BAGIAN 10

152 156 36
                                    

Duk
Bugh

Arsen melayangkan berkali-kali tinjuan pada barang-barang tak terpakai yang berada di atas gedung sepi dan gelap, tak sekali dua kali ia memaki dirinya sendiri karena kalimat yang siang tadi ia dengar dengan telinganya sendiri.

"Ibu kamu udah gak ada, dia udah di akhirat, mungkin di neraka."

Kalimat itu terus saja menghantuinya, ia kesal, marah, sedih. Semua perasaan menjadi satu dengan tujuan memberinya air mata, ia menyesal baru mengetahuinya sekarang, mungkinkah yang dikatakan ayahnya adalah kenyataan? Atau hanya akal-akalannya saja? Arsen pusing.

Dengan tenaga yang sudah hampir habis karena meluapkan emosi, ia terduduk dengan pipi basah akan air mata di rooftop gedung hotel tersebut, kemudian ia menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya di atas tumpuan tangannya. Sekali lagi ditegaskan, ia putus asa.

".... Itu semua bohong, 'kan?" gumam Arsen sembari terus memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak.

Bayangkan saja, selama hampir lima belas tahun ia tidak bertemu dengan ibunya, lalu tiba-tiba ia mendapatkan kabar jika ibunya sudah tiada, tentu saja ia sangat kehilangan.

Yang tersisa hanyalah penyesalan, menyesal karena kenapa dari dulu ia tidak menanyakan dimana ibunya dan kabarnya pada ayahnya ataupun mencoba mencarinya dengan sedikit niat, kenapa ia tidak pernah membagikannya pada siapapun agar ada yang membantunya, sungguh ia sangat menyesal.

Arsen sangat membutuhkan pelukan untuk saat ini, ia juga ingin mendengarkan kata 'tidak apa-apa' untuknya, bisakah ia mendapatkannya? Untuk kali ini saja.

Takdir memang sedikit tidak adil, disaat orang-orang mengharapkan kebahagiaan dalam hidup mereka, tuhan terkadang memberikan kesedihan yang berkepanjangan pada mereka.

Arsen memang terkenal sebagai anak yang jarang menangis, ia lebih dikenal sebagai Arsen si pemilik kuasa dan mata tajam yang selalu membuat lawannya merasa terintimidasi, namun hari ini Arsen seolah tengah menunjukkan dirinya yang asli di depan tuhan dan semesta.

Tuhan dan semesta selalu menjadi saksi bisu perjalanan kehidupan seorang Arsendra Marvilio Bagaskara, dimulai dari kebahagian mendapatkan tepukan di pundaknya dan mengatakan bahwa semua orang bangga padanya, kesedihan akan permasalahan hidupnya, hingga orang-orang terdekatnya yang seakan muncul sebagai support sistemnya, tuhan selalu mengetahuinya dan melihatnya setiap detik.

Arsen anak yang kuat.

Dibalik sifat dinginnya ia menyimpan begitu banyak luka.

"Mah, maafin Arsen.."

***

"Rill, Arsen kemana? Kok gak masuk sekolah?" tanya Ocha sembari menepuk-nepuk pipinya dengan bedak di depan cermin toilet sekolah khusus perempuan.

Sherill yang tengah mencuci wajahnya pun akhirnya menoleh sekilas, "Gak tau, dia gak ngasih kabar sama sekali, tadi pagi gue ke kost-an nya aja dia gak ada." sahutnya dengan nada bingung dan sedikit khawatir.

Ocha menyimpan bedaknya di dalam saku celananya dan bergerak memposisikan dirinya untuk fokus pada Sherill. "Serius lo? Apa ada kemungkinan Arsen diculik?"

Plak

Setelah memukul pelan mulut Ocha, Sherill berdecak, "Mana mungkin!"

Ocha meringis memegang bibirnya, lantas kembali berujar, "Tapi bisa jadi anjir, terakhir lo ketemu dia kapan?"

Sherill terlihat berpikir keras untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan Ocha. "Mungkin kemaren, itu juga cuma sekedar chatting-an doang,"

"Au ah mungkin dia bolos kali, capek latihan, dah yuk balik ke kelas!" ujar Ocha sembari menarik pergelangan tangan Sherill dan mendapatkan protes dari sang empunya.

***

"Rill, lo gausah mondar-mandir gitu ngapa!" ujar Aksa-yang pusing melihat Sherill terus saja mondar-mandir dengan raut wajah khawatir dan kuku-kuku jari yang ia gigit.

Sherill frustasi, "Ya lo pikirin aja! Dari kemaren Arsen belum pulang, mana nih kost-an nya gak di kunci sama sekali! Apa lo gak khawatir?!" ujarnya terbawa emosi.

"Iya gue tau, tapi seharusnya jangan bikin gue pusing dong, mondar-mandir gitu!" sungut Aksa tak mau kalah.

"Tap--"

"Udahlah jangan bikin masalah dulu, pikirin dimana Arsen sekarang, don't be childlish please.." potong Alaska pelan.

Sherill dan Aksa sama-sama terdiam setalah Alaska mengatakan itu, memang diantara mereka yang paling dewasa adalah Alaska, ia selalu berfikir dingin dan positif di saat apapun, itulah kelebihannya saat keadaan tengah kalut.

Kini mereka tengah berada di kost-an Arsen, tetangganya mengatakan jika Arsen tidak terlihat sejak kemarin, dan yang membuat mereka sangat khawatir adalah, terakhir tetangga melihatnya, Arsen terlihat bersama dengan ayahnya.

Bagaimana mungkin mereka bisa berfikir positif saat tetangga terakhir melihat Arsen ada, ia bersama dengan ayahnya? Dan terdengar juga jika keduanya tengah bertengkar.

"Kalian tau biasanya Arsen sering kemana selain ke tempat latihannya?" tanya Alaska.

Sherill dan Aksa menggeleng bersamaan, setahu mereka Arsen tidak pernah keluar selain ke sekolah dan tempat latihan basketnya, ia terlalu malas untuk sekedar bercengkrama dengan orang lain.

Alaska menghela nafas frustasi, jujur saja pikirannya sekarang sudah bercabang, mencoba untuk berfikir positif namun yang didapat hanyalah hal-hal negatif.

"Apa mungkin Arsen diculik?" tanya Aksa.

"Jangan becanda, Sa. Bukan waktunya, lagian Arsen gak selemah itu buat di culik, buat apa juga, 'kan?" ujar Alaska memberikan peringatan pada Aksa dengan lembut.

Aksa hanya menunduk dalam.

"Kita udah cari kemana-mana tapi dia tetep gak ketemu, sumpah gue udah hopeless banget." kata Sherill menambahi.

"Gue juga," sahut Alaska dan Aksa bersamaan.

Lalu setelahnya, hanya helaan nafas berat ketiganya yang terdengar memenuhi ruangan.

***

"Kak, bantu aku."

Ravin menoleh sekilas pada sang adik, lantas kembali melanjutkan aktivitasnya, yaitu mengambil gelas dan sedikit air putih untuk ia minum.

"Gak bisa, dek," katanya.

Sudah yang ke sekian kalinya Sherill terus saja meminta Ravin untuk melacak keberadaan Arsen, namun selalu di tolak mentah-mentah olehnya, karena Ravin sudah pernah melacak dan hasilnya nihil, Arsen tidak dapat dilacak.

"Kenapa kakak gak coba lagi? Please,"

Tak pantang menyerah, Sherill terus mengikuti kemana Ravin pergi sembari memohon agar Ravin mau mencoba menghubungi teman-temannya atau siapapun yang bisa membantunya mencari Arsen.

Mau tak mau Ravin berhenti dan membalikkan badannya membuat Sherill yang berada dibelakangnya kaget dan refleks dahinya menabrak dada bidang milik Ravin, lalu meringis kesakitan sembari mengelus-ngelus dahinya.

"Gini loh, kamu tau kan kakak gak terlalu jago kalo soal lacak-lacak gini, lagian kita udah coba dan Arsen gak bisa di lacak, kamu paham sampe sini? Dah kakak mau tidur jangan ganggu." katanya lembut namun penuh penekanan, kemudian ia beranjak dari sana.

Sedangkan Sherill hanya bisa diam tak bergeming, "Lo dimana sih, Sen?" lirihnya pelan.

Drtt Drtt Drtt

Sherill merasakan saku celananya bergetar, bertanda ada panggilan masuk di handphone miliknya. Dengan cepat, ia mengambilnya dan terpampang nama Aksa disana, tanpa pikir panjang lagi, ia segera menekan tombol 'answer' pada layar dan menempelkannya ke telinga.

"Ap--"

"Arsen masuk rumah sakit!! Buruan ke sini, di rumah sakit biasa!"

TBC

One Heart, Three LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang