Chapter 10

1.5K 193 59
                                    

21+

Hal pertama yang Stefan temukan saat membuka mata, adalah leher putih Yuki. Ia pikir ini semua mimpi, tapi hembusan napas yang menyeruak di depannya seperti telah memberikan sebuah angin segar. Stefan tidak mengerti, ia mendongak untuk melihat lebih jelas wajah ayu wanita itu, kemudian menyentuh pipi kirinya. Apa pun hal yang mendasari mereka bisa berada di keadaan ini, Stefan sungguh mensyukurinya. Yuki terlihat amat tenang, bahkan dia juga mendengkur kecil. Berapa lama Stefan menyadari hatinya yang selalu meluluh setiap kali memikirkan tentang Yuki? Ia, hanya merasa semakin tidak waras.

Ketika Yuki sedikit terusik, Stefan justru tersenyum lebar dan beralih menelusupkan kepala ke leher Yuki, menghirup aromanya. Begitu hangat dan harum. "Yuki..."

Stefan menyukainya.

Kini, mereka telah lain. Rasa hangat yang tercipta karena sebuah pelukan, ini amat sangat menyiksa. Tetapi, si remaja harus kehilangan saat mata Yuki tiba-tiba terbuka, dia bahkan langsung beranjak dari ranjang. Stefan yang merasa ini akan buruk segera mencekal tangan Yuki, meremasnya agak kuat. "Kamu mau ke mana?"

"Lepasin Stef."

"Kamu mau ke mana? Jangan pergi."

Dia masih tetap kekanakan, Yuki langsung mendecih. "Aku udah bilang berkali-kali kalau aku ini seorang Ibu, aku punya tanggung jawab mengurus anakku."

Bolehkah Stefan mengatakan jika dirinya ingin lebih diprioritaskan?

"Aku mohon temani aku sebentar lagi."

Sejujurnya Yuki masih dapat merasakan suhu panas di tubuh Stefan, dia masih sakit dan perlu istirahat. "Kamu hanya perlu meminum obatmu supaya sembuh."

"Tapi aku perlu kamu."

Pikiran dan hatinya, dua-duanya melayu.

Yuki tersenyum miris, ia berniat segera pergi tapi Stefan masih tidak juga mau melepaskan tangannya. Dia justru semakin memaksa, semakin berani bertindak dengan menarik tangan Yuki hingga tubuhnya kembali terhempas ke ranjang. Yuki hampir menjerit, hanya saja tindakannya kalah cepat dari Stefan. Rasanya ia akan sekarat, merasakan bibir itu memenuhi bibirnya, mengundang gelenyar aneh hingga sarafnya mengejang. Semua milik Stefan terasa panas, dan Yuki dengan gagu mencoba memberi penolakan. Hasilnya, tetap nihil. Keparat! Tangan Yuki digenggam erat, tidak ada satu celah pun baginya untuk bisa bergerak dengan leluasa.

"Stefan berhenti!"

"Kamu juga suka aku, kenapa kamu terus-terusan m mempersulit ini?" Stefan tidak bisa berpikir dewasa, Yuki menyayangkan dengan setengah hati. "Aku cuma perlu kamu, nggak ada yang lain."

Akhirnya, Yuki tidak bisa membendung tangis ketika tangan Stefan bergerak nakal. Menyentuh beberapa bagian sensitifnya.

"Kamu terlalu kecil." Dia dengan putus asa mengatakan, tapi tidak berusaha menepis tangan Stefan. "Aku takut kamu nantinya bakal menyesal Stef."

"Nggak ada kata menyesal di kamusku."

Nafsunya seperti meningkat tajam, Yuki takut sekali terpedaya. Kali ink Stefan tidak hanya sekedar mencium, tetapi juga meraba-raba tubuhnya. Menyentuh payudaranya, pantatnya, kemudian ke lipatan surgawi di antara pahanya. Yuki ingin mendesah sekeras mungkin sekarang, ingin melupakan kenyataan yang berulang kali menampar.

"Aku pengen ngelihat kamu, seluruhnya."

Hidup Yuki sudah di ujung tanduk, antara memutuskan berhenti atau terus berlanjut.

Stefan tiba-tiba kembali memberikan satu ciuman tanpa tanggung-tanggung saat Yuki sibuk dengan pikirannya, lalu setelahnya Yuki harus berkali-kali kehilangan kontrol begitu Stefan mulai melepas satu persatu pakaiannya. Telanjang, kulitnya terlihat semua, seputih kapas. Tujuh belas tahun Stefan bernapas, baru sekali ini ia melihat bagaimana bentuk tubuh wanita secara langsung. Pikirannya menjadi kacau dan berkabut, sedangkan Yuki sendiri sudah tampak pasrah. Ia mungkin sudah gila karena mempertontonkan ini dan memberikan apa yang tidak seharusnya didapatkan remaja seperti Stefan.

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang