11

8.1K 622 48
                                    

Duduk sambil termenung adalah dua hal yang sering kulakukan belakangan hari ini. Yeah, Adam telah mengirimku ke rumah Sarah. Setelah aku membawa-bawa nama Avaline ke dalam perdebatan kami Adam langsung berhenti membujukku untuk tinggal lalu ia menghubungi Sarah agar segera menjemputku di rumahnya.

Sarah tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kami. Adam berbohong kepadanya dengan mengatakan kalau aku bosan tinggal di dalam hutan dan butuh teman wanita untuk berbincang. Tentu saja Sarah mempercayainya karena ia tahu betul betapa dinginnya sikap Adam Knox kepadaku. Bahkan ketika mobil Sarah datang untuk menjemputku Adam tidak mengatakan apa-apa selain berdiri di teras rumahnya sambil memandangi kepergianku.

Rasanya seperti kalah sebelum berperang. Adam Knox menyingkirkanku dari rumahnya tepat setelah aku menyatakan perasaan yang kumiliki untuknya. Tapi ini bukanlah kesalahan Adam sebab aku juga memutuskan untuk melupakan perasaan ini dan menjauh darinya.

Namun hari demi hari yang kulalui tanpa melihat Adam justru membuat hatiku terasa semakin sakit menanggung rindu. Entah mengapa sulit bagiku berada jauh darinya. Aku ingin melihat wajah dinginnya setiap pagi, memperhatikannya ketika ia sedang bekerja, dan mendengar rentetan kalimat kasarnya saat ia sedang marah.

Yeah, semua mustahil untuk diperbaiki sekarang. Aku benar-benar telah kehilangan Adam sejak perasaan ini tumbuh di dalam hatiku.

"Ava?"

Suara Sarah menarikku dari lamunan panjang di pagi hari.

"Hai" sapaku, mencoba untuk tersenyum.

"Boleh aku duduk di sini?" ia bertanya sambil menunjuk kursi kosong yang ada di sisiku.

"Tentu" kataku. Kuselipkan helaian rambut nakal ke belakang telingaku.

"Kau senang berada di sini?" tanyanya sambil mengambil duduk.

"Yeah, rumahmu sangat nyaman"

Sarah menoleh menatapku sambil tersenyum geli, "Maksudku, Pedleton"

"Oh?" ah, aku benar-benar bodoh, "Ya, ini desa yang indah"

"Benarkah?" kedua alis Sarah terangkat naik. Aku segera memalingkan wajahku merasa gugup karena ia berusaha menggali sesuatu di balik kedua bola mataku.

"Ketika aku remaja aku sangat ingin keluar dari desa ini. Aku ingin pergi ke kota, hidup hura-hura dan berpesta setiap hari" aku menaruh penuh perhatianku kepada gadis itu ketika ia mulai berbagi pengalamannya.

"Aku berhasil mewujudkan impian itu, aku mendapatkan biaya siswa di California dan menjalani hidup seperti yang kumau" lanjutnya.

Aku tersenyum kepada Sarah, "Lalu kenapa kau kembali ke Pedleton?" tanyaku.

Senyum kecil terukir di bibirnya, "Hidup seperti itu membuatku jenuh. Kau tahu bagaimana brengseknya orang-orang kota, mereka bersikap seakan-akan mereka yang memiliki dunia. Aku juga merindukan desa kecil ini selama aku berada di sana, akhirnya setelah studiku selesai aku kembali ke Pedleton dan memutuskan untuk membantu orang-orang yang ada di sini"

"Itu sangat mulia" kataku.

Sorot mata Sarah menatapku dengan lembut, "Yeah, aku tidak pernah menyesali keputusan yang telah kubuat"

Kami terdiam dalam beberapa saat sambil memandangi beberapa orang yang lewat dan saling bertegur sapa dengan hangat. Rumah Sarah berbeda jauh dengan rumah Adam Knox yang berada di tengah hutan. Sarah tinggal di antara pemukiman penduduk yang cukup ramai dan rumahnya terletak di pinggir jalan tempat di mana orang-orang berlalu lalang.

"Di sini kau akan menemukan kehidupan yang sebenarnya, Ava" ucap Sarah.

Aku setuju dengannya. Meskipun aku belum lama keluar dari rumah hutan Adam Knox tapi aku cukup memperhatikan bagaimana penduduk desa menjalani hidupnya dengan tentram. Meski hidup berkecukupan mereka tidak perlu khawatir sebab para tetangga di sini siap membantu dan memberikan pertolongan. Menurutku, seperti inilah kehidupan sosial yang seharusnya, di kota kalian hanya akan menemui para tetangga yang acuh bahkan tidak saling kenal satu sama lain. Mereka tidak akan bangun bahkan jika rumahmu kebakaran.

Selain itu aku percaya, hidup serba mudah membuat manusia menjadi lebih cepat jenuh. Di kota kita akan mendapatkan apa pun yang kita mau dengan cara yang instan, karena itulah orang-orang kota selalu memandang remeh usaha orang lain dalam bertahan hidup.

Mendadak aku jadi teringat oleh Adam Knox. Aku tidak tahu ia menjalani hidup yang seperti apa. Dia tinggal di dalam hutan dan jarang bersosialisasi dengan penduduk yang berada cukup jauh dari rumahnya. Bagaimana jika suatu saat nanti ia mengalami musibah yang tidak dapat ia atasi seorang diri? Oh, aku lupa kalau ia punya Sarah, Mark, dan kedua orang tuanya.

Sebuah truk milik seorang pria yang sedang kupikirkan muncul dan memasuki pekarangan rumah Sarah. Tubuhku menegang kaku, aku terkejut tapi berusaha untuk bersikap acuh dengan kemunculan mendadak Adam Knox di sini.

Uh, untuk apa pria itu datang ke mari?

Adam memarkirkan mobilnya di halaman rumah Sarah. Ia keluar dari mobil dan matanya langsung tertuju kepadaku, aku menundukkan pandanganku karena merasa gugup. Sial, bertingkah seolah-olah kau tidak peduli Ava! Ketika aku kembali mengangkat wajahku Adam sudah berhenti menatapku, ia melangkah menghampiri kami yang berdiri di beranda rumah lalu memposisikan dirinya berdiri di hadapan Sarah dan berkata, "Sarah, aku ingin bicara denganmu"

Baiklah, aku merasa seperti lalat pengganggu di sini. Jelas aku bukanlah alasan mengapa Adam datang ke mari. Aku berdeham canggung alih-alih merasa tersinggung, "Aku masuk ke dalam, permisi"

Sarah memandangi kami secara bergantian dengan bingung tapi ia tidak mencegahku untuk pergi. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdegup kencang, mimpi apa aku kemarin malam sampai bisa melihat Adam Knox lagi? Well meskipun sakit mendapati ia datang ke mari hanya untuk berbicara dengan sepupunya, sialan.

Aku duduk di ruang tengah dengan majalah terbitan tahun lalu di tanganku. Aku benar-benar tidak tertarik membaca majalah itu, tapi aku berusaha keras untuk fokus membacanya agar kedatangan Adam ke rumah ini tidak mengusik pikiranku.

Beberapa menit kemudian suara derap langkah terdengar. Sarah masuk ke dalam rumah tanpa Adam yang mengikutinya dari belakang. Aku memandang gadis berambut merah itu, ia membalas tatapanku tapi kemudian mendesah pelan.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku.

"Seharusnya aku yang bertanya kepadamu" sahut Sarah, "Kau dan Adam, kalian berdua baik-baik saja?"

Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Sarah menghampiriku lalu mengambil duduk di sofa yang berada tepat di seberangku. Ia duduk dengan anggun di sana kemudian melemparkan pertanyaan yang lain, "Apakah kalian bertengkar?"

Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Lalu mengapa kau masuk ke dalam rumah dengan wajah sedih seperti itu, apa Adam telah melakukan sesuatu yang buruk kepadamu?"

Sulit rasanya menjawab pertanyaan Sarah. Aku bahkan tidak tahu apa yang telah Adam lakukan kepadaku. Untuk sikap brengseknya ia sudah meminta maaf dan aku sudah memaafkannya, lalu untuk hatiku yang hancur karena mencintainya, aku sama sekali tidak menyalahkan Adam soal itu.

"Mengapa ia datang ke mari?" tanyaku, mengabaikan pertanyaan Sarah sebelumnya.

"Bukan sesuatu yang penting, hanya meminjam palu"

Meminjam palu? Dia punya seratus palu di rumahnya. Konyol sekali.

"Dan dia juga mengatakan kepadaku kalau kau bisa kembali ke rumahnya kapan pun kau ingin"

Oh?

"Dia mengatakan itu kepadamu?" tanyaku dengan satu alis yang terangkat naik.

"Yeah" sahut Sarah.

Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Sekali lagi Adam membuatku terkejut dengan sikap anehnya. Pertama ia mengusirku lalu memintaku untuk tinggal. Kemudian ia membiarkanku pergi tapi sekarang berkata kalau aku boleh kembali kapan pun aku menginginkannya.

Pria hutan itu semakin tidak waras saja!

— TBC —

Vote+comment for next!

The Touched Of Tarzan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang