Chapter 15

467 142 26
                                    

Satu kesempatan lagi.

Yuki mengingat-ingat apa yang bocah nakal itu minta beberapa hari lalu melalui sambungan telepon. Akibatnya, ia jadi kurang tidur dan semakin banyak pikiran. Sejujurnya Yuki masih tidak percaya pada dirinya sendiri yang justru mau-maunya menyanggupi untuk bertemu. Sampai sekarang pun Yuki terus merutuk, dia menyusuri tepian danau dekat rumah yang suasananya cukup sepi hingga menemukan Stefan tengah duduk di bangku kayu dekat pohon besar. Anak itu kelihatan tenang, maka Yuki putuskan untuk mendekatinya.

"Yuki..."

Ah, dia langsung tahu.

Yuki diam saja, memilih berjalan tenang ke arah Stefan dan menempati tempat duduk di sebelahnya. Untuk beberapa waktu Yuki masih enggan mengatakan apa pun, yang justru membuat Stefan kebingungan. Terakhir kali keduanya bertemu, lalu itu berakhir buruk. "A-aku minta maaf."

Stefan mencoba meluluhkannya.

"Kamu nggak perlu minta maaf."

Masalah muncul karena adanya perasaan sialan di antaran mereka, jadi Yuki merasa ini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan Stefan. Pilu sekali bagi Yuki yang hanya bisa memendam. Dia cinta, tapi sulit mengakui. Selalu dan selalu, hubungannya dengan Stefan adalah sebuah petaka. Yuki tersenyum getir sembari beranjak pergi, namun Stefan memegang tangannya dan memaksanya kembali duduk.

"Apa lagi?"

"Aku masih cinta kamu." Meski Yuki sudah berkali-kali merobeknya. "Maaf."

"Kamu dengan entengnya selalu bilang cinta ke aku Stef, kamu nggak ngerasa capek?"

"Bukan enteng, Yuki." Itu berat. "Yang selama ini aku rasain ke kamu nggak pernah aku rasain ke cewek mana pun, cuma kamu."

Di setiap kalimatnya, Stefan menekankan dengan tegas jika hanya Yuki yang ia dambakan setengah mati. Sayangnya hal itu malah membuat si wanita tidak habis pikir bahkan kehabisan kata-kata. Hanya dengan dan karena Yuki, Stefan bisa seterbuka ini. Mata jernih miliknya selalu berhasil meneduhkan, itu sama persis seperti sebuah kehangatan abadi. Stefan tersenyum kecil berusaha menggapai jemari ramping Yuki, entah disadarinya atau tidak.

"Yuki." Mereka telah sedekat nadi.

"Ya?"

"Aku tahu mata kamu nggak akan pernah bisa bohong." Yuki mendengarkan, pun diam-diam membenarkan. "Kamu selalu nganggap aku nggak layak buat kamu."

Yuki seharusnya ingat jika Stefan bukan anak yang mudah menelaah segalanya mentah-mentah, dia selalu berpikir luas. Terus terang saja tidak demikian. Bukan Stefan yang tidak layak untuknya, tapi ia yang tidak layak untuk anak laki-laki itu. Stefan harus memiliki masa depan yang cerah, bergaul dan menjalin cinta dengan beberapa gadis seusianya.

"Memangnya kamu pikir kamu siapa, Yuki?"

Dia tidak bisa mengatur laju pikir dan perasaan seseorang, Yuki tahu.

"Kamu minta aku berhenti tapi kamu sendiri malah semakin merasuk ke sini." Telunjuk Stefan mengarah tepat di dadanya. "Aku..."

Kini, siapa yang pantas dikatai keparat?

Stefan tidak sempat melanjut kalimatnya akibat tindakan tiba-tiba yang dilakukan Yuki, membuatnya terhenti di tenggorokan. Ia berpikir mungkin ini hanya halusinasi, tapi rasa kecupan di bibirnya terasa hangat dan nyata. Sialan! Stefan tanpa sadar berhenti berkedip. Di jarak seintim ini, ia menangkap air mata wanita itu yang menuruni pipi. Menggapainya. Meraba hingga ia yakin seratus persen jika apa yang ia sentuh benar-benar Yuki. Tetap saja, ia tidak bisa gegabah. Dan akhirnya, pelan-pelan ia membalas kecupan itu. Stefan merasakan lembutnya bibir bagian atas Yuki, mencecapnya di tengah gerimis yang mulai berjatuhan. Rasanya masih sama, sama panas dan sanggup menarik atensinya.

Biar saja ini menjadi kecupan terakhir.

Stefan memagut bibir Yuki seolah tidak ingin kehilangan, siapa peduli jika ada yang melihat. Namun, Yuki berharap suatu saat tidak akan pernah merindukan ini lagi. Dan si bocah itu, malah berpikir sebaliknya. Keduanya larut. Kemudian, apa yang terjadi hari ini akan jadi keputusan takdir.

Klik.

Semuanya berhasil terabadikan, dari dan sejak awal semuanya telah terekam oleh kamera yang dipegang orang itu.

***

Sudah kesekian kali Stefan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara hujan turun deras menghantam bumi, ia memutuskan untuk menaiki bus kota menuju rumah. Yuki? Wanita itu juga telah pergi, bahkan sudah satu jam lalu. Mengingatnya membuat perasaan Stefan menghangat, dan ia tidak bisa lupa begitu saja. Peduli setan soal Yuki yang mungkin sedang khilaf menciumnya, karena yang Stefan tahu wanita itu jelas-jelas juga sama kerasnya mengingingkan.

Yuki yang ceroboh.

Di tengah rasa dingin itu, Stefan melihat kaca bus yang dibasahi air hujan. Lalu matanya tiba-tiba menjadi sembab, ia sama sekali tidak pernah mengira jika akan berada di situasi seperti ini. Tidak sekalipun.

Pertama, ia jatuh cinta.

Kemudian patah.

"Aku mau kamu fokus dengan apa yang kamu ambisikan Stef. Bukan soal cinta, tapi pendidikanmu. Kamu harus fokus hanya untuk itu. Dewasakan diri, jadi anak yang bisa banggain orangtua. Aku yakin, cepat lambat kamu pasti bisa lupain aku. Dan kalaupun kita nggak bersama, suatu saat kamu bisa datang ke aku. Dengan waktu yang tepat, bukan sekarang."

Yuki tidak bisa luput dari otaknya. Sialan!

Sadar Stef. Demi masa depan yang lebih cerah, demi apa yang wanita itu inginkan. Suka tidak suka, ia harus menyanggupi. Stefan tidak bisa berbuat apa-apa, tidak juga bisa mengejar lagi karena dipaksa berhenti. Semakin lama, air mata keparat itu akhirnya luruh juga. Stefan cepat-cepat menarik topi hoodienya hingga hampir menutup seluruh kepala. Berlipat-lipat sakitnya, ia masih belum terbiasa dengan semua ini.

Dan, pada dasarnya mereka sama.

Awan-awan pekat itu tidak kunjung pergi, terus menurunkan hujan. Yuki jadi mengkhawatirkan bocah itu semenjak ia meninggalkannya sendirian. Benar atau tidak apa yang ia lakukan tadi, sedikitnya Yuki merasa lega tapi was-was di saat bersamaan. Katanya, semua kesulitan akan berlalu seiring berjalannya waktu. Yuki mencari itu mati-matian. Sialannya, rasa bibir Stefan masih membakas hangat. Yuki tersenyum tipis, berpikir betapa konyol dirinya. Ada baiknya, Yuki tidak perlu memberikan itu. Satu ciuman dalam yang sama seperti ia telah memberikan sebuah harapan. Yuki memang bodoh, selalu gegabah tanpa berpikir lebih dulu.

"Love, maaf ya sayang."

Yuki tidak tahu, ia hanya ingin meminta maaf pada putrinya yang tertidur lelap di gendongan. Tidak salah lagi, wajah Love benar-benar miniatur Arsaka versi perempuan. Yuki tersenyum singkat, ternyata secepat itu mendiang suaminya pergi. Dan bahkan, sebentar lagi Yuki akan dinikahi laki-laki lain. Laki-laki yang ia harapkan lebih dari cukup dapat melindunginya meski belum ada cinta yang tumbuh. Terutama Yuki, hampir separuh hatinya telah dibuat Stefan jatuh.

"Oke, aku penuhi apa yang kamu mau. Ingat baik-baik! Dan ketika itu terjadi, aku bakal datang ke kamu lagi. Mau kamu udah terikat sama orang lain atau enggak, aku bakal tetap datang!"

Itu mungkin bualannya, Yuki tidak takut.

Lima tahun atau bahkan sepuluh tahun mendatang, anak itu sudah pasti lupa dan menghilang. Yuki mencoba tidak masalah dengan perasaannya sendiri. Demi kebaikan Stefan, juga demi dirinya. Suatu saat mereka akan jadi kertas putih kosong, tidak ada apa pun yang tertulis di dalamnya.

Maka, mari membuat lembaran baru.

"Nggak masalah Yuki, kamu akan baik-baik saja setelah ini." Yuki merasakan bulir-bulir air mata yang tanpa sadar mengalir ketika mencoba meyakinkan dirinya. "Kamu kuat dan kamu akan baik-baik saja."

Ya, semoga demikian.

























To be continue...

Maapin hobiku yang sering ngaret. 😶

20 Februari 2021

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang