Chapter 20

425 57 12
                                    

"A-aku nggak akan ngelakuin hal bodoh selama di sini, aku janji."

Stefan pikir dirinya sudah sinting!

Ia sendiri yang mengatakan kalimat itu tapi ia sendiri yang melanggarnya, tolol!

Pukul tiga dini hari kemarin, Sana mengomelinya tampan ampun melalui sambungan telepon. Perempuan itu sepertinya lupa jika waktu di sana berbeda dengan waktu Cambridge, selisihnya sebelas jam. Stefan sampai sakit kepala ketika terbangun. Tapi begitu Sana mengatakan sesuatu tentang Yuki, kian bertambah parah pusingnya. Stefan tidak bisa berpikir banyak, jadi ia segera membuka iPadnya dan memesan tiket pesawat. Perjalanan itu menghabiskan waktu paling cepat sehari semalam. Hingga berakhirlah ia di sini, berlarian keluar Bandara dengan hanya membawa tas ransel di punggung. Raut muka gelisah dan penampilan berantakan, berbeda sekali dengan keadaannya ketika datang ke sini dua bulan lalu.

"Lo di mana?!" Stefan membawa ponselnya ke telinga selagi orang di seberang sana berbicara. "Gue baru sampai, San. Elo nih mikir dong Cambridge ke sini nggak kayak lo main ke Ancol, yang benar aja?!"

Biar bagaimana pun, Stefan yang paling salah di sini. Ia lantas menekan tombol merah di benda pipih itu kemudian mencari taksi untuk ia tumpangi menuju Rumah Sakit yang dikatakan Sana. Yuki sedang dirawat inap karena sakit, tapi bukan itu yang membuat Stefan terkejut setengah mati sampai harus jauh-jauh ke sini tanpa perlu berpikir panjang. Entah ini berita baik, atau bisa jadi kebalikannya. Usianya kini dua puluh empat tahun, dan akan menjadi seorang Ayah. Oii, sial! Mereka kebobolan.

"Tolol!" Di saat seperti ini baru sadar diri.

Sepanjang perjalanan Stefan terus merutuk. Ia pikir itu tidak akan menghasilkan seorang bayi, tapi nyatanya di luar prediksi. Yuki benar, ia memang orang gila. Sekarang sudah jelas yang harus Stefan lakukan adalah bertanggung jawab, menerima bayi itu dan menjadikan Yuki miliknya secara resmi.

"Mas, udah sampai."

Tanyakan Stefan, apa saja yang memenuhi pikirannya sepanjang hari ini? Ia baru tersadar dari lamunannya beberapa detik kemudian. "Y-ya Pak."

Lantas, ia segera mengeluarkan uang untuk membayar taksi. Keluar dari sana, kemudian bergegas memasuki Rumah Sakit. Stefan tidak berhenti menghubungi Sana selagi ia melangkah menuju kamar rawat Yuki, tepatnya di lantai empat. Stefan gemetar, itu benar adanya. Jadi begitu tiba di depan kamar yang dituju, ia justru mematung di tempat. Kiranya butuh beberapa menit untuk menenangkan hati dan pikiran, berjaga-jaga jika saja Yuki mengamuk padanya. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, tahu-tahu Sana membuka pintu dan muncul dari sana.

"Lama banget sih lo?!" Dia cerewet sekali. "Bukannya masuk, malah diem di sini."

"Gue takut."

"Ngehamilin kakak gue nggak ada takut-takutnya, giliran kejadian begini nyali ciut."

Ya, si bajingan ini.

Sana mendengus jengkel, dia menarik Stefan masuk ke dalam ruangan hingga mata laki-laki itu langsung bertemu karamel Yuki. Mereka harus bicara, jadi Sana memutuskan pergi. Stefan memberanikan diri mendekat, tapi wanita itu tidak kunjung bereaksi.

"Yuki, aku..."

"Duduk sini." Tepat di samping ranjang Yuki, ada kursi yang bisa ia duduki. Stefan menempatkan dirinya di sana takut-takut, bingung sendiri. "Minum ini dulu, kamu pasti kecapekan baru balik dari Cambridge."

Sejujurnya perlakuan Yuki malah membuat Stefan kian cemas, dia menerima segelas air kemudian meminumnya setengah.

"Yuki, Sana bilang..."

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang