BAGIAN 05

209 206 59
                                    

"Loh, mau kemana kak?" tanya seseorang berhasil membuat Alaska menoleh.

Alaska tersenyum, "Mau ke kost-an Arsen, Bun." ujarnya pada sang Ibunda yang sedang sibuk di dapur.

Linda-ibu Alaska-mengernyit. "Udah sore loh kak," katanya.

Alaska memasukkan lengannya untuk masuk kedalam lengan panjang jaketnya, "Bentar kok, Bun. Gak nyampe Maghrib, Alaska janji." ujarnya.

Linda melirik jam yang terpampang di dinding, dilihatnya jam menunjukkan pukul tiga lebih lima menit. "Yaudah, hati-hati kak."

Lagi-lagi Alaska membalasnya dengan senyuman dan anggukan, lantas ia menghampiri Linda dan mencium tangannya. "Alaska ke rumah Arsen dulu ya Bun, Assalamualaikum." katanya berbalik dan mulai menghilang dari sana.

"Waalaikumsalam, jangan ngebut kak!" teriak Linda untuk memperingatkan Alaska hati-hati.

"Siap, Bun!" balas Alaska dari luar.

Linda tersenyum tipis menanggapi anak pertamanya itu, lantas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alaska sama kayak kamu, Mas." lirihnya sembari melirik bingkai foto seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum.

***

Bola basket berwarna oranye itu berhasil masuk ke dalam ring dengan suara yang cukup nyaring. Lelaki berambut legam tersebut menampilkan wajah tanpa ekspresi, ia bermain basket disini tapi pikirannya entah kemana.

Sudah sekitar satu jam ia terus menggempur ring tersebut sebagai pelampiasannya, berharap masalah hilang bersamaan dengan angin yang berhembus kencang di lapangan basket dekat kost-an nya yang selalu sepi setiap saat, sama seperti kehidupan pria dengan nama lengkap Arsendra Marvilio Bagaskara, nama yang dibelakang adalah marga keluarganya, sang ayah.

Keluarga mereka yang dulu adalah keluarga paling harmonis dibanding tetangga lainnya ternyata hanyalah alibi untuk saling menutupi segalanya. Yang dilihat bukan berarti itu yang benar-benar terjadi, 'bukan?

Arsen memiliki seorang adik perempuan yang sekarang sudah lebih dulu meninggalkannya karena mengalami kecelakaan saat sedang bermain, saat itu adik kecilnya tengah bermain di luar rumah, tanpa sengaja salah satu mainannya terlempar ke tengah jalan-fyi, rumah dulu Arsen langsung berhadapan dengan jalan raya-karena tidak ada yang memantau, adik perempuannya tersebut berlari mengambilnya dan sebuah mobil dari arah kanan berhasil membuatnya terpental, nyawanya tidak berhasil diselamatkan.

Sejak saat itu, sang ibu terus saja menunjuk Arsen pembunuh. Sang ibu memang sudah berpesan pada Arsen untuk menjaga sang adik selagi ibunya itu berbelanja di pasar. Padahal, Arsen tidak pernah mengajak adiknya untuk bermain diluar, saat itu ayahnya lah yang menyuruh adiknya untuk bermain diluar saja karena Riko tengah sibuk dengan pekerjaannya dan berkata jika adiknya sangat berisik.

Sejak saat itu pula, Rani-ibu Arsen-terus marah-marah setiap hari, biasanya kesalahan yang dibuat Arsen sedikit saja, langsung menjadi besar dan kata-kata kasar juga sering kali terdengar di gendang telinganya, namun Arsen tahu mengapa sang ibu yang dulunya sangatlah lembut menjadi seperti itu, ia merasa kehilangan.

Setelahnya, Riko dan Rina selalu bertengkar setiap harinya karena Riko memanfaatkan uangnya untuk kesenangannya saja tanpa memikirkan kebutuhan keluarga yang sedang krisis.

Sekarang Arsen tidak tahu dimana ibunya itu, meski begitu ia mengira jika Riko tahu dan memperingatinya untuk tidak menghampiri Rina dan menghancurkan kehidupannya lagi, walaupun sering kali perasaan ingin tahu Arsen muncul, ia tetap bersikap seakan-akan ia tidak ingin bertemu dan berargumen dengan hatinya yang ingin sekali memeluk sang ibu setelah lima belas tahun lamanya.

Duk Duk Duk

Bola basket milik Arsen memantul dengan sempurna diantara tangannya dan lapangan berwarna suram tersebut, biasanya ia sering menghabiskan waktunya untuk bermain basket.

Saat sedang asik memantulkan bola tanpa ada niatan untuk memasukkannya ke dalam ring, seseorang tiba-tiba saja mengambil alih bola tersebut dan berlari kecil untuk memasukkannya ke dalam ring.

"1-0!" katanya sembari berbalik dan tersenyum pada Arsen.

Arsen hanya menghela nafas, lelaki itu Alaska. Arsen benar-benar datang sesuai perkataan Alaska, Alaska pikir Arsen tidak akan datang karena ia terlihat menolak kemarin. "Dateng lu, gue kira kaga," ujarnya sembari memantulkan bola di tangannya dan berhasil memasukkan lagi.

"2-0!" lanjutnya.

Tanpa menggubris penuturan Alaska, Arsen lebih memilih berjalan santai ke pinggir lapangan dan duduk di salah satu kursi berukuran panjang yang sengaja disediakan untuk pengguna lapangan.

Alaska yang melihat sang sahabat hanya diam saja pun langsung menghampirinya dan duduk tepat disampingnya dengan bola yang masih berada di tangannya.

Keheningan sempat mengambil alih keadaan sampai lima menit kedepan, "Sen," panggil Alaska.

Arsen yang sedang menatap langit yang berwarna jingga pun terpaksa menoleh. "Apa?" tanyanya datar.

Alaska tersenyum sekilas. "Semua orang punya masalahnya masing-masing, sama kayak gue, elo, Aksa, Sherill. Tapi, ada dari kita yang mungkin masih ragu buat searing masalahnya satu sama lain, gue selalu nyari tau tentang keluarga lu karena lu gak pernah ngasih tau gue, Aksa, maupun Sherill. Lo terlalu tertutup, Sen," ujarnya tanpa menatap Arsen yang sedang mencerna pernyataannya.

Alaska menghela nafas, "Kalo pun lo emang belum siap buat kasih tau latar belakang keluarga lu kita gapapa, tapi seenggaknya kasih tau kita satu cerita yang gak terlalu penting dari hari ini, hari yang lo jalanin, apapun." lanjutnya sembari menatap Arsen sendu.

Sejak dulu sampai sekarang, ketiganya belum mengetahui latar belakang keluarga Arsen, karena disaat mereka saling mengenal satu sama lain mereka masih belum mengerti masalah orang dewasa, dan sekarang mereka sudah peka akan perubahan sikap Arsen yang dulu sangat ceria menjadi sedingin es.

Beberapa kali Alaska meminta penjelasan dari ibunya ataupun Tyas, namun tidak ada yang mau membuka mulut untuk sekedar memberikan fakta walau sedikit. "Gue gak bisa liat lo gini, Sen." lirihnya.

Arsen mengalihkan pandangannya dan menghela nafas panjang, "Gue-"

"-baik-baik aja kali," katanya.

Lagi-lagi Alaska hanya menghela nafas, "Soal bokap gue emang udah tau, tapi soal nyokap lo-kemana dia?" tanyanya ragu-ragu, takut melukai perasaan Arsen.

"Gak tau,"

Alaska mengerjap, "Maksud-"

"Iya, gue gak tau! Gue gak tau nyokap gue sekarang dimana, puas?!" sarkasnya dengan mata tajam.

Alaska diam tak bergeming, ada rasa menyesal telah menanyai Arsen dengan sesuatu hal yang sangat sensitif baginya, "Sen, sorry. Gue-" belum sempat Alaska menghabiskan kata-katanya Arsen sudah lebih dulu mengambil bolanya dari tangan Alaska dan beranjak dari sana.

"Sen!" pekik Alaska.

Namun percuma, punggung Arsen semakin lama semakin menjauh dan menghilang dari pandangan. "Ikuti kata hati lo, kita disini-buat lo, jangan ragu." lirihnya pelan sembari menatap Arsen yang sudah tidak ada di bola matanya.

Sahabat ada untuk saling memberikan dukungan dan sandaran saat salah satu diantara mereka merasa sudah tak berharga, menjadi teman yang selalu bisa mereka andalkan saat apapun, jika kau sudah tidak bisa menghadapinya sendirian, bicaralah dan mulai terbukalah sedikit demi sedikit, kau tidak akan pernah bisa melakukan segala hal hanya dengan mengandalkan diri sendiri.

TBC

One Heart, Three LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang