Chapter 1

1.2K 236 37
                                    

Stefan dibesarkan tanpa seorang Ibu, maka selama hampir tujuh belas tahun hidup ia hanya bergantung pada Ayahnya. Menjalani hari-hari di rumah yang sepi, ketika hanya sendiri tidak ada yang bisa Stefan lakukan selain menonton televisi, tiduran dan bermain ponsel. Rumah mereka terlalu besar, terlalu luas jika hanya ditempati untuk dua orang. Apalagi Ayahnya lebih sering berada di luar kota, itu yang mendasarinya memilih bermain ke rumah teman bahkan tidak jarang pula menginap semalaman. Sejak sekolah dasar Stefan sudah terbiasa disiplin dan mandiri, ia juga termasuk siswa pintar. Meskipun memiliki keluarga yang tidak lengkap, setidaknya Stefan sudah cukup bisa memahami.

Hanya saja, akhir-akhir ini ada yang coba mengalihkan fokusnya.

Didasari rasa penasaran sekaligus tuntutan di hati, Stefan terang-terangan menunjukkan diri. Tidak cukup hanya dengan kata-kata, ia tidak segan melakukan dengan tindakan.

Wanita itu harus tahu.

"Aku udah bilang kalau kamu itu masih kecil, tugasmu hanya sekolah yang benar."

Lagi-lagi seperti ini, ada jarak yang tercipta sehingga menyebabkan perasaannya ikut terpukul. Lantas Stefan tersenyum sesaat. "Kamu nggak bisa bilang kayak gini Ki."

Yuki berusia dua puluh sembilan tahun sekarang, sedangkan Stefan tujuh belas. Dia seharusnya memanggil Yuki dengan lebih sopan. "Kenapa?"

Di era modern ini, banyak sekali ditemui pasangan dengan berbagai karakter. "Yang aku tahu, kedewasaan nggak bisa hanya diukur dari usia. Aku suka kamu tulus, dan kamu harus tahu itu."

Lucu sekali.

Bocah laki-laki berstatus pelajar berani berterus terang, Yuki benar-benar miris. "Kamu pergi dari sini."

Segala aspek feminisme ada di Yuki, Stefan tidak tahu mengapa jiwa mudanya yang tengah dalam masa pubertas mulai bergejolak. Mengesampingkan jika Yuki merupakan Ibu muda beranak satu yang ditinggal mati suaminya. Dia cantik, keibuan, tutur katanya selalu lembut. Stefan jatuh cinta pada apa pun yang dimiliki Yuki.

Bagaimana wanita itu?

"Aku bakal terus ke sini." Ego dan keinginan tidak terbendung. "Aku bersumpah."

Semuanya tidak baik-baik saja, Yuki menatapnya kesal lalu memeriksa sekeliling. Bicara berdua di halaman belakang, ini buruk jika sampai ada yang melihat. "Stefan, dengar! Aku udah pernah menikah bahkan punya anak, lupain perasaan kamu dan berhenti berlaku menjijikkan kayak gini. Pacari gadis seusia kamu, jangan aku!"

Alih-alih sakit hati mendengar ucapan Yuki, Stefan justru tersenyum lebar dan langsung memeluknya. "I love you."

Keparat!

Pelukan yang Stefan berikan tiba-tiba telah menembus sesuatu, Yuki tidak bisa berteriak begitu saja di rumahnya sendiri. Ia wanita terhormat dan tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu. Tetapi, apa yang telah dilakukan Stefan benar-benar mengguncang dirinya. Yuki termangu, ada kelopak bunga yang mulai berjatuhan di hatinya. Stefan lalu mengambilnya, menggenggamnya erat.

Kapan terakhir kali mendapati pelukan sehangat ini?

Yuki mengingatnya kurang yakin. "Lepas."

Sayangnya si laki-laki tidak bergeming.

"Stefan, lepas!" Nyaris saja, Yuki merasakan lehernya diterpa napas panas dan ia refleks segera mendorong Stefan menjauh.

Berlama-lama dengannya membuat darah berdesir keras, Yuki enggan mengakui jika dia terkejut bukan main. Stefan pun merasakan hal sama. Lekukan tubuh wanita itu ternyata lebih menarik ketika disentuh, terbentuk indah dan kulitnya pun sehalus sutra. Ia ingin merasakan lagi, namun Yuki sudah terlebih dulu berlari pergi.

Sampai jumpa.

***

Sudah hampir pukul setengah tiga sore, Sana menyadari teman-temannya mulai sibuk pada ponsel masing-masing dibandingkan menyelesaikan tugas sekolah meski pun mereka tadi sempat menyelingi kegiatan membosankan ini dengan bermain games. Hanya Stefan yang masih setia mengerjakan, tampak fokus dan tidak bisa diganggu. Sana diam-diam memandanginya. Di sekolah, Stefan tidak hanya terkenal pintar, tetapi ia juga tampan. Auranya tegas dan dingin, itu yang membuat banyak gadis menyukainya tetapi tidak berani mendekati. Beruntung sekali Sana berada di posisi ini, bisa berteman akrab dengan Stefan sejak masa orientasi. Mereka sering bicara, baik itu tentang sekolah atau pun hal lain.

"Ngapain San ngelihat Stefan mulu?" Bodoh! Apa pun alasannya, Sana tetap tidak bisa mengelak. Ucapan Yohanes membuat semua orang di ruang tengah langsung terfokus pada Sana. "Lihatin gue aja sini deh, lebih eksotis dan oriental."

"Apa sih lo? Fitnah banget."

Yang Rico dan Luna tahu, Yohanes sudah cukup lama menyukai Sana tetapi berulang kali ditolak. Alasannya karena dia tidak mau merusak pertemanan. Stefan juga tahu hal itu kok, Sana sendiri yang mengatakan.

"Terus ngapain ngelihatin Stefan kayak tadi?"

"Siapa juga yang ngelihatin Stefan? Nggak ada tuh." Sana benar-benar malu sekarang, ingin mencakar wajah menyebalkan Yohanes. "Heh Stef! Lo lihat gue ngelihatin elo nggak? Nggak kan?"

Terang saja Stefan menggeleng.

"Tuh, dengarin!"

"Ya mana ada pertanyaan kayak gitu, bawel! Stefan jelas aja nggeleng, gimana sih?"

"Ini gara-gara elo terlalu dibutakan cinta ke Sana Yoh, makanya elo jadi gini."

Luna penyelamatku. Sana bergumam dalam hati, tersenyum lebar sembari memasukkan keripik bayam ke mulutnya.

"Terus kalau ngelihatin gue apa masalahnya? Gue fine aja sih." Mati! Itu suara Stefan, jujur Sana kurang yakin. "Jangan cemburu lah, lagian Sana mana mungkin suka sama gue."

Asumsinya meleset.

"Eh Stef, justru dari ngelihatin itu lah yang menumbuhkan benih cinta. Ya kayak gue gini ke Sana." Lain kali Sana tidak akan membiarkan Yohanes ikut berkumpul lagi seperti ini, ia jengah. "Tapi sayang, Sana nya nggak mau diajak jadian."

"Kasihan lo." Rico tahu-tahu menyahuti dengan headset di telinga.

Mereka kemudian tidak melanjutkan pembicaraan setelah Rico mulai membahas pertandingan sepak bola bersama Yohanes yang merupakan penggemar berat Juventus, club besar asal Italia. Stefan tidak begitu tertarik dan memilih untuk membuka ponselnya, tidak ada yang menarik di benda itu selain chat pribadinya dengan Yuki. Berbulan-bulan lalu, wanita itu sering membalas pesannya bahkan tidak jarang mau menemaninya begadang semalaman mengerjakan tugas. Tapi semenjak Stefan menyatakan perasannya, dia mulai berubah lain. Yuki sepertinya tidak menerima, sekarang yang sering Stefan dapat hanya balasan pesan singkat seadanya.

Itu tidak adil.

Stefan merasa telah kehilangan sesuatu.

Memendam jauh di dalam hatinya.

"Stef, ajarin ini dong? Aku nggak ngerti."

Menarik sekali, Sana begitu mirip Yuki. Tapi ia tidak sedikit pun bisa menaruh perasaan pada gadis itu. Ada kalanya Stefan membutuhkan sosok dewasa yang mampu memahaminya, dan itu Yuki. Apa salah? Apa salahnya menyukai wanita yang lebih tua? Stefan tidak mengerti bagaimana cara orang dewasa berpikir hingga menyimpulkan jika apa yang terjadi padanya saat ini adalah kesalahan. Itu tidak masuk akal, seharusnya ada alasan yang lebih menguatkan lagi.

"Stef, kok malah bengong?"


















To be continue...

Aku suka banget sama lagu VIXX "Alive". Jadi biar kerasa feelnya, silahkan pas baca diputer juga mulmednya. 😅

28 September 2019

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang