BAGIAN 08

194 192 52
                                    

"Apa gak bisa kamu pintar kayak Alaska? Semua nilai kamu merah, Sa?!" pekik seorang wanita paruh baya dengan mata melebar menatap anak semata wayangnya itu.

Aksa mengangkat kepalanya murka, "Iya emang Aksa gak pernah dan gak akan pernah bisa kayak Alaska! Aksa sama Alaska beda, mah! Aksa cuma bisa segitu, gak bisa lebih kayak Alaska! Aksa cuma beban buat mamah sama papah, Aksa bodoh, tapi Aksa gak mau terus-terusan di tekan sama mamah buat dapet nilai besar! Aksa capek, mah, capek."

BRUK

Setelah mengeluarkan segala yang ia pendam selama ini, ia menutup pintu kamarnya kasar dan menguncinya rapat-rapat, tak memperdulikan lagi suara Fira-ibu Aksa yang memanggilnya.

Setelah ia menerima rapor hari ini, ibunya yang baru saja datang dari luar kota langsung memarahinya hanya karena nilainya yang lebih banyak diisi dengan nilai berwarna merah.

Tanpa sengaja, Aksa mendengar percakapan di luar.

"Kamu kenapa sih?!"

"Justru anak kamu yang kenapa?! Selama ini kamu ngedidik anak kamu gimana?! Selama aku kerja, dia pasti jarang kamu urus kan sampe sekolahnya gak teratur dan dapet nilai rata-rata merah semua, iyakan?!"

"Kamu egois, Fir! Kamu gak pernah tau, kamu gak pernah merhatiin dia tumbuh apalagi selama dia sekolah, kamu yang seharusnya ngurus dia sebagai seorang ibu kan?! Kenapa kamu yang marah-marah gak jelas cuma gara-gara dia dapet nilai merah?! Apa pantes kamu gitu hah?!"

"Loh?! Kan aku kerja buat dia juga! Buat dia sekolah juga! Buat dia makan! Buat jajannya tiap hari! Kamu gak mikir?!"

"Itu tugas aku! Kenapa kamu yang ambil alih?! Harusnya kamu jadi ibu rumah tangga, ngurus anak kamu, suami kamu, gak ada yang nyuruh kamu kerja buat Aksa! Aku yang kerja buat dia, buat kamu! Kamu cukup diem di rumah ngurus Aksa, kamu udah dapet segalanya! Kamu egois Fir, kamu gak bisa nekan anakmu cuma karena anak temanmu lebih pintar."

"Aku gak peduli, dia harus pintar!"

Aksa menutup telinganya, ia muak sekali dengan pertengkaran yang selalu ada setiap ibunya baru kembali dari luar kota, pasti ada saja masalah yang membuat keduanya bertengkar hebat hingga berpisah rumah sampai dua minggu lamanya.

"Gue capek, please tuhan."

***

Alaska menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, ibunya kembali menangis tanpa sebab sembari memeluk figura ayahnya yang sudah sepuluh tahun tiada, ia juga sering berbicara sendiri dan terkadang tersenyum tanpa alasan.

Ibunya selalu seperti ini setiap malam, bahkan pagi pun ia seperti ini, Alaska sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk ibunya itu, padahal hari ini ia menerima rapor dan ibunya tidak menanyai hasilnya sama sekali, ia tahu pasti ibunya akan bereaksi biasa saja seperti biasanya, Alaska ingin sekali mendengar kata selamat dan senyum manis dari ibunya karena hasil rapornya sangat bagus, namun ia sering kali membuang pemikiran itu karena sangat mustahil untuk ia dapatkan.

"Bun, tidur ya." ucap Alaska mendekat pada Linda yang berada di ujung kasurnya.

Linda menggeleng pelan dengan mata kosong, "Kamu aja tidur sana."

"Gak, bunda dulu."

"Ck, pergi Al! Bunda mau sendiri!" pekiknya tiba-tiba sembari mendorong-dorong tubuh Alaska.

"Bun-"

"Kamu yang bikin suami saya mati kan?!" tanyanya dengan mata berair dan kemerahan.

Seperti biasanya, Linda selalu menuduh Alaska membunuh ayahnya setiap ia kambuh di malam hari.

BRUK

Pintu kamar Linda sudah tertutup rapat, menyisakan Alaska dengan sepinya rumah ini saat malam. "Pah, we need you." lirih Alaska pelan.

***

"Pagi saaa!!!" sapa Sherill pada Aksa yang tengah memainkan bolpoin dengan malas.

Aksa menoleh sekilas, tiba-tiba saja bayangan kejadian kemarin bersama Sherill berputar dalam otak Aksa, kemudian dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.

"Dih? Kenapa lo? Banyak kutu ya?" tebak Sherill setelah melihat Aksa menggeleng-gelengkan kepalanya tak jelas.

Aksa berdecak, "Apaan sih lo! Lo kali yang kutuan, gue mah tiap hari keramas pake rinso ye!" bantah Aksa sampai uratnya terlihat.

"Ya santai dong anjir! Lagian gak modal amat sampoan pake rinso," ujar Sherill acuh.

"Daripada lo mandi pake kapur barus, pengen jadi serangga lo?!" balas Aksa tak mau kalah.

"Dih lo-"

"Diem bisa?!" ucapan Sherill terpotong saat suara Arsen yang dingin nan tajam masuk kedalam telinga mereka.

Keduanya menelan ludah dengan susah payah, Arsen selalu terlihat menyeramkan dari apapun saat ia marah dan merasa terganggu, semua orang takut Arsen jika ia sedang mode ganas, rasanya seperti dihadapkan dengan malaikat pencabut nyawa.

Pagi ini mereka tengah menikmati free class karena guru yang seharusnya mengajar tidak masuk dikarenakan sakit, sepertinya hampir setiap hari sekolah mereka selalu ada free class di setiap jam pelajaran.

Bagi mereka free class adalah anugerah yang tidak pantas untuk di sia-siakan hanya karena harus tetap mengerjakan tugas, berbeda dengan mereka, Alaska justru fokus mengerjakan tugas yang diberikan guru yang sedang sakit tersebut melalui staff tata usaha.

"Santai dong, Sen."

"Pergi, gue mau tidur." ujar Arsen menyuruh Aksa dan Sherill untuk duduk jauh-jauh darinya.

"Dih, ngusir." setelahnya, Aksa dan Sherill menjauh dari Arsen, mereka lebih memilih duduk di lantai dan bersandar di tembok belakang kelas mereka.

"Sa, lo tau Angga anak sebelah gak?" tanya Sherill membuka obrolan alias ghibah.

Aksa mengedikkan bahu acuh, "Siapa emang?" tanyanya sembari membuka bungkus permen karet rasa anggur.

Sherill berdecak, "Ituu yang ganteng seantero Bandung!!" antusiasnya.

Aksa menoleh dengan warna wajah yang tak dapat diartikan. "Mana? Kasih tunjuk, palingan juga gantengan gue," katanya menyombongkan diri.

Sherill merotasikan bola matanya jengah. "Gak usah sok ganteng, lo dibanding sama Rahmat aja gantengan dia!"

"Hah? Rahmat? Rahmat Hidayat? Rahmat kelas 10? Lo becanda su?? Hahaha mata lo katarak? Jhia gak nyangka gue pecinta oppa seleranya modelan Rahmat." ujarnya yang diselingi dengan gelak tawa.

"Dih anjing ah, gak seru ngobrol sama lo, mending sama Alaska, bye!" final Sherill berlalu menuju meja Alaska.

Setelah Sherill pergi, Aksa mengernyit tak suka. "Siapa Angga? Dih, kenapa gue peduli, gak waras gue." gumamnya tak jelas.

"Gak mungkin kan... Gue suka sama... Sherill..?"

TBC

One Heart, Three LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang