Chapter 5

823 195 39
                                    

Hujan dan tanah basah, mungkin ini bisa menjadi analogi cintanya. Ada pertemuan dan juga perpisahan, tapi dengan memaki perpisahan sama saja seperti mengutuk pertemuan. Yuki memikirkan seluruhnya dengan sendu, bahkan ketika Lovely mulai merangkak menuju pintu ia tidak menyadari sama sekali. Antara keinginan hati dan egonya, keduanya bertolak belakang. Yuki mencoba menyingkirkan pemikiran itu, sampai suara Sana yang berdiri di pintu menyadarkan. Dia mengomel tentang Lovely yang bisa saja terkena pintu jika ia langsung membukanya lebar-lebar. Sana merasa aneh dengan kakaknya, akhir-akhir ini dia jadi sering melamun. Banyak kesempatan untuk bicara, tapi Yuki enggan mengutarakan.

"Jujur deh, kak Yuki tuh sebenarnya ada masalah apa?" Sana mulai bertanya lagi sembari menggendong Lovely.

"Nggak ada apa-apa."

"Kalau nggak ada apa-apa, nggak mungkin banget kakak tiba-tiba banyak ngelamun." Lalu Yuki harus mengatakan jika ia mulai tertarik dengan teman sekolah Sana? "Kak Yuki kan biasanya apa-apa selalu curhat ke aku, tapi sekarang udah jarang."

Yuki dan Sana bisa dikatakan akrab, terbukti dengan keseluruhan dinding kamarnya yang dipenuhi foto mereka berdua. Yuki ingat betul, ia yang kala itu mengenakan gaun pengantin berfoto dengan pose merangkul Sana, suaminya juga melakukan hal sama. Mereka bahagia sekali, tapi kini semuanya menjadi kenangan. Arsaka telah pergi, kemudian muncul perasaan aneh yang disebabkan laki-laki muda itu. Jatuh cinta pada Stefan? Yuki ingin tertawa rasanya.

"Love, gigimu kok belum tumbuh sayang? Padahal aunty mau ngasih permen." Sana mulai sibuk mengurusi Lovely. "Kak Yuki udah mandi?"

"Udah dong, kamu?"

Melihat dari senyum anehnya, Yuki sudah bisa menebak apa arti senyum itu. Sana belum mandi dan dia berani dekat-dekat dengan Lovely. "Ehe..."

"Kamu ini kebiasaan deh San. Udah mau jam enam ini, buruan mandi keburu telat."

"Iya deh iya."

Sebelum keluar kamar, gadis itu sempat-sempatnya mencubit kedua pipi gembul Lovely. Yuki hanya menggeleng melihatnya, lalu memberikan sekeranjang buah-buahan mainan untuk Lovely. Hari ini putrinya bangun cukup pagi, jadilah Yuki langsung memandikannya dengan air hangat sejak pukul lima. Selan itu, Lovely juga sudah memakan semangkuk bubur kacang hijau. Tinggal tidurnya, kemudian Yuki akan mulai beraktifitas di dapur seperti biasanya. Bayi memang seperti itu, waktunya banyak dihabiskan untuk menjadi kutu bantal.

"Love nggak haus sayang? Nggak mau susu?" Ada banyak sekali macam buah-buahan, bentuk dan warnanya pun bervariasi. Lovely tidak bisa melepaskan atensinya pada benda-benda tersebut. "Lovely?"

Kalau begini caranya mana bisa ditinggal.

"Love nggak mau nenen Bunda?"

Aish, ini salah Yuki karena memberikannya mainan. Ia berniat mengambil beberapa dari tangan Lovely, tapi dering ponsel di atas ranjang yang memekikkan membuat Yuki segera beranjak dari lantai. Sungguh, ini masih terlalu pagi untuk membuatnya sakit kepala. Yuki mendadak tidak bisa berkonsentrasi saat membaca nama Stefan tertera di ponselnya. Tidak apa-apa Yuki, ia kuat dan ia bisa menahan diri untuk tidak mengatakan sumpah serapah. Mau bagaimanapun juga, Stefan tetap si batu yang sulit diberitahu agar dia segera berhenti. Yuki hanya bisa menghembuskan napasnya kasar sambil menekan tombol hijau.

"Ada apa?"

"Sepulang sekolah, aku mau kita ketemu."

Apa yang dia katakan? "Aku sibuk."

"Jangan banyak alasan, aku tahu di jam segitu kamu nggak ada kegiatan."

Sekarang Yuki sungguh ingin mengumpat. "Stefan! Aku ini seorang Ibu, aku punya anak yang harus ku urusi. Kamu pikir aku ini apa?"

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang