Chapter 7

798 197 33
                                    

Antara asa dan cinta, mana yang semestinya mereka utamakan?

Yuki gelisah, dan Stefan resah dihantam kenyataan. Ini mungkin gila, dia dengan beraninya mencecap udara hangat di perpotongan leher seorang wanita dewasa. Wajahnya cantik, tubuhnya molek. Bocah ingusan sepertinya hanya penasaran dengan apa itu, Yuki banyak berspekulasi buruk. Tetapi, aroma serta rasa nikmat mendadak melumpuhkan otaknya. Kamar mandi di kamar Yuki memang terasa sedikit pengap, rasanya Stefan kian tidak mampu menahan diri. Usia laki-laki itu memang muda, tapi tubuhnya jauh lebih besar dari tubuh Yuki. Dia seperti wanita lemah yang tunduk dalam kuasanya, dihimpit di dinding kamar mandi, bibir serta lehernya dicium begitu liar.

"Kamu nikmatin ini, Yuki. Jadi jangan lagi menolakku." Tidak sesederhana itu.

Hati dan tubuhnya tidak bisa bekerja sama dengan benar, Yuki merutuki. "Kamu..."

"Aku suka aromamu." Jajahannya di leher semakin dalam, tubuh Yuki mungkin akan remuk jika Stefan memeluknya lebih erat lagi. Ketertarikan antar diri masing-masing dengan dorongan nafsu, apa yang lebih menonjol dari itu? Yuki memaksa Stefan menatapnya, dan mereka saling berpandangan. Stefan langsung terhanyut, sedangkan Yuki merasa telah salah mengambil langkah. "Kamu cantik."

Stefan kembali menciumnya, menggigit bibir bawahnya cukup keras hingga kaki Yuki lemas. Tuhan, ini semakin membuat hatinya sakit. Perbedaan usia mereka adalah sebuah penghalang, Yuki merasa hubungan yang seperti ini sudah lebih dari cukup. Stefan masih berstatus anak sekolah, pendidikan moral seharusnya lebih cocok, bukan ini. Yuki harus menolaknya, tapi dengan cara halus. Karakter seperti Stefan tidak akan langsung menerima jika Yuki menghentikan tindakannya dengan cara yang kasar.

"Udah cukup Stef." Yuki mendorong bahu tegap Stefan pelan. "Ada anakku di luar."

"Aku masih pengen lebih dari ini."

"Kamu nggak bisa dapatin lebih dari ini sebelum kamu bisa mendewasakan pikiranmu." Rautnya berubah kesal, sesuai perkiraan Yuki. "Sekarang lepasin aku."

Stefan enggan berubah posisi, dia tetap menghimpit Yuki di dinding berlapis ubin. Dadanya naik turun karena diliputi nafsu, ingin melakukan lebih bersama wanita di hadapannya. Tubuh itu sialan menggoda, Stefan selalu kehilangan kendali, tapi dia tidak bisa memaksakan kehendak.

"Yuki, aku nggak bisa berhenti kakau itu tentang kamu." Selalu terang-terangan seperti ini.

Yuki menghembuskan napas lelah sembari merapikan penampilannya setelah berhasil mendorong tubuh Stefan, namun lagi-lagi dia dibuat tidak berdaya. Sungguh sial, Stefan kembali mendorongnya ke dinding.

"Satu ciuman lagi, please."

Bagus, Yuki. Bocah ini sudah ketagihan.

Hal yang akan Yuki lakukan adalah sebuah penolakan, hanya saja dia kalah mengambil langkah. Karena sebelum Yuki mengatakan sesuatu, Stefan mencium bibirnya, dan dengan keparat meremas pantatnya. Stefan benar-benar melakukan tanpa tanggung-tanggung sampai mata Yuki membulat sempurna.

Bajingan!

Ini semua mungkin berlebihan, tetapi apa yang dilakukan laki-laki muda itu semalam membuat sekujur tubuh Yuki merinding. Sedetik saja bayangan Stefan hilang dari otaknya, Yuki terus terpikir dan ingat bagaimana rasa bibirnya. Hangat, salivanya leleh menyatu dengan saliva Stefan, saling bertemu di antara lidah yang menggeliat. Dada Yuki bergemuruh hebat, ia bisa seperti ini mungkin karena terlalu merindukan mendiang suaminya. Benar, Yuki meyakini hal tersebut. Ia hanya terbawa suasana, tidak ada alasan yang lebih logis selain ini.

"Yuki, ayamnya udah kamu cuci?" Ayolah, Stefan tidak bisa pergi dari otaknya. "Yuki, kamu dengar Mama nggak sih?"

Berimbas pada fokusnya. "I-iya Ma."

"Ngelamun terus, yang benar dong."

***

Ketika bel istirahat berbunyi, siswa-siswi di kelas banyak yang berhamburan keluar. Stefan hanya memperhatikan isi kelas mulai berkurang, kemudian ia mengeluarkan minuman isotonik dari dalam tas. Ia malas ke kantin dan memilih menghabiskan waktu duduk di bangkunya sembari membaca komik. Yohanes dan Rico sempat mengajaknya bergabung di lapangan untuk bermain futsal, tapi Stefan menolaknya. Jika sudah menyangkut komik, dia akan lupa segalanya. Stefan tertawa ringan kala membaca isi komik yang kebetulan menampilkan gambar-gambar lucu, sialnya di mata siswi yang berdiam di kelas, justru Stefan yang lebih kelihatan lucu.

Ada Sana dan Luna yang muncul dari pintu kelas, mereka membawa kantung plastik berisi beberapa makanan. Yang mengherankannya, kedua gadis itu tidak langsung duduk di bangkunya, melainkan menuju bangku Stefan dan meletakkan roti berisi keju dan daging di atas mejanya. "Lo belum makankan? Makan saja itu."

Semuanya kelihatan aneh.

Stefan menatap lama pemberian gadis itu tanpa menyentuhnya, sampai Sana duduk di bangkunya, Stefan mulai mengambil roti itu. "Thanks San."

Sejujurnya ia tidak begitu percaya pada omongan orang-orang tentang Sana yang punya perasaan lebih padanya, Stefan merasa itu adalah hal mustahil. Semua perhatian Sana semata-mata hanya karena mereka berteman dekat, tidak lebih. Tapi, itu hanya pemikiran Stefan. Dia tidak tahu bahayanya jika laki-laki dan perempuan berteman, salah satu di antaranya pasti ada yang jatuh cinta. Tidak salah jika Yohanes terang-terangan mengatakan jatuh cinta pada Sana, tapi dia ditolak mentah-mentah.

"Dengar-dengar kak Yuki dijodohin ya San?"

Yuki? Kedengarannya menarik.

Luna mengatakannya tepat ketika Stefan baru mengigit rotinya, dan dia sepertinya langsung menegang, terkejut bukan main. Sungguh, ini menjadi ketakutan Sana.

"Iya, dia mau dijodohin sama anak temannya Papaku. Turunan chinese gitu sama kayak mendiang suaminya yang udah meninggal."

Mereka sengaja, sudah pasti.

Stefan diam-diam menggeram rendah, tapi tidak bisa melakukan apa pun.

"Kakak lo kayaknya suka banget sama cowok chinese ya?" Itu tidak benar.

"Nggak tahu sih." Mulut para perempuan memang menyebalkan, Stefan terkadang heran sendiri. "Doain ya mereka sampai ke pelaminan?"

Mustahil, bermimpi saja sana!

Stefan merasa ini buruk, ia reflek langsung menggebrak meja sembari beranjak dari bangkunya. Benar-benar bodoh, terlalu gegabah bertindak. Sana dan yang lain tentu saja terkejut. Stefan biasanya tidak seperti ini, dia selalu tenang dan terkontrol, kecuali jika sedang bercanda dengan siswa lain, mereka saling beradu fisik main-main. Siapa pun orangnya, meski bukan Stefan pun akan bertindak sama jika mendengar pembicaraan Luna dan Sana. Tidak bisa seperti ini. Beberapa hari lalu mereka bermesraan begitu intim, kemudian tiba-tiba saja Stefan mendengar berita tentang perjodohan Yuki dengan seorang laki-laki asing.

Stefan merasa hatinya dicederai.

"Lo masih nggak yakin sama hubungan Stefan dan kakak lo San?" Sana gamang.

Kedua orang itu berarti untuknya, tapi secuil hatinya terasa nyeri jika membayangkan Stefan dan Yuki bersama. Mereka... Ah sudahlah. Mereka tidak sebanding. Stefan memiliki usia jauh di bawah Yuki, dan Sana memiliki perasaan lebih padanya, ia menginginkan Stefan lebih dari teman.

"Biarin gue cari tahu sendiri."

Cepat atau lambat bau bangkai itu pasti akan tercium juga, nanti.




















To be continue...

06 Februari 2020

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang