menghidupi mereka namun masih tetap terasa berbeda. Pasti berat jika aku ada di posisi Maria.
"Bagaimana jika kita..." Ucapanku terhenti ketika mendengar bel apartemenku. Aku melirik jam dan angka menunjukkan pukul 6.30. Aku bergegas ke kamar mandi dan menyuruh Maria membuka pintu.
Setelah memilih baju yang pas akhirnya, pilihanku jatuh pada dress hitam selutut yang bukan fit body, karena aku benci dress seperti itu. Dress yang ku kenakan cukup simple, hanya dress hitam di tumpuk dengan lace (multimedia). Tak lupa memoleskan wajahku dengan sedikit make up dan membiarkan rambut bergelombangku terurai. Setelah rapi aku menyambar tas tangan yang berwarna putih dan memakai wedges berwarna putih.
Aku keluar dan mendapati Dave menatapku tanpa berkedip, begitupun Maria. "Ah! Kau tampak mengagumkan" teriak Maria sambil berlari kecil ke arahku dan memelukku. "Yang cowok ganteng, yang cewek cantik. Pas!" Lanjutnya. Aku hanya tersenyum malu dan aku melihat Dave juga menunduk malu.
"Tunggu apa lagi ayo Aya, aku pinjam dulu sahabatmu dan tenang saja, aku akan menjaganya sepenuh hati." Kata Dave sambil merangkul pinggangku. Maria hanya mengangguk dan juga ikut berpamitan untuk pulang. Katanya dia mau mengurus butiknya dulu.
"Sudah siap tuan putri?" Tanya Dave setalah masuk kedalam mobil dan menyalakan mobil.
Aku tertawa kecil mendengar sebutannya "Sudah" jawabku. Dan mobilpun melaju membelah dinginnya malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya (tdk dilanjutkan)
Romantizm"apapun yang kukatakan nantinya, kumohon percayalah" mohon lelaki tersebut lirih. "aku tak bisa" ucap sang perempuan datar. "kenapa?" sang lelaki bertanya, tapi bagai bisikkan. "kau yang membuatku seperti ini" ucap sang perempuan tetap datar. "aku m...