Chapter 2

983 222 32
                                    

Mereka pertama kali bertemu ketika wanita itu tinggal di rumah orangtuanya, bertutur lembut diselingi senyuman tipis. Awalnya mengira jika debaran yang membucah itu hanya terjadi sesaat, tetapi nyatanya Stefan merasakan dadanya kian membucah setiap kali mereka beradu mata, beradu pikat.

"Ini kakak cewek gue Stef, kak Yuki. Dia baru balik dari Denpasar dan bakal tinggal di sini."

Stefan memandang wajah ayu Yuki cukup lama, lalu beralih pada bayi mungil yang berada digendongannya. Sebelumnya, Sana pernah bercerita jika kakak iparnya meninggal. Itu berarti wanita dewasa yang berada di hadapannya sekarang berstatus janda. Terlihat masih muda juga cantik. Selain itu, dia juga cukup ramah dan tanpa segan langsung mengulurkan tangan. Stefan terhenyak sesaat, lalu tepukan Sana lah yang membuatnya mampu kembali mengontrol diri. Yuki, wanita ini sangat keibuan. Itu mengingatkannya pada sosok Ibu yang selama ini selalu dibayangkan Stefan.

"Aku Yuki."

Seharusnya ada sesuatu yang perlu untuk diluruskan. "Stefan."

"Kalian satu kelas?"

"Iya kak, kebetulan kita pas masa orientasi satu kelompok. Terus sekarang satu kelas."

Memiliki pribadi pendiam sedari dulu, Stefan hanya melirik Sana sekilas ketika teman perempuannya itu berbicara. "Oh, terus ini kerja kelompoknya cuma berdua?"

"Enggak, nanti ada temanku yang ke sini."

Kapan terakhir kali Stefan melihat hal menarik dari seorang perempuan? Itu sekitar satu tahun lalu di masa pubernya yang penuh keingin tahuan. "Kalau gitu kakak ke dalam ya? Love mulai haus lagi nih."

Kenyataannya, Yuki tengah berbicara dengan Sana, bukan dirinya. Tapi Stefan merasa menyesal sekarang karena tidak mampu menahan matanya yang tiba-tiba mengarah pada dua bulatan besar milik wanita itu.

"Stefan, jangan sungkan-sungkan di sini. Camilannya dimakan."

"I-iya."

Meskipun mengelak berkali-kali, Stefan tetap saja merasakan darahnya mengalir cepat. Kemudian semenjak saat itu, ia nekat mengirimi Yuki pesan singkat yang nomor ponselnya didapati dari Sana. Yuki, tidak ada bedanya di kehidupan nyata. Baik hati dan sangat perhatian. Apalagi Stefan pernah mengeluhkan jika dia sudah ditinggalkan mendiang Ibunya sejak kecil, Yuki tentu saja iba. Ia membayangkan Lovely yang saat ini berada di posisi Stefan, lahir tanpa Ayah. Tetapi, semua tidak berjalan semulus kelihatannya. Justru sikap Yuki lah yang membuat Stefan berharap lebih, menginginkan wanita itu tidak hanya sekedar menjadi dua orang yang saling mengenal.

"Gimana? Obat yang kakak kasih kemarin udah bikin perutmu mendingan? Lain kali jaga pola makan, kalau udah kena maag gini kamu sendiri yang repot."

Stefan selalu menyukai seluruh perhatian itu yang sayangnya telah lenyap sekarang. Orang-orang dewasa tidak sedikit yang berpikir jika cinta harus tahu aturan, dan Yuki menjadi salah satunya. Itu buruk bagi Stefan.

"Kamu belum tidur Stef?"

Mendekati pukul satu dini hari, tugas sekolah baru diselesaikannya satu jam lalu tapi Stefan tidak bisa memejamkan mata. Ayahnya tiba-tiba membuka pintu kamar hingga ia langsung teralih dari layar laptop. "Iya, ini mau tidur kok."

"Tidur, besok sekolah."

Stefan lantas mengangguk patuh, kemudian segera menutup laptop ketika Ayahnya pergi. Sejujurnya di keadaan seperti ini ia terbayang lagi, harus dengan cara apa agar wanita itu mau membuka hati? Jika hanya dengan alasan perbedaan umur saja Stefan tidak akan terima, ia butuh alasan lain.

Yuki seperti hujan yang saat ini turun di luar sana, menyebabkan hatinya mendingin.

***

Belakangan sering turun hujan lebat di pagi hari, Yuki tadi senang ketika curahnya redah sehingga ia bisa dengan tenang berbelanja beberapa sayur dan ikan di swalayan. Namun mendekati pukul tujuh, hujan kembali jatuh menghujam bumi dan segala isinya. Beruntung ia telah siap siaga membawa payung. Meski begitu, Yuki tetap berharap semoga saja Lovely tidak menangis dan bersabar menunggunya pulang. Jalanan benar-benar basah sekarang, ia melihat beberapa pengendara motor yang terpaksa menepi untuk sekedar mencari tempat berteduh. Yuki lantas mempercepat langkah agar segera tiba di rumah. Namun begitu menyeberang zebra cross, ia hampir saja tertabrak anak sekolah yang melajukan sepedanya cukup kencang.

Yuki spontan menjerit, sedangkan anak sekolah yang mengenakan jas hujan biru laut itu jatuh terpental. Sedikit saja, jika dia tidak langsung mengarahkan setirnya ke arah lain maka dapat dipastikan Yuki tertabrak.

Ya ampun, hari ini sangat sial.

Musibah barusan bukan sepenuhnya kesalahan anak sekolah itu, Yuki juga sama bersalahnya lantaran tidak melihat kanan dan kiri saat menyeberang.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" Sembari bertanya, Yuki mendekati anak itu yang sepertinya kesakitan lantaran terus memegangi kaki kanan. "Kakimu sakit?"

Hujan masih turun, dan mereka berdua malah berada di jalanan seperti ini. Tapi sungguh, ada yang lebih buruk dari pada itu. Keparat! Yuki hampir saja melepaskan payungnya jika tidak benar-benar mampu mengontrol diri. Anak sekolah yang barusan hampir menabraknya, dia orang yang paling Yuki hindari akhir-akhir ini. Lututnya tiba-tiba terasa lemas, ada keinginan besar untuk menghilang dari muka bumi dari pada harus berhadapan dengannya. Dengan Stefan.

"Yuki," Hal buruk semakin menghantuinya jika lensa mereka beradu. Yuki berusaha tidak peduli dan bersiap pergi, namun Stefan langsung menahannya. "Yuki tolong."

"Panggil aku dengan sopan."

Sejak awal Stefan tidak menganggapnya lebih tua. "Tolong, kakiku sakit."

Yuki menyesalkan semuanya.

Keadaan Stefan, ketidakberdayaan dirinya.

Sekuat apa pun mengelak, laki-laki itu sungguh membuatnya seperti tidak bisa berpaling. Setengah hati, Yuki mendekatkan tubuh lalu membantunya berdiri. Di tengah hujan mereka melangkah bersama, mencari tempat yang sekiranya bisa untuk berteduh.

"Tunggu di sini bentar."

Stefan menautkan alisnya heran sesaat sebelum Yuki pergi. "Kamu mau ke mana?"

Tapi tidak didengar. Hanya sebentar saja karena Yuki kembali dengan membawa sepeda milik Stefan, ikut berteduh lagi.

Terus terang, kecanggungan diantara mereka sangat menyakiti. Stefan jadi tidak tahan, diam-diam ia bahkan terus meliriknya dari samping. "Aku tahu bagi kamu aku cuma bocah ingusan, tapi seenggaknya..."

"Diam!"

"Yuki, aku cuma pengen kamu..."

"Aku bilang diam!" Tolonglah.

Yuki serba salah sekarang dan Stefan yang tidak dapat mengerti terus menuntutnya.

Berulang kali ia tekankan, laki-laki yang ada di depannya kini hanya remaja tanggung yang bahkan belum sepenuhnya dewasa. "Sampai kapan pun aku nggak akan bisa menerima perasaan kamu."

Benarkah?

Stefan menyadari sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum. Kakinya masih terasa sakit tapi itu tidak menghalangi laju pikirnya. Yuki terlalu batu, membuat Stefan hilang kendali dan langsung mencium wanita dewasa itu di tempat terbuka. Bocah ini sudah kehabisan akal! Tempo hari berani memeluknya, lalu sekarang dengan kurang ajar menciumnya. Yuki sudah putus asa menolak hingga payung sekaligus kantung belanjaannya jatuh ke aspal, tetapi bibir Stefan begitu hangat di bibirnya, memaksanya membuka mulut. Biar bagaimana pun, stamina remaja seperti Stefan lebih besar ketimbang dirinya. Yuki merasa tidak asing dengan semua tindakan ini, sudah lama setelah kematian suaminya.

"Yuki, bilang kalau kamu juga suka aku."
















To be continue...

05 Oktober 2019

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang