Chapter 14

472 144 33
                                    

Baiknya kamu pergi, meski memberi luka yang sering ku ratapi.

Belakangan Ayahnya telah memberinya peringatan cukup serius untuk tidak berbuat sembrono, terutama jika itu dapat mempengaruhi nilainya. Stefan tidak munafik, hingga detik ini ia masih terus mencari celah mendekati Yuki. Sialnya, kesempatan itu datang begitu kecil. Tidak Yuki, tidak orang-orang di sekelilingnya. Semua menghalangi. Lalu baru-baru ini, ia mendapati foto-foto kedekatan wanita itu dengan calon tunangannya di media sosial yang diunggah oleh Sana. Sialan!

"Kamu udah makan apa belum, Stef? Tante bawain kamu gurami asam manis." Stefan tidak bergeming, terlalu fokus menatap layar monitor di depannya dengan perasaan jengkel. "Stefan?"

Aishh.

Itu suara Lyra Tantenya.

Stefan akhirnya menoleh segera. "Iya Tan, nanti aku ke dapur buat makan."

Lyra sudah beberapa kali mendapati tingkah laku keponakannya yang seperti ini. Tidak bisa ia anggap sepele, kecurigaan tentang ada sesuatu antara Stefan dengan Yuki jelas-jelas membuatnya banyak berpikir keras. Ia yang sejak tadi berdiri di pintu, memutuskan melangkah masuk ke kamar dan duduk di kursi dekat meja belajar Stefan. Untuk beberapa waktu, tidak ada pembicaraan baik Lyra maupun remaja tanggung itu. Mana tahu isi kepala masing-masing, semuanya tidak akan berjalan mulus jika saling diam.

"Kamu nggak mau cerita apa pun ke Tante?"

"Hn?" Stefan langsung paham, tapi ia tidak mau mengatakan. "Soal apa?"

"Kamu sama temanku." Sial.

"Teman yang mana?"

Anak muda banyak sekali akalnya. "Kamu pasti tahu siapa yang Tante maksud."

"Aku nggak tahu."

"Yuki, Stef!" Darahnya lama-lama naik.

"Oh." Astaga anak ini. "Dia kan katanya mau tunangan, masa Tante nggak tahu?"

Lyra tahu, bahkan Yuki sendiri yang mengabari lewat pesan singkat beberapa hari lalu. Tidak, bukan ini yang mau ia tahu. Sejak tadi Stefan membelakanginya, Lyra jadi tidak tahu bagaimana rautnya sekarang.

"Tante tahu, tapi yang mau Tante bicarain sekarang bukan itu." Lyra tidak bermaksud menghakimi, tidak sama sekali. "Kamu sama Yuki, kalian berdua ada hubungan kan?"

Benarkah? Sebuah hubungan? Itu sudah menjadi impian Stefan. Tapi keparat, Yuki tidak mau jujur pada dirinya sendiri hingga menyebabkan segalanya menjadi sulit. Jika sudah begini, maka ia harus mengatakan apa pada Lyra? Stefan menghela napas cukup berat sembari membalikkan tubuhnya.

"Aku sama wanita itu nggak ada hubungan apa-apa, kebetulan aja dia lagi sial gara-gara ditaksir bocah ingusan kayak aku." Lyra mendengarkan dengan seksama, seperti ada beban yang menghantam perasaan Stefan ketika dia mengatakan itu. "Tapi Tante jangan khawatir, sebisanya aku berusaha nggak melampaui batas."

Pada kenyataannya, sejak awal batas itu telah dia lampaui.

Lihat saja, setebal apa topeng yang tengah Stefan pakai? Itu semua tetap tidak dapat menutupi kesedihannya. Lyra seperti baru menyadari, laki-laki manapun jika telah menggunakan hati maka cintanya bukan main dalamnya. Dan tiba-tiba sesuatu terlintas di kepala, seperti arus yang coba membawa laju pikirnya.

"Tante bisa ngelakuin sesuatu buat kamu."

"Hah?" Itu seperti sebuah spontanitas. Stefan agaknya sedikit heran. "Maksudnya?"

Jika semuanya fana, mengapa rasanya sungguh nyata?

Stefan kesulitan membaca arti tatapan Lyra. "Tante mau bantu aku dapatin Yuki?"

Segalanya sulit teraba.

"Tante nggak bisa menjanjikan apa pun." Pada tahap ini, Stefan merasa optimisnya kian menggebu. "Lihat nanti."

***

"Sikap kak Yuki sekarang aneh."

Untuk kali pertama, kalimat tersebut keluar dari bibir Sana. Aneh?

Yuki baru menidurkan Love, ia juga baru selesai merapikan kamar. Tetapi ketika ia memutuskan bergabung dengan Sana yang tengah menonton televisi, adiknya itu malah mengatakan hal barusan. Yuki tahu, cepat atau lambat boroknya akan terbuka. Antara Stefan dan adiknya, mereka berdua teman sekolah yang cukup dekat.

"A-aneh gimana?"

"Kok tanya aku sih?" Bukan sekedar perasaan Yuki, nada bicara Sana memang terdengar tajam. "Yang lebih tahu kan kakak sendiri."

"Kakak nggak bakal ngerti kalau kamu bicara kayak gini San, jangan bikin kakak bingung."

Kapan Yuki bisa sadar diri? Sana kesal sekali.

"Kak, kakak serius nggak sih mau nikah sama mas Rion?" Sejujurnya jika benci, maka bergegaslah pergi. "Kalau kakak emang serius, kakak harusnya nggak ngebiarin temanku bertindak melewati batas!"

Jelas yang dimaksudkan Sana adalah Stefan.

"Yuki!" Yuki sudah akan menanggapi Sana, tapi Ibunya berseru dari tangga sembari menggendong Lovely yang menangis. "Ponsel kamu bunyi keras banget sampai anak kamu kebangun, cepat angkat nih."

Sana sangat jengkel, Yuki pun tidak kalah jengkelnya. Sebelum berlalu pergi, wanita itu memberi isyarat pada Sana untuk membicarakan ini lagi nanti. Atensinya langsung teralih pada Love yang menangis, hanya saja Ibunya menyuruh Yuki cepat-cepat mengangkat ponselnya yang terus berdering. Ia lantas menuruti, buru-buru menekan tombol hijau di benda pipih itu sembari mencari ruangan sunyi.

"Ya, halo Lyr?"

"Yuki, lagi repot nggak? Boleh ngomongin sesuatu bentar?" Perasaannya tidak enak.

"Ngomong apa?"

Dia mencintainya, berkali-kali telinganya mendengar itu. Dia menginginkannya, sesering itu tubuhnya merasakan afeksi yang membucah.

"Yuki." Apa pun tentangnya selalu familiar, Yuki bersumpah. Keparat! Jantungnya mendadak berdegup tidak terkendali. "Yuki, aku mohon. Jangan tutup telponnya."

Tidak ada yang ingin dihadapkan nestapa.

"Aku kangen banget sama kamu."

Berapa usian Stefan? Yuki mengingat-ingat sembari berpikir betapa konyolnya bocah ini. Ya, dia sekonyol itu. Tapi Yuki sungguh lebih konyol karena diam-diam menyukainya.

"Yuki, aku pengen kita ketemu." Apa yang dia katakan, benar-benar membingungkan. "Berminggu-minggu aku nggak tahu kabar kamu sama sekali."

Yuki sengaja melakukan itu.

"Aku mohon, kasih aku kesempatan buat ketemu kamu. Lalu setelahnya aku janji nggak bakal gangguin kamu lagi."

Pertanyaannya, apa dia dapat dipercaya?

Yuki tanpa sadar menggigit bibirnya gemetaran, juga dengan tegas memutus sambungan telepon mereka hingga suara berat Stefan lenyap. Dadanya ngilu, Yuki merasakan sisa-sisa debarannya yang membekas lekat. Ia menyadari, meski ia berbohong hatinya tidak akan berhenti peka. Dan ujung-ujungnya, Yuki hanya bisa meluapkan rasa jengkel setengah mati.

"Bodoh!"

Stefan, bocah sialan!

Lukanya yang sudah pedih kian bernanah, Yuki kewalahan. Terpaksa, ia menangis dalam diam. Kepalanya berusaha berpikir rasional, hingga akhirnya jalan itu yang terlintas. Yuki masih sama, masih menangis dalam diam. Kemudian secara sadar, ia kembali terfokus pada ponselnya. Yuki mengetik sesuatu di sana, mengharapkan udara segar. Seperti itu, rasanya ada yang mengganjal. Yuki lelah menjadi si takut, maka kali ini ia ingin sekuat batu karang.

"Gimana bisa aku jatuh cinta sama anak ingusan kayak kamu Stef?! Gimana bisa?!"

Selucu itu hidupnya.



















To be continue...

Yo! I'm back. 😶 Btw makin ke sini vomentnya turun drastis, ngebosanin ya makanya pada ga suka? 😞

27 Januari 2020

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang