Chapter 17

363 136 21
                                    

Sana merasa ia seperti telah berlari bermil-mil jauhnya hingga napasnya terasa putus-putus. Ia pikir tidak ada waktu atau bahkan kesempatan lagi, maka dari itu ia bersikeras mengejarnya. Ia tahu, dengan mengambil jalan ini ia tidak mendapat apa pun. Stefan, si sialan itu. Baru hari ini Sana mendapati kabar jika dia pindah sekolah, semua serba mendadak. Beruntungnya, ia berdiri tepat di depan pagar besar rumah Stefan yang mana terdapat mobil Xpander Sport putih terparkir. Itu berarti, penghuni rumah ada di dalam. Sana bernapas lega, ia segera menekan bel beberapa kali hingga laki-laki yang dicarinya muncul. Stefan, dia terlihat melangkah menuju gerbang dan membukanya.

Pada awalnya, ia tidak begitu yakin.

"Lo mau pergi ke mana Stef?"

Ya, benar. Itu memang Sana.

Stefan menatapnya sejenak, kelihatan tengah memikirkan sesuatu. "Lo tunggu di sini bentar, gue mau ngambil sepeda. Kita bicara aja di luar, di rumah ada Bokap gue."

Laki-laki itu akhirnya kembali masuk, Sana hanya mengamatinya dari pagar sampai dia muncul dengan membawa sepeda. Tidak lantas mengerti pola pikir Stefan, Sana terus-terusan menatapnya tanpa berkedip.

"Heh!"

"Y-ya."

"Buruan naik."

Stefan mengisyaratkan demikian, karena mereka perlu bicara secara pribadi terlebih ia sendiri hampir tidak pernah membawa teman perempuan ke hadapan Ayahnya. Maka dari itu, ia membawa Sana ke taman kompleks tanpa peduli terik matahari. Dan ketika keduanya tiba di sana, Stefan tidak segera bicara hingga membuat Sana kian bingung. Ia tidak mengerti apa maunya.

"Stef."

"Bokap maksa gue pindah sekolah sekaligus tinggal di asrama supaya gue bisa fokus."

Hampir terdengar secara bersamaan.

"Fokus? Sama apa?"

"Fokus sama pendidikan." Ada jeda ketika Stefan berbicara. "Lo pasti tahu kalau nilai gue dari semester kemarin turun drastis? Bokap gue nggak suka itu."

Selama ini Sana hanya mendengar informasi tentang Ayah Stefan, dia orangtua yang disiplin dan ingin putranya berhasil dalam segala hal terutama soal pendidikan. Tapi, memaksa Stefan pindah sekolah hanya karena nilainya menurun bukankah hal berlebihan? Sana tidak mengerti, ia orang luar yang mana tidak bisa ikut campur.

"Lo nggak bilang lo suka janda anak satu ke Bokap lo kan Stef?" Sana langsung bisa melihat perubahan rautnya. "Nilai turun tuh sesuatu yang sepele, nggak perlu sampai lo pindah sekolah."

Semua yang dikatakan Sana terdengar masuk akal. Kemudian, apa yang bisa Stefan jadikan pembelaan jika begini?

"Gue punya alasan lain yang nggak bisa gue bilang ke siapapun."

Stefan tidak bisa diajak bicara lebih jauh lagi. "Oke itu privasi lo, gue nggak berhak tahu."

Hubungan pertemanan yang seperti ini, Sana melunak pada kenyataan sehingga ia lebih bisa sesantai ini bicara dengan Stefan.

"Stef, gue bilang ini supaya elo punya alasan tetap tinggal." Ada banyak hal indah yang bisa direncanakan. "Kakak gue sebenarnya suka sama..."

"Gue tahu itu." Stefan mengerti Yuki luar dalam. "Tapi kakak lo terus bohong."

"Dia batal tunangan sama Mas Rion, Stef!"

Sialan!

Stefan merasa ia akan mati konyol.

"Kalaupun Yuki nggak jadi tunangan, bukan berarti dia mau sama gue. Kakak lo nggak suka bocah ingusan."

Hati ini tidak sekeras baja, tidak juga sekuat batu karang. Stefan sudah memutuskan menuruti apa yang Yuki mau tanpa perlu berhenti. Ia tahu itu perlu waktu, tidak ada jalan lain untuk kembali. Ada jalan yang harus ia tempuh di depan mata, Stefan tidak bisa terus-terusan berdiam diri.

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang