BAGIAN 11

131 131 38
                                    

Sherill berlari tak tahu arah melewati segala macam tatapan orang-orang yang melihatnya bingung, pikirannya hanya dipenuhi satu nama, yakni Arsen. Setelah Aksa menghubunginya ia kalut tak tertolong, dengan langkah cepat ia mencari ruangan Arsen di rawat.

"Dimana Arsen?!" tanyanya panik pada Aksa dan Alaska yang berada di depan sebuah ruangan sembari memasang wajah khawatir.

Keduanya menoleh bersamaan, "Masih di periksa dokter," kata Aksa.

Sherill memejamkan mata sejenak. "Kenapa bisa? Arsen kenapa?" tanyanya pelan.

Alaska berdiri dari duduknya. "Gue ke kantin dulu." ujarnya, lantas berlalu dari sana.

"Alaska yang paling shock tau ini, lo tau sendiri kan dia udah dikasih amanat sama kepercayaan buat terus jaga Arsen." sergah Aksa sebelum Sherill bertanya.

Dengan cepat Sherill duduk disebelah Aksa, "Ceritain kenapa Arsen bisa masuk rumah sakit?" tanyanya.

Aksa menghela nafas panjang, lantas mengedikkan bahu. "Gue dapet kabar dari Alaska dan Alaska bilang, yang ngasih tau dia kalo Arsen di rumah sakit itu polisi, gue bener-bener gak tau dia kenapa dan apa hubungannya sama polisi itu." ujarnya tanpa menatap Sherill.

"Tapi, sekarang polisi lagi cari tau siapa yang nabrak dia." lanjutnya.

Sebelum Sherill bertanya lebih lanjut, pintu tempat Arsen diperiksa tiba-tiba terbuka dan menampakkan seorang dokter dengan kacamata yang bertengger di tulang hidungnya, wajah sang dokter tidak dapat diartikan oleh keduanya. "Keluarga saudara Arsen," ucapnya pelan.

Dengan cepat keduanya berdiri dan menghampiri sang dokter dengan wajah takut akan keadaan sahabat mereka itu. "I-iya dok?" sahut Sherill.

"Apa kalian keluarga pasien?"

Sherill dan Aksa saling memandang satu sama lain. "Kita temennya dok, gimana keadaan Arsen?" tanya Aksa.

Dokter dengan name tag Andi itu mengangguk, "Pasien tidak mengalami luka yang cukup parah, hanya saja banyak luka yang harus segera di obati, tapi tenang, luka-luka tersebut tidak bahaya sama sekali, hari ini juga ia sudah bisa dipulangkan." ujarnya, membuat Sherill dan Aksa dapat bernafas dengan lega.

"Baik, terimakasih dok."

"Ya, jika begitu saya pamit pergi, mari." katanya, lantas berlalu dari sana dengan seorang suster yang mengikutinya di belakang.

"Mari.."

"Alhamdulillah, ah.. gue bener-bener udah panik banget." ucap Sherill kembali duduk di kursi tunggu milik rumah sakit.

Aksa hanya mengangguk, "Lo samperin Alaska gih."

Sherill mengangguk, lantas berlalu dari sana untuk mencari keberadaan Alaska.

***

"Sen, lo jangan keras kepala, gue bilang engga ya engga!"

Arsen yang mendengar itu dari mulut Sherill pun hanya diam sembari menatapnya datar, kali ini Sherill protes karena Arsen tetap ingin berangkat ke sekolah padahal luka-lukanya masih basah.

Semalam Arsen sudah dapat di pulangkan, saat ditanya ia kenapa Arsen memilih bungkam, merasa Arsen belum 100% pulih, Sherill, Alaska, maupun Aksa tidak mau bertanya lebih lanjut.

Yang dapat mereka pastikan adalah, Arsen tertabrak mobil, namun sang penabrak memilih lari dan tak bertanggung jawab atas perbuatannya, dan polisi mengatakan jika sang pengendara sedang berada di bawah pengaruh minuman keras.

Kini, Sherill berada di depannya dengan kedua tangannya yang ia simpan di depan dada. "Kenapa sih lo tuh susah banget dibilangin? Udah, ini udah mau siang jadi lo tetep disini istirahat biar gue yang izinin lo ke-"

One Heart, Three LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang